Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ADA yang mengharukan ketika sutradara Yosep Anggi Noen mengangkat kisah pelarian Wiji Thukul dalam filmnya yang mutakhir, Istirahatlah Kata-kata. Film Pilihan Tempo 2016 ini menceritakan episode pelarian Thukul di Kalimantan selama delapan bulan dengan sederhana, minim dialog, dan berfokus pada situasi psikologis Thukul yang merasa dijauhkan dari keluarga dan kawan-kawannya. Yang mengharukan adalah bagaimana sang sutradara menyiasati anggaran yang rendah dengan membatasi cerita pada periode tersebut agar ia hanya melibatkan segelintir pemain tanpa mengorbankan sikap politik dan estetika sinematik. Kreativitas ini justru melahirkan karya yang berhasil menembus serangkaian festival film internasional.
Thukul penyair akar rumput yang hilang secara misterius pada 1997. Ia menjadi buron setelah pemerintah Orde Baru menyatakan dia dan beberapa pengurus Partai Rakyat Demokratik bertanggung jawab atas peristiwa berdarah 27 Juli 1996 di kantor Partai Demokrasi Indonesia, Menteng, Jakarta Pusat.
Ada dua hal penting yang patut dicatat di balik terpilihnya Istirahatlah Kata-kata sebagai film terbaik dan Ziarah karya sutradara B.W. Purba Negara untuk kategori skenario terbaik. Pertama, keduanya menandai munculnya sutradara yang lahir dari komunitas film yang marak pasca-reformasi 1998. Sebelum itu, dunia film dikekang Departemen Penerangan, lembaga pemerintah yang mengontrol dan menetapkan banyak prasyarat hanya untuk produksi sebuah film.
Kedua, meski dunia sinema begitu diminati oleh pekerja film berbakat, pemerintah tampaknya belum memahami apa yang dibutuhkan industri film. Pemerintah—kini diwakili Badan Ekonomi Kreatif—selayaknya menyediakan pelbagai infrastruktur, termasuk sarana pendidikan storytelling dan penulisan skenario. Mereka selayaknya juga mendorong pengusaha nasional membangun studio post-production yang baik. Hingga saat ini pekerja film Indonesia masih harus menggunakan studio di Thailand untuk proses pasca-produksi. Sistem arsip perfilman yang berantakan selayaknya juga diperbaiki. Hanya dengan arsip yang baik, film klasik kita bisa dinikmati dan dipelajari. Di sejumlah negara tetangga, seperti Korea, Thailand, dan Malaysia, infrastruktur film itu sudah tersedia.
Membanggakan film berpenonton banyak tentu tak ada salahnya—setidaknya dari situ kita tahu bahwa film Indonesia bisa menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Tahun lalu beberapa film berhasil memperoleh lebih dari sejuta penonton. Di antaranya adalah Ada Apa dengan Cinta? 2 (3,6 juta penonton); My Stupid Boss (3,1 juta), Rudy Habibie (2 juta), dan Warkop DKI Reborn (6,5 juta).
Film Istirahatlah Kata-kata mungkin tidak akan mendapat penonton sebanyak itu. Tapi kualitas film semacam itu selayaknya dipelihara, bahkan menjadi inspirasi buat sineas lain. Lahirnya para sineas baru harus ditanggapi sebagai momentum untuk membangun film sebagai bagian industri kreatif Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo