Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Pakde

Sesuatu telah terjadi, orang-orang percaya bila harta bisa disulap. dalam tempo singkat bisa jadi milyarwan tanpa jerih payah. hidup terbiasa dengan keajaiban, tidak berpikir cara untuk dapat perolehan dari hasil kerja.

20 Desember 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"PAKDE," kata wanita itu setengah menangis, "berilah saya kekayaan." Lelaki berjanggut dengan wajah masam seperti tembok tua yang kehujanan itu terdiam. Matanya setengah terpicing. Adakah ia mendengarkan yang keluar di mulut? Atau menyidik yang bergerak di hati? Barangkali juga dia hanya berpikir, keras, bagaimana ia bisa -- dengan sungguh-sungguh -- memberi wanita itu apa yang dimintanya: kekayaan. Kata itu, sebuah nama benda abstrak, bukan saja memerlukan penjelasan. Kata itu juga baginya terdengar seperti sebuah wilayah dalam jarak yang tak terduga. Dan ia, yang oleh siapa saja disebut "Pakde", merasa terlampau tua untuk mencapai sana. Ia tiba-tiba merasa iba. Wanita itu, yang tampaknya dirundung sengsara, tentu telah sampai pada titik tempat ia terpojok. Ia terpojok oleh keinginan yang tak sampai. Inilah bedanya hidup di dunia dan di surga nanti, kata lelaki tua itu di dalam hati. Di dunia antara keinginan dan pemenuhan keinginan masih terbentang jarak. Di surga, tiap kali pada kita terbit keinginan, di saat itu juga hasrat itu terlaksana. Akibatnya, jurang antara keinginan dan kepuasan hilang dan kedua-duanya menjadi berhenti sebagai dialektik. Hasrat tak perlu ada. Hasrat tak ada. Dan manusia berbahagia: Tapi di dunia ini, di hadapannya ini seorang wanita duduk bersimpuh meminta tolong agar ia mendapatkan apa yang seakan-akan menanti seperti bulan perbani itu: kekayaan. Pakde menarik napas dalam-dalam. Dilihatnya wanita ini mengeluarkan beberapa puluh lembar uang dari dompetnya. Apa yang hendak dilakukannya? Pakde merasa gentar: ia merasa tak layak dan mungkin agak terhina untuk dibayar. Tapi wanita itu tak bermaksud membayarnya. Ia meletakkan lembar-lembar uang kertas itu di depan Pakde, seraya berkata, "Pakde, tolonglah. Ini semua uang yang tinggal pada saya. Saya tak tahu bagaimana jumlah ini bisa menjadi banyak berlipat ganda. Bukan saya serakah. Tapi saya yakin akan keajaiban. Saya yakin akan tuah tangan Pakde. Tolonglah, sulaplah uang ini menjadi 10 kali lipat." Ya, Allah. Penderitaan batin dan azab badan apa yang menyebabkan putus asa ini, Anakku? Kalimat itu tersusun dengan cepat di hati Pakde, tapi ia tak sampai mengeluarkannya lewat mulut. Dunia telah terlampau banyak nasihat, terutama bagi mereka yang sedang terpepet. Hidup telah terlalu banyak oleh teguran. Bumi berputar dan bulan perbani terpancang tetap jauh. Wanita ini memerlukan suara yang melipur. Sesuatu agaknya telah terjadi di antara kita, demikianlah pikir Pakde, hingga seorang telah tak juga tahu bahwa keajaiban telah berhenti. Bahwa keajaiban itu akhirnya ternyata hanya diimajinasikan oleh mereka yang kehabisan alternatif, atau hanya monopoli orang yang sangat suci. Atau hanya ada dalam film India di bioskop kelas tiga. Siapa yang berpikir kritis akan tahu itu. Tapi masih adakah gerangan pikiran kritis -- di saat orang capek berpikir, atau takut, atau malas? Sesuatu agaknya telah terjadi di antara kita, hingga ada orang -- seperti wanita ini yang percaya bahwa kekayaan itu sah hanya dengan melalui sulap. Atau semacam sulap: fasilitas yang begitu lekas, yang bisa membuat seorang nol kecil jadi milyarwan dengan cara yang tak usah saksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Ah, sesuatu telah terjadi pada kita, Anakku, hingga kesabaran dianggap tak perlu, dan jerih payah dianggap kolot. Pakde pun memandang ke luar jendela dan melihat deretan pohon asam kecik yang tua. Lalu katanya, "Anakku, pernahkah kau baca sebuah iklan sepatu Nike di majalah The Rolling Stones?" Wanita itu tercengang. Apa gerangan maksud dibalik kata-kata Pakde? Isyarat apa baginya? Setelah sejenak ia bingung, dengan mata yang polos ia menjawab, "Belum pernah, Pakde." Tapi, seperti layaknya seorang yang menghadap Pakde, ia tak hendak bertanya mengapa ia ditanya demikian. Dan Pakde juga diam. Ia cuma teringat iklan itu. Di dalamnya ada seorang olahragawan yang letih setelah berlatih (mungkin juga bertanding) habis-habisan. Ia memakai sepatu dan pakaian sport Nike. Dan tulisan itu berbunyi: It's not something you buy. It's something you earn. Pakde pun berpikir, dan wanita itu mencoba menunggu sabdanya. Tapi yang dipikirkan lelaki tua buruk muka itu sebenarnya hanya satu soal sepele: apa sebenarnya padanan kata to earn dalam bahasa Indonesia. Mungkin kita tak punya kata yang ringkas untuk menunjukkan suatu cara mendapatkan perolehan dari hasil kerja. Barangkali ia salah. Mungkin ingatannya meleset karena tiba-tiba ia menyadari: kita telah terbiasa hidup dengan keajaiban, dengan mukjizat. "Itulah sebabnya orang-orang pada datang ke hadapanku", kata Pakde dalam hati, "datang, meminta kekayaan -- kata benda abstrak itu. Ya, Tuhan, bebaskanlah kami dari kemanjaan ini, meskipun tidak hari ini. Goenawan Mohamad

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus