SEROMBONGAN mahasiswa Fisipol Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) Solo mendatangi rumah Mr. Soemarno P. Wirjanto, Direktur LBH Solo. Mereka disambut tuan rumah dengan menggelar kursi di halaman. Mahasiswa itu bukannya minta bantuan hukum, tapi meminta ilmu. Soemarno diminta memberi kuliah dengan topik Interelasi Perubahan Hukum dan Perubahan Masyarakat. Inilah kegiatan akademik yang dirintis di Fisipol UNS, yakni belajar di luar kampus dengan "dosen" tokoh-tokoh masyarakat. Program baru di jurusan sosiologi ini dimulai awal semester IV dan dalam satu semester direncanakan 14 kali kuliah luar kampus. Sampai pekan lalu, sudah 8 kuliah diselenggarakan, termasuk dengan dosen Soemarno itu. Pada kuliah ke-9, Senin pekan depan, "dosen"-nya adalah Ahmad, 50 tahun, guru SD. Topiknya, Perubahan Tingkah Laku Anak SD dari Zaman ke Zaman. Kuliah luar kampus ini berbeda dengan KKN (Kuliah Kerja Nyata) maupun praktek lapangan, yang biasanya diselenggarakan menjelang akhir masa perkuliahan. Kuliah luar kampus ini wajib diikuti setiap mahasiswa yang mengambil mata kuliah Perubahan Sosial yang punya bobot 3 SKS. Adalah Drs. Y. Indarto yang mencetuskan gagasan ini untuk yang pertama kalinya. Sebab, bila hanya mengandalkan teori, dikhawatirkan mahasiswa kurang mampu menganalisa perubahan sosial yang terjadi di masyarakat. "Mereka akan tetap buta terhadap kenyatan-kenyataan yang terjadi di luar kampus," kata Indarto. Sejauh pengamatan Indarto, fenomena perubahan sosial itu hanya terdapat di dalam masyarakat. "Dan agen perubahan itu, ya, masyarakat itu sendiri," kata pria kelahiran Yogyakarta ini. Para pemuka masyarakat secara langsung merekam gejolak perubahan sosial. "Jadi, dari tokoh-tokoh itulah segala masalah bisa digali." Sebelum mahasiswa kuliah di luar kampus, mereka dibekali dengan 4 kali kuliah yang materinya berupa kerangka-kerangka perubahan sosial. "Pada tahap ini teori belum diberikan, untuk mencegah agar mereka tidak terbelenggu dengan teori-teori yang sudah ada," kata Indarto. Dengan begitu, 40 mahasiswa yang mengambil mata kuliah perubahan sosial pada semester IV itu benar-benar masih koson. Tokoh-tokoh yang dipilih untuk dijadikan "dosen" ada pejabat pemerintah, seniman, wartawan, pengusaha, ulama, juga politikus. "Para tokoh itu tak hanya mengemukakan pandangan mereka tentang perubahan-perubahan sosial yang diamati. Tapi juga lembaga di mana dia bergerak," ujar Indarto lagi. Para mahasiswa, menyambut baik kuliah di lapangan ini. Karena cara memberi kuliah jauh dari formal, tanya jawab ber- langsung blak-blakan. Apalagi ketika yang memberikan kuliah itu K.H. Abdul Rozzag Shofawi, pimpinan Pondok Pesantren Al-Muayyat, Solo. Mahasiswa UNS ini duduk di lantai beralas tikar, persis santri. "Diskusinya enak. Pak Kiai menjawab dengan jujur segala pertanyaan dan permasalahan," kata Shirley Fatmiati, seorang mahasiswi. "Dengan kuliah di luar kampus, kami jadi tahu lebih banyak dan mendalam. Sebab, kami bisa melihat langsung kasus-kasus yang biasa diuraikan di buku." Namun, Kiai Rozzag sendiri mengakui tak bisa mengajar. "Dalam pertemuan saya dengan para mahasiswa UNS itu lebih banyak bersifat tukar pikiran. Di situ saya tidak menggurui," ujarnya. Ide yang dicetuskan Indarto ini didukung oleh Ketua Jurusan Sosiologi Fisipol UNS, Drs. Y. Slamet. Tapi, ia tak berharap cara ini ditiru rekan-rekannya. "Karena setiap dosen punya pandangan berbeda dalam meningkatkan kemampuan intelektual mahasiswa," katanya. Di Fisipol UGM pun, yang punya jurusan sosiologi, kuliah luar kampus model ini - apalagi dikaitkan dengan SKS - belum pernah ada. Yusroni H., Hedy Lugito dan Kastoyo Ramelan (Solo)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini