Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PASAR merah—istilah untuk perdagangan organ tubuh manusia—tak pernah sepi. Meski banyak kasus yang terungkap, perdagangan ilegal organ manusia tak benar-benar bisa diberantas. Selain karena adanya permintaan dan penawaran, perdagangan ilegal organ tubuh manusia juga marak karena sudah melibatkan jaringan internasional—termasuk di dalamnya aparat dan tenaga medis.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kasus terkini, publik dikejutkan dengan adanya 122 warga negara Indonesia yang menjadi korban sindikat penjualan organ ginjal ke Kamboja. Para pelaku merupakan bagian dari jejaring internasional. Di dalam negeri, kasus ini juga melibatkan aparat kepolisian dan petugas imigrasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di Indonesia, penjualan organ tubuh manusia adalah perbuatan terlarang. Transplantasi (cangkok) organ tubuh hanya diizinkan atas dasar kemanusiaan dan tidak melibatkan transaksi uang. Sedangkan transplantasi organ untuk mendapat keuntungan finansial—dengan atau tanpa persetujuan korban—termasuk tindak pidana perdagangan orang atau human trafficking. Ancaman hukumannya 15 tahun dan denda Rp 300 juta.
Faktanya, perdagangan organ manusia terus terjadi. Sebelum sindikat penjualan ginjal ke Kamboja terungkap, sepanjang 2014-2015, misalnya, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak mencatat sebanyak 15 orang menjadi korban perdagangan atau transplantasi organ ginjal di Bandung, Jawa Barat. Bahkan, pada 2016, Badan Reserse Kriminal Polri pernah menyelidiki pengakuan tersangka yang menyebut warga sebuah kampung di Majalaya, Bandung Selatan, mayoritas hanya memiliki satu ginjal. Ibarat puncak gunung es, kasus yang tidak terungkap bisa dipastikan lebih banyak lagi.
Dari sekian banyak kasus yang terungkap, ada pola yang terbaca. Korban perdagangan ilegal organ manusia biasanya adalah kaum rentan: imigran, pengungsi, atau orang miskin. Kebanyakan korban mau menjual organnya sebagai jalan pintas, misalnya karena butuh uang atau terjerat utang. Sebaliknya, pembeli organ manusia biasanya orang kaya. Di tengahnya, ada perantara. Mereka yang membujuk rayu atau mengiming-imingi korban dengan bayaran tinggi. Ada juga perantara yang memakai modus penipuan, seperti memalsukan surat persetujuan dari keluarga. Dalam relasi yang asimetris itu, para perantara lah yang biasanya meraup uang besar.
Perdagangan ilegal organ manusia tentu harus diperangi. Aparat dan tenaga medis yang terlibat pantas dihukum berat. Namun, pasar gelap organ tubuh manusia terbukti tak bisa diberantas tuntas. Di mana ada permintaan, di situ ada penawaran. Itulah sebabnya, untuk menekan pasar gelap, di sejumlah negara, transplantasi organ seperti mata, hati, juga ginjal diizinkan dengan regulasi dan persyaratan yang ketat. Undang-Undang Transplantasi Organ (OTL) di Jepang, 1997, misalnya, melegalkan transplantasi organ dari donor yang dinyatakan “mati otak” atas persetujuan keluarga.
Dari sudut padang etika dan moral, derma organ tubuh bisa dibenarkan sepanjang tidak mengorbankan atau merusak secara serius fungsi penting tubuh para donor. Dengan kata lain, manfaat bagi penerima cangkok organ tubuh harus proporsional dengan risiko yang ditanggung donornya. Di samping itu, kebebasan donor perlu dihormati, sepanjang niatnya tidak untuk mendapatkan keuntungan finansial.
Dalam konteks ini, sangat penting untuk meningkatkan pemahaman publik tentang transplantasi atau donor sukarela yang diizinkan. Calon pendonor juga perlu punya pemahaman yang memadai tentang dampak jangka panjang hilangnya salah satu organ penting bagi tubuh mereka.