Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Kementerian BUMN memutuskan merestrukturisasi PT PLN (Persero).
Restrukturisasi PLN diperlukan agar makin kompetitif dan transparan.
Holding PLN bisa menjadi momentum mengubah model bisnis.
SUDAH tepat langkah Kementerian Badan Usaha Milik Negara mengubah struktur organisasi PT Perusahaan Listrik Negara (Persero). Nomenklatur baru ini jangan sekadar utak-atik bentuk organisasi, tapi mesti sampai ke perubahan mendasar untuk mendorong kemajuan PLN.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menteri BUMN Erick Thohir dalam Rapat Umum Luar Biasa PLN pada Rabu, 21 September lalu, mengesahkan perubahan organisasi dari perusahaan tunggal menjadi satu induk usaha dan empat anak usaha. Dengan bentuk baru itu, pemerintah berharap holding PLN bisa mengubah mekanisme dan budaya perusahaan menjadi lebih terbuka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Keputusan besar ini harus menjadi momentum bagi PLN untuk memperbaiki tata kelola perusahaan (good corporate governance) sekaligus membuat roda organisasi berjalan lebih efektif dan efisien. Apalagi berbagai mekanisme pengambilan keputusan bisnis yang selama ini memerlukan rantai birokrasi panjang sekarang dipangkas dan bisa diputuskan pada level anak usaha.
Selama ini rentang kewenangan jajaran direksi PLN, yang mengelola aset senilai Rp 1.640 triliun, terlalu besar. Kondisi itu membuat organisasi tidak berjalan sebagaimana mestinya dan sering melahirkan persoalan besar bagi perusahaan.
Kelangkaan pasokan batu bara di sejumlah pembangkit listrik tenaga uap PLN dan independent power producer pada malam tahun baru lalu bisa menjadi contoh mutakhir buruknya jalur birokrasi PLN. Persoalan ini muncul karena kewenangan pengambilan keputusan pembelian batu bara sangat panjang pada saat stok menipis. Situasi buruk ini tak seharusnya terjadi pada BUMN yang mendapat hak monopoli penyediaan listrik bagi masyarakat.
PLN sudah lama diistimewakan dengan hak monopoli menjual listrik ke masyarakat. Dampaknya, tidak ada ukuran atau pembanding yang pasti dalam mengukur biaya pokok produksi listrik PLN yang mesti ditanggung masyarakat. Apalagi selama ini inefisiensi PLN tertutup oleh subsidi dan kompensasi dari anggaran negara.
Masalah serupa pernah terjadi di PT Pertamina (Persero). Dulu, ketika bisnis hilir minyak dan gas bumi dimonopoli Pertamina, konsumen tidak punya pilihan dalam membeli bahan bakar minyak. Publik tidak pernah tahu apakah bisnis kilang perseroan sudah ekonomis dan efisien. Belakangan, begitu pasar BBM dibuka, konsumen leluasa memilih stasiun pengisian bahan bakar yang paling kompetitif.
Artikel terkait:
- Utak-Atik Bisnis Juragan Listrik
- Eskpansi Bisnis PLN ke Internet
- Peluang Bisnis PLN di Kendaraan Listrik
Penting diingat, restrukturisasi organisasi harus diikuti dengan perubahan model bisnis PLN. Pola bisnis baru itu mesti lebih terukur dan transparan. Salah satu caranya adalah memberikan ruang persaingan yang adil bagi banyak pelaku bisnis. Pemain lama yang cuma bermodal lobi-lobi politik ke penguasa tidak boleh lagi berbisnis di PLN.
Dengan struktur organisasi baru, PLN juga bisa lebih fleksibel mencari pembiayaan investasi yang jumlahnya sangat besar pada tahun-tahun mendatang. Misalnya, buat pembangunan infrastruktur dan pembangkit energi terbarukan, PLN membutuhkan dana Rp 7.600 triliun untuk mencapai karbon netral pada 2060.
Cara yang bisa ditempuh untuk mendapatkan dana besar itu adalah dengan penswastaan aset atau melakukan penawaran umum saham perdana anak perusahaan. Jika dilaksanakan secara transparan serta taat kaidah bisnis, pelbagai aksi korporasi tersebut dapat mendongkrak nilai perusahaan. Ujungnya akan menguntungkan para karyawan dan konsumen PLN.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo