Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Detasemen Khusus 88 Antiteror Kepolisian Republik Indonesia menangkap tiga anggota Jamaah Islamiyah.
Mereka yang ditangkap adalah tokoh publik, yaitu petinggi MUI dan ketua umum partai politik.
Tanpa persistensi menjaga pluralisme, radikalisme agama dan teror akan terus terjadi.
MASUKNYA kelompok teror Jamaah Islamiyah ke lembaga publik yang mendapatkan dana negara bukti penegak hukum lalai mengendus keberadaan kelompok radikal. Betapapun akhirnya ditangkap, para teroris tersebut selama bertahun-tahun telah mengelabui orang banyak dengan bersalin wajah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada 16 November 2021, Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Kepolisian Republik Indonesia menangkap Ahmad Zain An-Najah, Farid Okbah, dan Anung Al-Hamat. Polisi menyebutkan ketiganya masuk jaringan Jamaah Islamiyah (JI) pimpinan Para Wijayanto, yang dihukum tujuh tahun penjara karena kasus terorisme. Sejak Januari lalu, lebih dari 300 orang terduga pelaku teror, umumnya anggota Jamaah Islamiyah, ditangkap polisi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tak seperti pelaku teror lain yang hidup layaknya orang kebanyakan—menjadi pedagang keliling atau pegawai kecil di instansi pemerintah atau swasta—ketiganya bukan orang sembarangan. Ahmad Zain adalah anggota Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam enam tahun terakhir. Farid Okbah adalah Ketua Umum Partai Dakwah Republik Indonesia, sementara Anung dosen di Universitas Ibn Khaldun, Bogor, Jawa Barat. Tidak lagi bergerak di tempat gelap, mereka berkiprah di lapangan terbuka dan masuk ke sistem politik.
Metamorfosis aktivis Jamaah Islamiyah terjadi beberapa tahun terakhir. Saat aparat keamanan sibuk mengejar kelompok teror yang terafiliasi dengan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS), Jamaah Islamiyah keluar dari radar. Kelompok itu diabaikan karena dianggap kalah pamor dibanding ISIS. Kedua organisasi memang berseberangan paham dan strategi dalam mengupayakan berdirinya negara Islam.
Kalkulasi ternyata keliru karena Jamaah Islamiyah mengkonsolidasikan diri dengan mengubah pola gerakan. Jamaah Islamiyah, misalnya, tak lagi mencari dana lewat fa’i—merampok bank untuk membiayai aksi teror. Sebagai gantinya, mereka mengumpulkan sumbangan lewat badan usaha dan lembaga amil zakat.
Badan antiteror gagal membaca pergerakan ini. Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), lembaga yang diberi mandat oleh undang-undang untuk mencegah teror, tak jeli membaca keadaan. Lembaga itu terlihat sibuk membuat pelbagai seminar dan diskusi dengan menampilkan pelaku teror yang diklaim telah insaf. Tak terlihat mereka menghasilkan program yang sistematis untuk mengerem berkembangnya paham radikal. Sebagian bekas teroris yang mengaku kapok setelah melalui pelbagai program deradikalisasi nyatanya kembali melakukan teror.
Detasemen Khusus 88 dalam beberapa kesempatan terlihat sigap menanggulangi teror. Tapi berkiprahnya Ahmad Zain cs selama bertahun-tahun di lembaga terbuka menunjukkan buruknya kinerja intelijen lembaga itu. Tidak terlalu jelas pula peran Badan Intelijen Negara. Jika cergas bekerja, badan itu semestinya bisa mengendus keberadaan teroris sejak jauh-jauh hari.
Kepolisian harus segera memastikan peran ketiga tokoh Jamaah Islamiyah dan menggulung jaringan di belakang mereka. Namun, dalam menjalankan tugas itu, Kepolisian hendaknya tidak sekadar main pukul. Apa yang terjadi pada Sriyono, terduga teroris asal Klaten, Jawa Tengah, hendaknya tidak terulang. Sriyono meninggal tak lama setelah ditangkap pada 2016. Disinyalir ia digebuki saat diinterogasi.
Detasemen Khusus 88 telah mendapat keleluasaan menangkap terduga teroris tanpa perlu memberitahuan dan bisa menahan mereka 200 hari sesuai Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Terorisme. Aturan ini membuka pintu bagi pelanggaran hak asasi manusia. Penangkapan selama berbulan-bulan tanpa pemberitahuan kepada keluarga mudah disamakan dengan penculikan.
Lebih dari sekadar memperbaiki strategi lapangan, pemerintah hendaknya tak henti merangkul masyarakat untuk mengkampanyekan perlunya beragama secara inklusif. Hendaknya disadari, pelaku teror mula-mula adalah penganut agama yang mau menang sendiri. Dalam pandangan mereka, perbedaan tidak perlu dirayakan, tapi dimusnahkan.
Pemerintah hendaknya tidak menjadikan pluralisme sebagai kuda tunggangan untuk kepentingan politik jangka pendek. Sibuk mengkampanyekan Pancasila sebagai azimat penangkal sektarianisme, pemerintah diam-diam merangkul kelompok garis keras untuk mencari dukungan. Telah berkali-kali kita sesali: Joko Widodo menyerah terhadap kelompok intoleran dalam demonstrasi besar 212 pada 2016, bahkan menjadikan penggerak demo sebagai pendamping dalam pemilihan umum dua tahun kemudian.
Teror akan terus ada seiring dengan tumbuhnya sikap beragama yang eksklusif. Radikalisme agama hanya bisa dilawan oleh ketulusan dan persistensi dalam menjaga keberagaman.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo