Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Pendapat

Menggugat Banjir Jakarta

Pertanggungjawaban terhadap banjir Jakarta menarik dibahas. Banjir yang melanda Ibu Kota kali ini telah menimbulkan dampak yang mengerikan hingga merenggut sekitar 60 nyawa.

16 Januari 2020 | 07.00 WIB

Sejumlah kendaraan melewati genangan banjir di jalan Mangga Dua Raya, Jakarta, Selasa, 5 Maret 2019. TEMPO/Faisal Akbar
Perbesar
Sejumlah kendaraan melewati genangan banjir di jalan Mangga Dua Raya, Jakarta, Selasa, 5 Maret 2019. TEMPO/Faisal Akbar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Alek Karci Kurniawan
Legal Policy Analyst KKI Warsi dan penulis buku Konflik Konservasi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Pertanggungjawaban terhadap banjir Jakarta menarik dibahas. Banjir yang melanda Ibu Kota kali ini telah menimbulkan dampak yang mengerikan hingga merenggut sekitar 60 nyawa. Secara materiil, menurut Institute for Development of Economics and Finance (Indef), diperkirakan kerugian dari bencana kali ini senilai Rp 10 triliun.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sebagai negara yang mempunyai tatanan organisasi pemerintahan beserta tugasnya masing-masing, pertanggungjawaban konkret atas segala sesuatu yang terjadi di negeri ini adalah kepastian. Berbagai studi menunjukkan bahwa bencana tidak bisa dipandang semata merupakan faktor alam dan korban hanya bisa pasrah dan menunggu bantuan. Padahal ada kontribusi manusia terhadap bencana, baik disengaja maupun akibat kelalaian. Kepada pemerintahlah pertanyaan-pertanyaan itu bermuara.

Pemerintahlah yang memiliki kewenangan untuk mengatur apa yang terjadi di wilayahnya, termasuk tindakan yang dapat mencegah bencana rutin banjir Jakarta berulang. Tata ruang wilayah ada di tangan pemerintah. Perizinan atas setiap pembangunan, seperti izin lingkungan dan izin mendirikan bangunan, dipegang oleh pemerintah. Penertibannya pun juga berada di tangan pemerintah.

Barangkali publik kurang tahu bahwa kita memiliki Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Landasan berpikirnya adalah bahwa negara bertanggung jawab melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dengan tujuan memberikan perlindungan terhadap kehidupan dan penghidupan, termasuk perlindungan atas bencana.

Atas dasar itu, Pasal 5 undang-undang tersebut menyebutkan bahwa pemerintah pusat dan daerah menjadi penanggung jawab dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana. Lebih jelasnya, tanggung jawab itu meliputi: (i) pengurangan risiko bencana dan pemaduan pengurangan risiko bencana dengan program pembangunan; (ii) perlindungan masyarakat dari dampak bencana; (iii) penjaminan pemenuhan hak masyarakat dan pengungsi yang terkena bencana secara adil dan sesuai dengan standar pelayanan minimum; (iv) pemulihan kondisi dari dampak bencana; (v) pengalokasian anggaran penanggulangan bencana dalam anggaran dan pendapatan belanja negara yang memadai; (vi) pengalokasian anggaran penanggulangan bencana dalam bentuk dana siap pakai; dan (vii) pemeliharaan arsip/dokumen autentik dan kredibel dari ancaman dan dampak bencana. Tiga poin pertama dan poin kelima juga menjadi tanggung jawab pemerintah daerah. Perbedaannya, sumber anggaran pemerintah daerah berasal dari anggaran dan pendapatan belanja daerah.

Undang-undang itu juga memuat ancaman bagi setiap orang yang karena kelalaiannya melakukan pembangunan berisiko tinggi, yang tidak dilengkapi dengan analisis risiko bencana, sehingga mengakibatkan terjadinya bencana, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 tahun dan denda paling banyak Rp 2 miliar. Setiap orang di sini bisa ditujukan kepada pelaku pembangunan dan pemberi izin sebagai pihak yang ikut serta atau melalaikan kewenangannya.

Bila kelalaian yang menimbulkan bencana tersebut mengakibatkan kerugian harta benda atau barang, pelaku dapat dihukum hingga 8 tahun penjara dan denda paling banyak Rp 3 miliar. Apabila kejadian itu mengakibatkan matinya orang, pelaku dapat dihukum 10 tahun penjara dan denda paling banyak Rp 6 miliar.

Ada tiga opsi yang terbuka bagi masyarakat yang hendak mengajukan gugatan atas kerugian akibat banjir ini. Pertama adalah class action atau gugatan kelompok. Gugatan ini merupakan hak suatu kelompok masyarakat untuk bertindak mewakili masyarakat dalam jumlah besar yang dirugikan atas dasar kesamaan permasalahan, fakta hukum, dan tuntutan yang ditimbulkan karena pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.

Kelompok masyarakat di Kalimantan Tengah yang terkena bencana kebakaran hutan dan lahan pada 2015 pernah menggunakan cara ini untuk meminta pertanggungjawaban pemerintah. Pada Maret 2017, Pengadilan Negeri Palangka Raya mengabulkan sebagian dari tuntutan class action tersebut. Poin tuntutan itu antara lain memerintahkan Presiden selaku tergugat segera membuat turunan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang penting bagi pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan dan lahan.

Kemudian, pemerintah wajib membuat tim gabungan, yang terdiri atas Kementerian Lingkungan, Kementerian Pertanian, dan Kementerian Kesehatan, yang berkaitan dengan penanggulangan kebakaran hutan. Pemerintah juga diperintahkan untuk membangun rumah sakit khusus paru-paru, membuat ruang evakuasi khusus kebakaran hutan, dan tim gabungan penanggulangan kebakaran. Kasus ini sampai ke meja kasasi Mahkamah Agung, tapi tetap gagal membuktikan bahwa pemerintah sudah bekerja maksimal mengatasi dampak kebakaran hutan.

Selain melakukan class action, warga bisa mengajukan gugatan citizen lawsuit secara perseorangan atau melalui gugatan legal standing. Tapi untuk yang terakhir ini skemanya melalui organisasi.

 
Alek Karci Kurniawan

Associate Fellow, Lestari Governance Institute. Belajar Ekonomi Lingkungan di Universitas Michigan.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus