Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Pakjun, memadai atau tidak

Pemerintah berharap agar pakjun '91 bisa meningkatkan efisiensi dan produktivitas sektor usaha dalam ekonomi nasional. deregulasi riil akan tera- sa dampaknya pada struktur produksi.

8 Juni 1991 | 00.00 WIB

Pakjun, memadai atau tidak
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Pakjun, Memadai Atau Tidak SJAHRIR SEJAK Mei '90 hingga Mei '91 belum muncul paket 3 deregulasi. Padahal, deregulasi ekonomi adalah raison d'etre kebijaksanaan ekonomi Orde Baru era pascaminyak. Situasi jadi lebih runyam dengan adanya berbagai larangan ekspor dan penetapan tata niaga perdagangan yang kian mengacau arah deregulasi. Syukur, dengan keluarnya paket deregulasi 3 Juni '91 ( Pakjun), dapat dikatakan kebijaksanaan deregulasi masih menggelinding. Cukup memadaikah kebijaksanaan tersebut, dilihat dari kondisi ekonomi sekarang? Setelah mengalami pertumbuhan tinggi pada '89 (7,4%) dan '90 (7,1%), tampaknya ekonomi akan mengalami tingkat pertumbuhan yang agak menurun untuk '91. Bank Dunia dalam laporan finalnya untuk sidang IGGI memperkirakan pertumbuhan ekonomi '91 hanya 5,7%. Tingkat suku bunga akibat Gebrakan Sumarlin II, walau mulai sedikit menurun, tetap berada pada tingkatan yang amat tinggi. Tak bisa lain, tingginya tingkat suku bunga akan mempengaruhi tingkat investasi riil yang pada gilirannya mempengaruhi tingkat pertumbuhan. Meski target pertumbuhan adalah 5% per tahun untuk Pelita V ('89/'90-'93/'94), desakan angkatan kerja yang begitu kuat tak memungkinkan 2,3 juta tenaga kerja terserap bila pertumbuhan kurang dari 5%. Dan tingkat inflasi tinggi untuk '90 (9,54%) belum bisa disebut terkendali hingga medio Juni '91. Pengendalian inflasi tetap jadi pergulatan yang belum tentu seaman yang diharapkan otoritas moneter. Lebih-lebih jika harga listrik dan BBM jadi naik. Dalam konteks kondisi ekonomi yang overheating -- akibat pertumbuhan tinggi dua tahun terakhir -- kekhawatiran inflasi yang cukup tinggi, dan bisik-bisik akan adanya devaluasi, menyebabkan suku bunga bertengger pada tingkat abnormal. Maka, satu-satunya jalan keluar bagi pemerintah adalah melanjutkan deregulasi (lihat TEMPO, 9 Maret '91, kolom Sjahrir, Gebrakan Setelah Deregulasi Macet). Maka, muncullah kini Pakjun '91. Pemerintah berharap agar paket ini bisa meningkatkan efisiensi dan produktivitas sektor usaha dalam ekonomi nasional. Inti deregulasi sektor riil ini adalah pembebasan arus perdagangan dalam dan luar negeri yang kian menjamin pengalokasian faktor-faktor ekonomi secara efisien pada tingkat ekonomi internasional dan domestik. Cara-caranya: Penurunan tarif bea masuk dan tarif bea masuk tambahan, penyederhanaan sistem-sistem tata niaga, dan pengurangan jenis usaha yang tertutup serta pelunakan persyaratan investasi di dalam bidang yang tertutup. Dengan begini arus keluar masuk barang yang mencakup sektor pertanian dan industri diharapkan lebih lancar. Kelancaran arus barang itu mempengaruhi harga dan intensitas serta efisiensi produksi sektor industri di hulu dan hilir, dan sektor pertanian pada tingkat perkebunan besar hingga petani. Bagi konsumen barang akhir atau konsumen barang antara atau bahan baku, Pakjun menjanjikan tingkat harga yang menurun, yang memungkinkan pula kegunaan (utility) barang yang optimal dengan kendala anggaran yang mereka punyai. Secara langsung ada 924 tarif bea masuk dan bea masuk tambahan yang diturunkan. Adanya 73 pos tarif yang justru dinaikkan pos tarif bea masuk dan bea masuk tambahannya (surcharge) tak bisa dinilai sebagai langkah mundur. Ini karena sebelumnya ke-73 pos tarif itu praktis sudah diberlakukan sistem tata niaganya. Betapapun, pergeseran dari nontariff barrier (pemberlakuan tata niaga) ke sistem tarif, meski sedikit lebih tinggi, tetap lebih baik. Ini karena monopoli/oligopoli yang jadi penyebab tingginya harga impor pun terhapus. Kini masih terdapat 38 tarif pos yang impornya dilarang serta 98 tarif pos yang dilaksanakan oleh importir tunggal/monopoli. Komoditi-komoditi yang ter-"kena" oleh deregulasi sektor riil mencakup minyak kelapa sawit, minyak goreng, dan kopra yang dibebaskan dari "tata niaga". Tentang kelapa sawit, soal utama bukanlah larangan ekspor, tapi kewajiban memberi sebagian produksi kelapa sawit ke pabrik pengolahan (umumnya PT-PT milik negara) pada tingkat harga di bawah fob. Kini seluruh arus tata niaga dalam negeri, ekspor dan impor kelapa sawit bebas sepenuhnya bergerak mengikuti kekuatan pasar. Perbedaan harga dalam dan luar negeri hanya sebesar bea masuk yang 5-10%. Bagaimana dampak Pakjun pada ekonomi kita? Kaum optimis lebih suka melihat separuh gelas sebagai setengah penuh, sebaliknya kaum pesimis melihatnya setengah kosong. Saya lebih condong menilai Pakjun adalah deregulasi riil yang secara hampir seketika akan terasa dampaknya pada struktur produksi, baik di sektor pertanian maupun industri. Peniadaan tata niaga hampir pasti akan memperbaiki efisiensi kegiatan usaha. Ini akan berpengaruh pula pada tingkat harga berbagai barang dan jasa yang kecenderungan umumnya berupa penurunan harga. Meskipun bila dilihat dari masalah yang dihadapi ekonomi nasional, khususnya desakan angkatan kerja, masih banyak yang bisa dibuat, pembuat kebijaksanaan selalu menghadapi kebijaksanaan yang mungkin dan yang layak. Sebenarnya dilihat dari segi "ekonomis-teknis" amat banyak komoditi yang masih diberlakukan tata niaganya, dan seharusnya dibebaskan dari perlakuan itu. Apakah itu arus perdagangan dalam negeri, ataupun luar negeri, inefisiensi dan distorsi yang bersumber dari sistem tata niaga masih amat banyak terjadi. Tingkat tarif kayu gergajian ada pada tingkat yang berlebihan. Berbagai jenis ekspor karet dan kopi masih dihadang larangan ekspor. Larangan ekspor rotan yang diproses masih berlaku dan banyak makan korban sampai sekarang dilihat dari isu keadilan (pencari rotan versus eksportir mebel besar yang dapat kredit likuiditas), dan isu perbedaan regional (Jawa versus luar Jawa yang dirugikan melalui kehilangan pendapatan dari petani dan eksportir). Sementara itu, landasan hukum bagi implementasi "kekuasaan" BPPC yang menguasai tata niaga cengkeh menimbulkan tanda tanya besar baik di lingkungan pengamat ekonomi internasional maupun para ekonom negara donor. Saat ini tampaknya deretan komoditi di atas masih belum kena "angin" deregulasi. Mengingat secara "teknis ekonomis" hal itu amat dibutuhkan, belum layaknya deregulasi di sektor-sektor tersebut pada saat ini bukan berarti itu tak layak di masa datang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus