Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SUNGGUH membingungkan keputusan Presiden Joko Widodo mengangkat Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Ignasius Jonan serta Arcandra Tahar sebagai wakil menteri. Pertimbangan menempatkan keduanya terasa kisruh dan sukar sekali dipahami publik.
Jonan, dengan latar belakang praktisi keuangan dan pasar modal, tidak memiliki kompetensi dan pengalaman mengurus bidang energi. Dia sukses memimpin PT Kereta Api Indonesia, dan orang berharap banyak kepadanya ketika Presiden Jokowi mengangkatnya menjadi Menteri Perhubungan. Ternyata dia hanya bertahan 20 bulan di kabinet. Fakta ini saja menunjukkan Presiden menilai Jonan tidak berprestasi cukup guna melanjutkan jabatan menteri.
Tidak ada alasan yang terang-benderang dari Istana tentang pencopotan Jonan. Tapi beredar "keterangan tidak resmi" bahwa ia dicopot lantaran sering membuat gaduh, membangkang, dan tidak bisa bekerja sama dengan menteri lain.
Tudingan membuat gaduh pasti berkaitan dengan keputusan Jonan melarang taksi dan ojek online, yang diikuti protes masyarakat. Presiden Jokowi akhirnya membatalkan keputusan Jonan. Sebelumnya, Jonan dianggap kurang menunjukkan sokongan penuh pada proyek kereta api cepat Jakarta-Bandung. Ia dinilai membangkang lantaran tak hadir mendampingi Presiden pada groundbreaking proyek itu, Januari lalu. Jonan juga dinilai sering tidak sejalan dengan Menteri Badan Usaha Milik Negara Rini Soemarno, yang mendukung total proyek kereta api cepat itu.
Dengan sekian catatan itu, sulit menebak alasan sebenarnya Presiden Jokowi menarik kembali Jonan ke dalam skuad menterinya. Bila kompetensi teknis menjadi ukuran, Jonan tidak memenuhi syarat. Padahal Menteri Energi sebelumnya, Sudirman Said, dilengserkan dari kabinet lantaran dianggap tidak mempunyai kompetensi teknis bidang energi. Sudirman kemudian digantikan Arcandra Tahar, yang diberhentikan karena tersandung masalah kewarganegaraan.
Pengangkatan kembali Arcandra Tahar pantas dicatat dalam kumpulan cerita "absurd" pembentukan kabinet Indonesia. Arcandra merupakan orang pertama yang berhasil come back setelah dipecat. Ini "rekor" kedua bagi ahli minyak dan gas itu. "Rekor" pertama: dia satu-satunya menteri dalam sejarah Republik yang hanya menjabat 20 hari di kabinet. Pada saat diangkat sebagai Menteri Energi Kabinet Kerja pada Agustus lalu, Arcandra baru empat bulan memegang paspor dan kewarganegaraan Amerika Serikat.
Walaupun kemudian diberhentikan, Arcandra sesungguhnya sudah tidak memenuhi standar moral. Sebagai pejabat publik, dia tidak berkata jujur tentang paspor Amerika Serikat yang dipegangnya ketika dilantik sebagai menteri. Seandainya pun proses "naturalisasi"-nya yang berlangsung sangat cepat tidak membuat masalah baru, orang ramai sampai sekarang belum mendapat jawaban memuaskan: apa yang membuat Presiden begitu ngotot menempatkannya sebagai wakil menteri.
Jawabannya ada di saku Presiden Jokowi. Presiden memang memiliki hak prerogatif, tapi pelaksanaan hak itu tidak bisa dipakai sekehendak hati. Ia seharusnya mempertimbangkan banyak aspek, misalnya tata cara berpemerintahan yang baik. Presiden mesti menjaga akuntabilitasnya dalam memilih Menteri Energi, mengingat bidang itu menyangkut kepentingan masyarakat luas.
Patut disayangkan, dalam pengangkatan Jonan dan Arcandra, yang mengemuka justru pertimbangan manajemen konflik dan kompromi politik. Kinerja dan profesionalitas, dua hal yang sangat penting, malah diabaikan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo