Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Eko Cahyono
Mantan Direktur Eksekutif Sajogyo Institute dan asisten pengajar Fakultas Ekologi Manusia IPB University
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Aroma ketidaktransparanan dan keengganan untuk melibatkan partisipasi publik menguar ketika pemerintah menyusun rancangan omnibus law Undang-Undang Cipta Kerja. Apalagi rancangan itu ditargetkan dapat disahkan dalam 100 hari, sehingga kewajiban untuk menghormati prinsip-prinsip demokrasi seakan-akan bisa ditabrak dan diabaikan. Pertanyaannya, mengapa omnibus law yang dipilih? Apa sebenarnya masalah yang mau dijawab? Siapa sebenarnya yang akan banyak diuntungkan dan dirugikan?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pilihan omnibus law hanya bisa dipahami jika didudukkan dalam tren global konsep koridor ekonomi. Tampaknya ini dimulai pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan Masterplan Percepatan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) dan dilanjutkan Presiden Joko Widodo dengan megainfrastruktur.
Ada dua mantra utamanya, interkoneksi dan integrasi, serta satu faktor penunjangnya, menghilangkan "sumbatan leher botol". Dua mantra utama itu mengasumsikan bahwa sumber-sumber ekonomi nasional tidak akan dapat produktif dan efisien pertumbuhannya tanpa saling ketersambungan melalui pembangunan infrastruktur. Faktor penunjangnya adalah menyederhanakan, mengoreksi, hingga menghilangkan segala regulasi yang "dianggap" akan menghambat aliran investasi.
Para konsultan skala global perancang koridor ekonomi ini menawarkan "sihir"-nya melalui tiga cara (ERIA, 2017). Pertama, membuat penilaian "status" satu negara (berkembang, pra-industri, industri, dan seterusnya) serta cara "naik kelas"-nya. Kedua, menggambar ulang peta dunia dan negara program menjadi koridor-koridor baru dan cara interkoneksi-integrasinya. Doktrin integrasi dan interkoneksi ini meliputi pembangunan megainfrastruktur, pengembangan kawasan industri, pembentukan kota-kota metropolitan baru, dan ekonomi ekstraksi sumber daya alam. Ketiga, menyiapkan paket politik kebijakan penunjang.
Cetak biru ketiganya dapat diperiksa dalam dokumen MP3EI tapi belum sempat dijalankan. Pada era Jokowi, MP3EI hilang judulnya, tapi agendanya masuk Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) dan terwujud dalam proyek megainfrastruktur.
Studi Sajogyo Institute (2019) menegaskan bahwa koridor ekonomi adalah wajah baru agenda MP3EI yang berkelindan dengan reorganisasi dan rekonfigurasi ruang skala global untuk proyek liberalisasi ekonomi pasar melalui ekspansi produksi, distribusi, dan reproduksi kapital. Salah satu yang paling populer adalah Prakarsa Sabuk dan Jalan (BRI) di Cina. Dalam dokumen BRI, Indonesia termasuk wilayah Koridor Ekonomi Semenanjung Cina-Indocina yang berdampingan dengan enam koridor ekonomi baru di Asia, Eropa, dan Afrika.
Namun ekspansi pembangunan megainfrastruktur masih mengabaikan akar ketimpangan struktural agraria, menciptakan beragam krisis sosial-ekologis desa/kota, eksklusi, dan perampasan ruang hidup rakyat. Laporan konflik agraria oleh Konsorsium Pembaruan Agraria (2019) dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (2019) menunjukkan bahwa sektor infrastruktur menjadi penyebab konflik agraria, selain ekspansi perkebunan, pertambangan, kehutanan, dan sektor lain.
Sayangnya, persoalan ketimpangan struktural belum dilihat sebagai masalah rakyat yang hendak dijawab. Tak mengherankan bila tsunami investasi justru diprediksi akan memperkokoh relasi kuasa ekonomi-politik dan akumulasi modal hanya pada segelintir kelompok oligark yang punya gurita kokoh sejak Orde Baru.
Hingga kini belum ada perubahan mendasar mengenai ketimpangan struktural agraria (kepemilikan, penguasaan, distribusi, dan akses) atas kekayaan sumber agraria nasional. Laporan Oxfam dan Infid (2017) mencatat peringkat ketimpangan ekonomi Indonesia berada di posisi keenam terburuk di dunia. Laporan Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (2019) menunjukkan bahwa 1 persen orang di Indonesia bisa menguasai 50 persen aset nasional.
Lalu mengapa pemerintah yang selama ini dikenal kerakyatan justru menciptakan beragam ironi? Di satu sisi, pemerintah mendorong kebijakan reforma agraria. Namun, di sisi lain, konflik agraria meningkat. Agenda pembangunan sumber daya manusia digalakkan, tapi pelanggaran hak asasi manusia tak kunjung padam dan seterusnya.
Kita akan sulit memahaminya tanpa membongkar kuasa oligarki politik ekonomi di negeri ini. Laporan evaluasi lima tahun Komisi Pemberantasan Korupsi dan Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam (2019) menegaskan, akar masalah korupsi struktural adalah praktik "state capture corruption". Ini merupakan praktik kuasa di luar negara yang seolah-olah atas nama negara yang memegang kendali ekonomi-politik serta "menyandera" dan memaksa pendulum kebijakan selaras dengan tujuan kelompoknya.
Akhirnya, sebagaimana persiapan menghadapi bencana tsunami, kita perlu serius mendeteksi dini dan mengantisipasinya. Untuk itu, perlu ditanyakan ulang, sudahkah pembangunan ini patuh pada nilai keadilan sosial-ekologis? Apakah omnibus law akan menguatkan martabat kemanusiaan dan keadilan atau sebaliknya? Jika jawabannya tidak, pasti bukan kesejahteraan yang akan lahir. Jika hal itu terjadi, barangkali perlu penegasan sikap bahwa jika hukum yang tidak adil tidak layak dipatuhi, investasi yang tidak berkeadilan tidak perlu dilayani.