Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Monopoli Baru Bisnis Seluler

16 Juni 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMASEK jelas bukan perusahaan ”kemarin sore”. Setelah menerima vonis sebagai monopolis dari Komisi Pengawas Persaingan Usaha, dan enam bulan dalam tekanan untuk menjual sahamnya, perusahaan investasi pemerintah Singapura itu menunjukkan diri sebagai pelaku pasar tangguh.

Jumat dua pekan lalu, Singapore Technologies Telemedia, unit usaha Temasek, tiba-tiba mengumumkan penjualan saham Indosat yang mereka miliki ke Qatar Telecom. Mudah ditebak, gerak cepat itu diambil lantaran mereka perkirakan peluang menang di pengadilan Indonesia amat tipis.

Prediksi itu masuk akal. Lebih lagi menimbang sejumlah kejadian sebelum dan setelah Komisi Pengawas memvonis Temasek melanggar Undang-Undang Antimonopoli, November tahun lalu. Bukan hanya kepemilikan silang Temasek di PT Indosat dan PT Telkomsel—secara total merebut lebih dari 80 persen pangsa pasar telepon—yang dipersoalkan. Yang digugat juga bukan sebatas kompetisi semu dengan taksiran kerugian konsumen hingga Rp 30 triliun. Komisi seperti membangunkan perlawanan kaum ”nasionalis” yang menyesalkan penjualan aset negara ke tangan asing.

Keadaan ini sangat tidak menguntungkan investor asing. Pilihan Temasek untuk menjual saham Indosat sekarang, dan bukan dua tahun sejak vonis seperti ketetapan Komisi Pengawas, tentu memasukkan pertimbangan politik ini. Kesan Temasek tak mau terseret lebih jauh urusan dalam negeri Indonesia itu jelas terbaca ketika mereka menjual saham Indosat sekaligus. Padahal, Mei lalu, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, yang menguatkan vonis Komisi, memerintahkan Temasek menjual paling banyak 10 persen kepada setiap pembeli.

Tentu pertimbangan bisnis ikut menentukan ”jual putus” 31 persen saham Indosat kepada Qatar Telecom itu. Qtel sebelumnya sudah memiliki 10 persen saham Indosat. Dan Qtel merupakan sohib lama Singapore Technologies Telemedia di bisnis telekomunikasi. Keduanya bergandengan tangan membentuk Asia Mobile Holding yang beroperasi di Singapura, Laos, dan Kamboja. Harga jual saham Indosat itu pun tiga kali lipat dibanding ketika enam tahun lalu Temasek membelinya dari pemerintah Indonesia.

Temasek pun lihai menyusun strategi ”menyerang balik” pihak Indonesia. Mereka menyatakan penyelesaian akhir transaksi Indosat tergantung keputusan final dugaan monopoli yang kini dalam tahap kasasi di Mahkamah Agung. Dengan strategi itu, Temasek telah memindahkan ”bola panas” ke tangan Mahkamah Agung. Jika keputusan kasasi menguatkan pengadilan negeri, dan melarang penjualan saham Indosat kepada Qtel, citra Indonesia pasti babak-belur. Dunia akan mencibir Indonesia sebagai negara tanpa konsistensi hukum.

Sulit juga menyalahkan Temasek melanggar vonis pengadilan negeri tentang batas maksimal penjualan saham yang 10 persen. Sebab, Peraturan Presiden tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Terbuka jelas menyebutkan batas maksimal kepemilikan asing di penyelenggara telekomunikasi telepon tetap dan seluler masing-masing 49 persen dan 65 persen. Mahkamah Agung tak punya dasar hukum melarang Qtel menguasai 41 persen saham Indosat.

Menarik menunggu putusan Mahkamah Agung nanti. Tapi, dari sisi keadilan, jika ingin menyelesaikan soal monopoli, selain Temasek, pemerintah Indonesia perlu dipersoalkan. Pemerintah juga punya kepemilikan silang, 33 persen saham Telkomsel dan 15 persen saham Indosat. Dalam Undang-Undang Persaingan Usaha, pemerintah Indonesia memang tidak dikategorikan sebagai pelaku usaha, sehingga tidak termasuk subyek aturan ini. Tapi, menurut Undang-Undang Perseroan Terbatas, kedudukan pemerintah setara dengan pemegang saham lain, dan tidak dikecualikan dari aturan kepemilikan saham.

Industri telekomunikasi tidak termasuk daftar industri strategis yang memberikan hak khusus kepada pemerintah. Semestinya pemerintah konsisten menetapkan kebijakan seperti bidang di luar industri strategis lain, misalnya perbankan. Pemerintah telah mengikuti aturan Bank Indonesia untuk menghapus kepemilikan silang dan tidak lagi menjadi pengendali lebih dari satu bank sebelum 2010.

Kebijakan bagus itu perlu diteruskan di bidang telekomunikasi. Niat baik Komisi Pengawas Persaingan Usaha mengikis persaingan tidak sehat perlu dipastikan tidak memunculkan monopoli baru dengan pemerintah sebagai pemain tunggalnya.

British Telecom menjadi lebih efisien dan menguntungkan konsumen setelah pemerintah Margaret Thatcher menswastakan perusahaan telekomunikasi Inggris itu. Amerika Serikat pada 1984 memecah AT&T atau Ma Bell, yang melahirkan seven sisters, tujuh perusahaan telekomunikasi regional, yang membuat kompetisi lebih sehat. Tarif telepon turun sampai 60 persen 12 tahun kemudian.

Indonesia perlu meniru kebijakan cerdas di bidang telekomunikasi itu. Tanpa memasukkan ”nasionalisme membabi-buta”, juga kepentingan bisnis sekelompok orang, privatisasi industri telekomunikasi yang sudah bergulir sejak 1994 perlu dijaga agar tak berjalan mundur.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus