TAHUN ini Jakarta akan memasuki era jalan layang kereta api. Pekan ini pemancangan tiang pertama konstruksi jalan layang transportasi darat itu dilakukan Menteri Perhubungan Roesmin Noerjadin di depan stasiun Gambir, Jakarta. Pemancangan konstruksi penyangga jalur lewat kereta api, yang tak lagi menapak tanah itu, akan melayani rute Manggarai-Cut Mutiah sepanjang kurang lebih 2,1 km. Tahap pertama proyek kereta api yang akan mendengus-dengus di atas kepala orang Jakarta dan yang menelan biaya sekitar 15 milyar yen itu (lebih dari 150 milyar rupiah), merupakan kredit lunak dari Jepang. Selain jalur Manggarai-Cut Mutiah, juga akan dibangun Cut Mutiah-Juanda, dan Juanda-Fakarta Kota. Apabila ketia jalur tadi telah komplet berfungsi -- diharapkan selesai dalam waktu 5 sampai 6 tahun -- masyarakat yang akan menempuh rute Manggarai-Jakarta Kota sepanjang 8,5 km itu dijamin tak akan macet. Dipilihnya lokasi jalur perjalanan Manggarai-Jakarta Kota adalah dengan pertimbangan prosedur pembebasan tanah yang tak rumit dan kebanyakan tanah negara. Keputusan membangun kereta layang merupakan jalan ke luar dari lilitan kemacetan lalu lintas yang membelit warga Jakarta. "Jakarta harus memiliki sistem angkutan umum yang mampu mengangkut penumpang secara masal dengan sekali angkut dalam waktu yang singkat," ujar Gubernur DKI Jakarta Soeprapto dalam pemancangan tiang itu. Pemilihan jenis sarana baru memang harus secepatnya dipilih, bila kondisi tak mau lebih runyam. Menurut perkiraan Ir. Pantiarso Kepala Proyek Pembangunan Jalan KA Jabotabek, tahun 2000 nanti penduduk DKI Jakarta akan menggelembung hingga jumlah 20 juta jiwa. 40 persen atau sekitar 8 juta manusia setiap hari memerlukan jasa angkutan umum. Bila sedikitnya mereka melakukan dua kali trip, minimal harus diangkut manusia sejumlah 16 juta per hari. Tentu saja diperlukan sarana baru untuk bisa menampung hajat warga kota tadi. Salah satu solusinya, ya, pembangunan kereta layang itu. Kenyataannya, peranan kereta api dalam masalah transportasi Kota Jakarta masih amat kecil, hanya sekitar 1,4 persen. Dibandingkan dengan Tokyo, sebuah kota metropolitan yang lebih kompleks, yang lebih dari 70 persen memakai jasa angkutan kereta api, tentu saja Jakarta sangat ketinggalan. Hingga saat ini, ternyata, penduduk Jakarta masih sangat bergantung kepada bis kota (61,5%), mobil pribadi (24,3%), dan sepeda motor (12,8%). Kondisi transportasi umum Jakarta yang tak bisa diandalkan, terbatasnya waktu operasi yang tak sepanjang hari, waktu datang dan perginya yang tak menentu, daerah pelayanan yang belum menyeluruh serta lama perjalanan yang tak bisa dipastikan sering ngetem misalnya, membuat orang yang sudah sedikit menghargai waktu, dan kondisi ekonominya lumayan, mengkredit kendaraan sendiri. Kecenderungan untuk memiliki mobil pribadi tampaknya tidak semakin mengecil. Agaknya diperlukan kebijaksanaan menyeluruh mengenai sistem angkutan kota. Bila kepada kendaraan umum diberikan hak-hak istimewa yang lebih dari kendaraan pribadi, pola yang lama tadi sedikit demi sedikit akan berubah. Agaknya langkah pembangunan jalan layang kereta rel tunggal ini satu langkah awal yang mudah-mudahan bisa sedikit mengatasi permasalahan transportasi. Tapi kerugian yang lain menghadang. Yakni wajah arsitektur Kota Jakarta sudah terbayang akan didominasi simpang siur jalur jalan layang yang malang melintang. Sebenarnya, wajah kota masih bisa cantik dan mobilitas orang serta kendaraan terjamin, bila jalur kereta bawah tanah masih bisa dibangun. Tapi bagi Jakarta agaknya hal itu hanya impian.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini