SURAU berlantai lembap dan berdinding keropos di Dusun Kebun Ko'ong, Desa Gunung Malang, Jember, Jawa Timur, itu sudah tiga tahun berfungsi ganda. Selain untuk salat berjamaah sebagaimana fungsi pokoknya, setiap paginya menjadi gedung sekolah dasar. Tak ada bangku dan kursi. Murid bersimpuh di lantai dan jika menulis harus membungkuk. Atau menggunakan punggung teman yang duduk di depannya sebagai meja. Dan ini adalah satu-satunya sekolah di dusun itu. Statusnya pun sekolah dasar negeri. "Sejak berdiri tiga tahun lalu, ya, di langgar itulah," tutur Katimin, 30 tahun, Wakil Kepala SDN IV Gunung Malang, sekolah yang merana itu. Dusun ini terletak di lereng Gunung Raung, 45 km arah tenggara Jember. Penduduknya adalah pendatang dari suku Madura yang secara turun-temurun di sana sebagai buruh kebun kopi. Di Desa Gunung Malang memang sudah ada 3 SD Inpres, tapi karena Kebun Ko'ong terpencil anak-anak di sana sulit untuk bersekolah di dusun tetangganya. Akhirnya, pendidikan di sini terbengkalai, sampai muncul ide Haji Fahrurrazi untuk menjadikan langgar di depan rumahnya sebagai sekolah. "Anak-anak di sini jangan cuma bisa mengaji, baca tulis Latin juga harus bisa" ujar Haji Fahrurrazi, 45 tahun, pekan laiu. Kiai Fahrur dikenal juga sebagai guru ngaji di sana. Tahun 1985 di dusun itu resmi berdiri SD dengan nama SDN IV Gunung Malang. Dinas P & K Jember mengedrop tiga guru, yakni PM Djamingin (Kepala SD), Katimin (Wakil), dan Budi Wijono. Gedung? Ya, surau atau langgar yang berukuran 4 X 6 meter itulah gedungnya. Adapun kantor Pak Guru memakai rumah Haji Fahrurrazi. Kesulitan baru tampak ketika menginjak tahun ketiga, tahun ajaran 1987/88. Tepatnya ketika SD ini punya kelas III. Terpaksa surau itu diperluas dengan dinding bambu untuk menampung kelas III, sementara kelas I dan II tetap memakai surau bergantian. Toh, baik anak-anak maupun gurunya yang datang jalan kaki menempuh jarak 5 km dari rumahnya di dusun lain - tetap bersemangat. Kesulitan di tahun ketiga ini tak dibayangkan warga dusun. Bayangan semula, justru di tahun ketiga ada gedung permanen. Soalnya, ada janji ketika kampanye pemilu, jika Golkar menang mutlak di sana, gedung akan dibangun. Dan Golkar memang menang untuk pertama kalinya di basis PPP itu. Tapi dengan alasan pemerintah menghentikan pembangunan SD Inpres, seorang staf di Dinas P D & K Jember sudah memberi isyarat di dusun itu tak akan dibangun gedung SD. Padahal, Kiai Fahrurrazi sudah mewakafkan tanahnya seluas 160 m2. SD yang kini memiliki 95 murid ini tak pernah menyimpang dari kurikulum yang ditetapkan. "Tak ada beda dengan SD lain," kata Katimin. Bahkan jika mendung surau di lereng gunung itu menjadi gelap, anak-anak menyalakan lampu teplok. Pelajaran tetap berlangsung, seperti tak ada gangguan. Tingginya semangat belajar murid-murid SD itu mengharukan Budi Wijono, salah seorang guru. "Tak ada yang sampai membolos," kata Budi. Karena itu, sebagai guru ia pun merasa ditantang. Jika musim hujan seperti sekarang ini, Budi, yang bergaji Rp 44.000,00 ini, harus menyusuri tebing yang licin. Guna mengimbangi sema ngat untuk maju itu, seperti halnya Katimin, Budi pun mengetuk hati dermawan untuk membantu SDN yang miskin ini. "Dulu penduduk di sini jarang yang bisa baca tulis hitung, juga tak bisa berbahasa Indonesia. Sekarang sudah mulai pandai," kata Katimin lagi. Jika pemerintah sudah menutup kemungkinan untuk gedung serta bangku itu, siapa yangtergugah ? Warga dusun itu sendiri bukannya diam, tapi kehidupan mereka tampak paspasan. Murid itu saja, yang semestinya dipungut iuran Rp 100,00 per bulan, sekitar 10 persennya keberatan dengan alasan tak mampu. Sekali lagi (atau padahal) ini SD negeri. Sri Indrayati dan M. Baharun (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini