Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RENCANA pemerintah memangkas penggunaan bahan bakar minyak bersubsidi untuk para pengguna kendaraan pribadi sejatinya bagus-bagus saja. Upaya itu jelas perlu didukung. Bayangkan, harga minyak yang kini membubung mendekati US$ 100 per barel—tertinggi dalam sejarah—membuat brankas negara kian terkuras. Ini karena sejak lima tahun lalu Indonesia berstatus pengimpor neto minyak mentah.
Kalau era minyak murah benar-benar telah berakhir, tentu makin gawat akibatnya. Republik—selama berstatus ”minus minyak”—masih akan dipusingkan dengan beban subsidi BBM yang makin menggila. Hampir Rp 46 triliun dari bujet pengeluaran negara tahun depan terpaksa dialokasikan untuk menanggung beban subsidi yang hampir setara dengan anggaran pendidikan ini. Belum lagi defisit anggaran yang ditaksir masih bakal membengkak Rp 35 triliun—karena harga minyak di APBN hanya dipatok US$ 60 per barel.
Melihat kenyataan ini, keinginan pemerintah untuk memangkas pengeluaran subsidi dengan hanya mengalokasikan premium beroktan rendah 88 bagi angkutan umum dan kendaraan roda dua bisa dipahami. Apalagi subsidi selama ini lebih banyak dinikmati kaum berpunya. Konsumsi bensin kelompok non-miskin 8,2 kali lebih banyak ketimbang yang dihabiskan si miskin.
Sebagai gantinya, Pertamina hanya akan menyediakan premium beroktan 90 bagi para pengguna mobil pribadi. Premium jenis ini bersubsidi lebih kecil, karena mengikuti harga pasar, dengan harga jual lebih mahal Rp 2.000 seliter ketimbang premium saat ini. Kebijakan paket hemat BBM inilah yang rencananya akan diuji coba di Jabodetabek—menyerap sekitar seperlima konsumsi premium nasional—mulai Januari mendatang. Dari pengurangan premium beroktan rendah dua juta kiloliter setahun, negara bisa berhemat sekitar Rp 6 triliun.
Namun implementasinya sungguh tak mudah. Selama ini banyak kebijakan pemerintah hanya bagus di kertas, tapi berantakan di lapangan. Ambil contoh carut-marut program konversi energi dari minyak tanah ke elpiji beberapa bulan lalu, yang juga menjadikan Jabodetabek sebagai proyek percontohan. Minimnya sosialisasi, ditambah dengan pembagian kompor dan tabung gas gratis yang amburadul, membuat masyarakat enggan meninggalkan minyak tanah.
Akibatnya bisa ditebak. Masyarakat berduyun-duyun ke daerah di luar Jabodetabek yang masih menyediakan minyak tanah murah. Harganya mendadak melejit dan antrean pembeli mengular di mana-mana. Ada pula pedagang gelap yang menadah minyak tanah bersubsidi dari daerah-daerah tersebut untuk dijual di Jabodetabek.
Praktek serupa bukan tak mungkin terjadi dalam program konversi premium ini. Apalagi pemerintah hingga kini belum tuntas merumuskan bagaimana sistem pengawasan dan pengalokasian premium bersubsidi akan dilakukan. Ketidaksiapan Pertamina, seperti diisyaratkan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional Paskah Suzetta, bisa semakin menambah ruwet persoalan, jika program ini dipaksakan.
Karena itu, tidak ada salahnya bila pemerintah memundurkan jadwal pelaksanaan konversi premium ini agar punya cukup waktu untuk mengkaji ulang dan merapikan rencana. Ini penting, ketimbang kebijakan yang diambil sekadar tambal-sulam. Bukan berarti pemerintah terus-menerus mengambangkan persoalan ini. Ketidakpastian hanya akan memunculkan spekulasi, yang ujung-ujungya membuat laju inflasi kian melambung.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo