PEMBANTU Indonesia gemar mencuri? Cerita tak enak itu datang dari orang Jepang yang pernah tinggal di Indonesia. Bahkan kesan berhubungan dengan pembantu itu disebut pula dalam buku berjudul Madam Sosha -- alias Nyonya Kamar Dagang. Buku setebal 252 halaman itu ditulis oleh seorang nyonya yang menyebut dirinya Etsuko Taniguchi. Suaminya, katanya, seorang karyawan Sogo Sosha (Kamar Dagang dan Industri Jepang) yang pernah bertugas beberapa tahun di Indonesia (dan juga Hong Kong, dan Eropa Barat). "Ada keluarga Jepang yang pernah dicuri hampir semua barangnya, termasuk uang dolar dan rupiah," tulis Etsuko Taniguchi, 40, dalam buku laris yang dicetak 28 ribu eksemplar itu. Bahkan, katanya pula, ada yang mobilnya dicuri oleh sang pembantu, ketika keluarga Jepang itu tengah mengadakan perjalanan di dalam negeri Indonesia. Pembantu rumah tangga -- yang umumnya berasal dari pedesaan Jawa -- berani mencuri mobil? Fantastis? Tak masuk akal? Sabarlah, sebentar. "Suatu pagi," cerita Etsuko lebih lanjut, "ketika saya masih tidur, pembantu mengetuk-ngetuk pintu. Kedua pembantu (wanita) itu bilang bahwa pencuri masuk rumah. Apakah ada yang hilang?" Etsuko, lulusan Fakultas Hukum Universitas Aoyamagakuin, segera mengecek barang-barangnya, mulai dari alat-alat elektronik, arloji, perhiasan, hingga dompetnya. Tak ada yang hilang. "Tapi pembantu yang paling tua minta saya mengecek lagi," tulis Etsuko. "Saya cek kembali. Tahu-tahu, uang di dalam dompet yang hilang." Etsuko lantas menelepon seorang rekan suaminya. Hasilnya ? Sang rekan berkata, "Si pencuri ada di dalam rumah." Etsuko pada mulanya tak percaya, "Karena pembantu-pembantu sepuluh bulan terakhir ini sangat setia pada saya." Bahkan tak jarang para pembantu ini melaporkan padanya, jika menemukan uang logam Rp 100 di saku suaminya. "Saya juga pernah menaruh uang beberapa minggu di atas meja, untuk menguji pembantu. Tapi tak pernah hilang. Maka, saya tak menyangka bahwa yang mencuri pembantu saya," katanya. Ada banyak perlakuan orang Jepang dalam menguji kejujuran para pembantu Indonesia itu. Ada yang menomori 1, 2, 3, dan seterusnya telur-telur yang disimpan di lemari es. "Karena gula cepat sekali habis, ada teman saya yang selalu memberi tanda -- misalnya membuat garis pada kotak gula," kata Etuko Taniguchi pada Seiichi Okawa dari TEMPO. Ihwal para pembantu rumah tangga ini di kalangan orang Jepang di Jakarta bahkan pernah pula beredar tiga lembar petunjuk. Semuanya ditulis dalam bahasa Indonesia. Lembar pertama adalah petunjuk bagi pembantu laki-laki. Isinya: 14 butir petunjuk, misalnya harus mulai bekerja pada pukul 6 setiap pagi, lalu membersihkan pinggir jalan umum di depan rumah, depan pintu gerbang, taman, halaman dalam, dan halaman belakang. Ada pula instruksi berbunyi, "Pembantu laki-laki menyajikan makan siang". "Apabila ada tamu yang datang, pembantu laki-laki yang menyuguhkan minuman, dingin atau panas, bergantung pada permintaan tuan rumah atau tamu yang datang." Lembar kedua adalah petunjuk bagi yang disebut sebagai "pembantu dalam". Yakni yang bertanggung jawab, antara lain, dalam hal memasak serta membersihkan dan merapikan ruang tidur. Ada 13 rincian tugasnya. Di antaranya: Dia harus mulai bekerja pukul 5 pagi setiap hari. Dia segera mengusahakan masuknya udara pagi segar dengan membuka pintu-pintu dan jendela-jendela. Dan inilah tugasnya dalam instruksi butir ke-5, "Menyiapkan sarapan bersama-sama dengan pembantu laki-laki: tanyakan kepada tuan rumah minuman apa yang disukai, teh, kopi, jus, atau lain-lain. Sajikan buah-buahan atau selada. Tanyakan kepada tuan rumah makanan apa yang disukai, apakah roti, nasi, sup, telur, atau lain-lain". Lembar ketiga adalah petunjuk bagi penjaga malam. Isinya, antara lain, jam kerja dimulai pukul 6 sore sampai pukul 6 pagi. Boleh libur sekali sebulan. Tidak boleh membawa teman-teman ke dalam halaman. Boleh ngobrol-ngobrol dengan teman-teman di luar gerbang, tetapi memperhatikan dan menjaga ketenangan di dalam rumah. Siapa yang membuat petunjuk bagi pembantu itu? Kabarnya, seorang profesor antropologi Jepang bersama sang istri, yang datang berkunjung ke Indonesia. Itu terjadi akhir tahun silam. Keluarga ini menginap di rumah seorang koresponden Jepang di Jakarta. Kala itulah nyonya profesor itu menyaksikan sang wartawan yang ditumpanginya terpaksa menyiapkan minuman sendiri. Padahal, ia memiliki pembantu. Karena itulah, sang nyonya profesor itu lantas membuatkan tiga macam petunjuk itu. Pada mulanya petunjuk itu ditulis dalam bahasa Inggris, yang kemudian, dengan bantuan seorang Indonesia yang sehari-hari membantu wartawan Jepang itu, diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Tak hanya itu kisah pembantu rumah tangga orang Indonesia di mata keluarga Jepang. Anak-anak Jepang pun memiliki kesan tersendiri. Anak-anak Jepang yang sekolah di Jakarta merekam kesan itu dalam buku yang diberi nama Minami Juji (Bintang Pari) -- kumpulan naskah kenangan. Buku ini kabarnya diterbitkan saban bulan Maret masa tamat sekolah atau naik kelas. "Kalau tinggal bersama jochusan (pembantu) sepanjang hari, timbul juga ketidakpuasan," tulis seorang murid perempuan kelas V dalam Minami Juji edisi ke-16 terbitan Maret 1985. "Pada waktu kita makan, jochusan mondar-mandir sana-sini di depan meja makan. Kegiatan ini tak memberi kesan baik. Bahkan kadang mencuri telur. Ini tidak baik. Saya kira, karena jochusan tak merasa melakukan hal yang tidak baik," tulis anak itu selanjutnya. Hanya yang buruk sajakah persepsi tentang pembantu ini? Ternyata, tidak. Seorang murid perempuan yang lain, juga kelas V sekolah Jepang di Indonesia, menulis dengan penuh simpati. "Jochusan setiap pagi bangun sekitar pukul 4.00. Saya tak mungkin bisa. Selalu jochusan menyediakan makan pagi, siang, dan malam. Para jochusan sejak kecil bekerja terus. Konon, jochusan mengumpulkan uang dan mengirimkannya kepada orangtua. Jochusan di rumah saya tak punya arloji. Saya kasih dia arloji. Ia sangat gembira," tulis anak itu. Di Jakarta, misalnya, ada Sekolah Khusus Taman Kanak-Kanak Jepang yang bernama Jakarta Nihonjin-Gakko Yoochibu. Sekolah ini berdiri 1970, dan kini menempati sebuah gedung di Jalan Tebet Raya. "Seluruh pelajaran berorientasi ke Jepang," ujar sebuah sumber TEMPO. Tapi dalam sekolah ini, katanya, juga diajarkan hal sopan santun Indonesia, termasuk terhadap pembantu. Di sekolah itu, katanya, ditanamkan nilai bahwa pembantu itu berkedudukan sama. Perbedaan latar belakang kebudayaan antara Jepang dan Indonesia juga mendorong guru-guru di sekolah itu memberikan pelajaran sopan santun. Bahwa, "Terhadap orang-orang Indonesia harus hormat dan tidak boleh omong kasar Sebagai pendarang, harus menghormati orang-orang di sini," kata seorang guru di sekolah itu. Sulitkah orang Jepang memahami pembantu Indonesia? Seorang keluarga Jepang yang sudah delapan tahun tinggal di bilangan Menteng, Jakarta, mengatakan tak punya keluhan mengenai dua pembantunya. Menurut pengalamannya, "Mereka yang sudah biasa bekerja dengan orang Jepanglah yang kemudian biasanya mencari kerja di keluarga Jepang lagi," kata ibu dua anak ini pada Syatrya Utama dari TEMPO. Nyonya ini, yang suaminya bekerja di sebuah perusahaan Jepang yang berkantor di Wisma Nusantara, Jakarta, mengatakan lebih memilih pembantu yang berasal dari kampung. "Karena orangnya baik, rajin, dan lebih enak bergaul," katanya. Ini berbeda dengan pembantu yang berasal dari kota. "Kerjanya malas-malasan, dan tangannya agak jahil." Menurut Etsuko Taniguchi, si penulis buku Nyonya Kamar Dagang, orang Jepang di Indonesia harus menyadari adanya perbedaan kebudayaan antara kedua bangsa. "Sadar bahwa pembantu adalah orang Indonesia, dan bukan orang Jepang," katanya. Lain lubuk, memang, lain ikannya. Laporan Seiichi Okawa (Tokyo)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini