Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
MKD membatasi legislator yang bersuara kritis terhadap kebijakan eksekutif.
Kritik Rieke Diah Pitaloka tentang rencana kenaikan tarif PPN relevan dengan aspirasi masyarakat.
Alat kelengkapan DPR tak boleh menjadi kepanjangan tangan penguasa.
MAHKAMAH Kehormatan Dewan Perwakilan Rakyat (MKD) telah berubah fungsi menjadi pembungkam anggota lembaga legislatif. Bukan menjaga martabat anggota Dewan seperti disebutkan dalam undang-undang, alat kelengkapan lembaga itu malah sibuk membatasi salah satu cara pengawasan: bersuara kritis terhadap kebijakan eksekutif.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Target pembungkaman adalah legislator dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, pemilik kursi terbanyak DPR. Setelah masa reses berakhir pada 20 Januari 2025, MKD berencana memeriksa salah satu anggota fraksi itu, yakni Rieke Diah Pitaloka. Ia dituduh “memprovokasi publik” untuk menolak kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen. Koleganya, Yulius Setiarto, pada 3 Desember 2024 mendapat sanksi tertulis dari MKD karena mengunggah pernyataan tentang “partai cokelat”—merujuk pada kepolisian— yang melakukan intervensi dalam pemilihan kepala daerah 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selama hampir sepuluh tahun, PDIP merupakan partai penguasa penopang kekuasaan Presiden Joko Widodo. Fraksi mereka di DPR nyaris tak pernah bersuara keras kepada pemerintah. Kini PDIP satu-satunya partai besar yang tidak bergabung dengan pemerintahan Prabowo Subianto. Sudah semestinya politikus dari partai itu di Senayan bersikap kritis.
Rieke dan Yulius sedang menjalankan fungsi pengawasan terhadap eksekutif. Kritik Rieke tentang rencana kenaikan tarif PPN juga relevan karena menjadi keberatan sebagian besar masyarakat. Pemerintah akhirnya hanya menaikkan pajak itu pada kategori tertentu. Penilaian adanya campur tangan kepolisian dalam pemilihan kepala daerah oleh Yulius pun ramai diperbincangkan khalayak luas.
Langkah MKD membungkam legislator yang berbeda pendapat dengan pemerintah seperti menebar teror agar mereka “datang, duduk, diam”. Padahal, jika anggota Dewan tak lagi leluasa menyampaikan suara konstituen, fungsi pengawasan lembaga itu tak bisa berjalan. Masyarakat pun dirugikan. Sebab, kesempatan terciptanya tata kelola pemerintahan yang baik pun menjadi kecil.
Sayangnya, PDIP yang sebenarnya memiliki kekuatan terbesar di Dewan tak maksimal mempertahankan kebebasan bersuara kritis. Mereka tak cukup memprotes pemeriksaan anggotanya oleh MKD. Sebab, PDIP punya representasi di sana, antara lain Tubagus Hasanuddin yang menduduki posisi wakil ketua. Kenyataannya, pemberian sanksi buat Yulius dan rencana pemanggilan Rieke berjalan mulus tanpa perlawanan dari partainya.
MKD semestinya memastikan hak imunitas anggota DPR. Hak itu melindungi anggota DPR dari tuntutan di pengadilan ketika memberikan pernyataan atau pendapat sesuai dengan fungsi, wewenang, dan tugasnya. Kekebalan itu tentu saja tidak berlaku jika anggota DPR melakukan tindak pidana, termasuk korupsi. Di sinilah MKD seharusnya bersikap keras demi menjaga martabat Dewan. Pada periode lalu, Mahkamah malah membebaskan anggota Dewan yang ditengarai terlibat kekerasan seksual.
Alat kelengkapan Dewan itu tak boleh menjadi kepanjangan tangan penguasa. Semua partai politik, termasuk PDIP yang kini menjadi “oposisi”, bertanggung jawab memastikan fungsi pengawasan terhadap pemerintah oleh DPR terus berjalan. Sebab, tanpa pengawasan ketat, pemerintah akan membuat kebijakan semau-maunya. ●
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo