Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Kasus bansos yang melibatkan politikus PDI Perjuangan, Herman Hery dan Ihsan Yunus, mandek.
Ada upaya merintangi dari dalam Komisi Pemberantasan Korupsi.
Peran politikus PDIP, Herman Hery dan Ihsan Yunus, dalam kasus bansos diduga sangat kuat.
TEPAT kiranya kepanjangan KPK berubah menjadi “komisi pelindung koruptor”. Setidaknya hal itu terlihat pada saat lembaga bernama Komisi Pemberantasan Korupsi tersebut mengusut kasus korupsi bantuan sosial Covid 19. Bukannya mengejar pelaku tertinggi, Komisi malah meloloskannya dari proses hukum.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Akhir tahun lalu, dengan penyidik-penyidik yang kini telah disingkirkan melalui “tes wawasan kebangsaan”, KPK menangkap Menteri Sosial Juliari Batubara. Setelah itu, sejumlah pengusaha yang menyuap Juliari dan anak buahnya demi mendapatkan kuota dihukum. Tapi tokoh-tokoh partai politik yang diduga kuat terlibat dalam penggarongan bantuan untuk kelompok miskin itu sejauh ini masih melenggang bebas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hambatan terbesar pengusutan korupsi dana bansos itu justru muncul dari dalam KPK. Petinggi-petinggi lembaga itu terlihat membelokkan perkara ke pemain figuran. Pada Selasa, 23 November lalu, misalnya, petugas lembaga itu menggeledah satu tempat di kawasan Senayan, Jakarta Selatan. Dilakukan atas perintah pimpinan, petugas mencari bukti keterlibatan pejabat di Kementerian Sosial. Langkah ini aneh. Sebab, pada saat yang sama, Firli Bahuri dan pemimpin KPK lain menolak permintaan untuk bekerja sama dengan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan guna mengaudit proyek bansos.
Audit mendalam penyaluran bansos berupa barang kebutuhan pokok pada tahun lalu itu sangat penting. Di antaranya untuk mengetahui pihak yang paling diuntungkan. Sejumlah data menunjukkan, perusahaan-perusahaan yang terafiliasi dengan dua politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Herman Hery dan Ihsan Yunus, mendapatkan kuota terbesar dalam penyaluran.
Perusahaan yang terafiliasi dengan Herman, saat itu Ketua Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat, menurut sejumlah saksi, mendapatkan kuota 7,6 juta paket senilai Rp 2,1 triliun. Adapun perusahaan yang terkait dengan Ihsan, Wakil Ketua Komisi Sosial DPR, memperoleh 4,6 juta paket senilai Rp 1,3 triliun. Dengan demikian, keduanya diduga menguasai separuh bujet bansos untuk Jakarta, Bogor, Depok, dan Tangerang.
Meski diduga mendapatkan keuntungan jumbo yang tak wajar, nama Herman dan Ihsan tidak dicantumkan dalam berkas dakwaan Juliari dan terdakwa kasus korupsi bantuan sosial lain. Lazimnya berkas persidangan KPK, nama-nama yang terlibat selalu dicantumkan. Herman dan Ihsan aman sentosa. Usaha tim penyelidik agar dilakukan gelar perkara tentang keterlibatan dua politikus itu selalu kandas. Deputi Penindakan, yang bertanggung jawab dalam proses gelar perkara, terus menolak usul itu.
Sejak awal, pimpinan membatasi ruang gerak tim penyelidik. Dari 27 izin penggeledahan Dewan Pengawas untuk kasus bantuan sosial, baru delapan yang dijalankan. Barangkali inilah yang dimaksud Firli agar KPK berfokus pada pencegahan. Rupanya, pencegahan juga diterapkan pada pengusutan keterlibatan politikus partai penguasa dalam korupsi bansos.
Korupsi dana bantuan sosial Covid-19 merupakan kejahatan luar biasa karena mengambil jatah orang-orang yang setiap hari harus berjuang hidup-mati. Usaha mengaburkan pengusutan kasus itu demi melindungi orang-orang kuat tak kalah jahatnya. Pelakunya bisa dijerat karena melakukan obstruction of justice alias menghalang-halangi usaha mencari keadilan.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo