Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
NIAT mulia saja tidak cukup bila ingin merawat benda bersejarah Indonesia dalam koleksi pribadi. Diperlukan disiplin memberitahukan setiap butir koleksi kepada dinas purbakala—satu-satunya lembaga yang berwenang—sebelum memajangnya di mana suka. Alpa melapor, urusan bisa panjang, bahkan dapat bergulir menjadi perkara hukum.
Kisah buram paling baru tentang koleksi harta purbakala datang dari Museum Radya Pustaka, Solo, Jawa Tengah. Lima arca kuno dari abad ke-6 dicuri lalu diganti dengan yang palsu. Versi asli tersimpan di rumah pengusaha Hashim Djojohadikusumo di Kemang, Jakarta Selatan. Hashim membeli kelima arca itu dari Hugo E. Kreijger, seorang pialang benda kuno asal Belanda. Niatnya, agar harta sejarah kita tidak lolos ke luar Indonesia—suatu hal yang tidak dibenarkan oleh Undang-Undang Cagar Budaya.
Tapi Hashim melupakan satu hal penting: kewajiban melaporkan koleksi. Setelah 10 bulan benda itu dia miliki, ia tak kunjung menghubungi dinas purbakala setempat. Padahal batas waktu pemberitahuan adalah 14 hari setelah benda itu masuk koleksi.
Tentu ada sederet kronologi dari pencurian di Radya Pustaka hingga masuknya kelima arca itu ke koleksi Hashim. Apa pun kronologi itu, sudah pasti menyedihkan, karena mencerminkan keroposnya pengawasan yang melahirkan pencurian serta pemalsuan benda bersejarah.
Negeri kita memiliki lebih dari 6.000 situs cagar budaya. Karena itu, sulit mengurusnya karena perlu dana dan tenaga yang besar. Tapi kita bisa memulainya dari yang paling terjangkau. Lembaga purbakala—termasuk museum—dapat merapikan datanya. Para kolektor pribadi berdisiplin melaporkan setiap koleksinya. Dengan cara ini, kita turut membantu mencegah pencurian, perdagangan gelap, serta penyelundupan benda historis itu ke luar negeri.
Undang-undang kita tidak melarang jual-beli benda seperti itu di sini, di Tanah Air. Syaratnya, harus ada laporan dan catatan tentang ahli warisnya serta tidak diperdagangkan ke luar negeri. Harus kita akui, pemerintah belum mampu merawat sendirian segenap peninggalan yang menyimpan martabat sejarah kita itu. Museum-museum berdebu, sepi pengunjung, dan pencurian terjadi lebih dari 120 kali dalam 15 tahun terakhir.
Para kolektor pribadi perlu kita dorong untuk turut merawat khazanah yang tak ternilai ini. Namun kemampuan dan kecintaan pada benda bersejarah harus diiringi spirit kolektor sejati: patuh pada peraturan dan pantang mengoleksi barang curian.
Karena itu Tempo mengusulkan agar pencurian dan pemalsuan lima arca Radya Pustaka diproses sampai tuntas. Begitu pula tindakan alpa melaporkan koleksi pribadi, sebagaimana dilakukan oleh Hashim. Pagar pengawasan telah diatur dalam Undang-Undang Cagar Budaya Nomor 5/1992. Isinya, antara lain, barang siapa yang mencuri atau merusak cagar budaya dapat dihukum 10 tahun penjara atau didenda Rp 100 juta. Begitu pula mereka yang mengubah atau memugarnya tanpa izin. Alpa mendaftarkannya pun diancam hukuman, meski lebih ringan.
Kehadiran Hashim dalam pemeriksaan polisi di Solo menunjukkan itikad baiknya. Dia dapat memberikan contoh integritas yang lebih dari itu: bersedia menempuh semua prosedur hukum bila terbukti melanggar undang-undang. Lima arca itu hanya satu contoh dari deretan panjang kisah pelecehan harta bersejarah kita—yang hasil pengusutannya jarang kita dengar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo