Sistem setoran digugat sopir taksi Jakarta karena dianggap menguntungkan majikan. JALAN di kawasan Tugu Monas, Jakarta, Rabu pekan lalu berubah mirip terminal taksi. Siang itu, sekitar 50 taksi dari berbagai perusahaan, bak dikomando serentak datang dari segala penjuru, lalu berjajar membentuk barisan di pelataran Monas. "Hentikan pengurasan kantung sopir," teriak seorang di antara mereka. Kehadiran mereka di sana memang bukan untuk ngetem, menunggu penumpang, tapi melakukan unjuk rasa: memprotes perlakuan yang dinilai tak adil. Semula, keluh kesah itu hendak disampaikan pada Gubernur dan DPRD DKI. Gagal. Gubernur saat itu tidak berada di tempat. Kemudian rombongan sopir taksi itu "digiring" petugas ke silang Monas. Setelah dua jam mereka berkumpul, aparat keamanan kembali mengusirnya. Mereka diminta memilih wakilnya untuk berdialog dengan O.I. Godjali, Kepala Dinas Lalu Lintas Angkutan Jalan Raya (DLLAJR) DKI. Lalu mereka menentukan dua orang utusan: Hadi Suyanto dan Marpaung. Sementara itu, sopir lain, satu per satu bubar, mencari penumpang. Hari itu mereka menyampaikan tujuh butir tuntutan kepada O.I. Godjali. Antara lain mereka menuntut sistem setoran diganti dengan sistem komisi, menuntut dihentikan monopoli perusahaan taksi tertentu beroperasi di hotel dan pusat perbelanjaan. Mereka juga minta boleh mengambil penumpang di jalur lambat untuk bis kota. Menurut Hadi Suyanto, ketua utusan, selama ini yang dianggap tidak adil sehingga membuat resah para sopir itu adalah sistem setoran yang ditetapkan majikan. Umumnya, mereka rata-rata per hari diharuskan setor sampai Rp 60 ribu. "Jumlah sebesar itu sangat memberatkan kami," kata sopir President Taxi itu kepada Sri Raharti Hadiningrum dari TEMPO. Dengan setoran sebanyak itu sopir paling banyak hanya bisa mengantungi Rp 10 ribu bersih sehari. Padahal, mereka bekerja rata-rata 16 jam. Jika tanggal tua, kata Hadi, malah sering tombok. Akibatnya, tunggakan setoran menumpuk. Karena itulah, mereka minta sistemnya diubah menjadi sistem komisi berdasarkan argometer. Perinciannya, 60 persen untuk pemilik, 35 persen pengemudi, dan 5 persen untuk asuransi atau kesejahteraan karyawan. "Dengan sistem komisi, sopir lebih tenang kerja karena setiap hari ada yang bisa dibawa pulang," ujar ayah lima anak itu. Menanggapi keluhan itu, Godjali berjanji membawa permasalahan ini pada pengusaha taksi melalui Organda (Organisasi Angkutan Darat). Soal monopoli juga dibantahnya. Yang terjadi, seperti Blue Bird, ada perjanjian kerja sama antara perusahaan taksi dan pihak hotel dan supermarket. "Dan itu sepengetahuan DLLAJR dan Organda. Jadi, itu sah," katanya. Umumnya kalangan pengusaha taksi menyesalkan unjuk rasa itu. "Mereka kan punya kokar (korps karyawan), kenapa tidak lewat itu," kata Sukirno Hadi Utomo, Direktur Utama PT Royal City Taxi. Dinilainya, jika sistem komisi diterapkan, justru sulit pengawasannya karena acuannya argometer. Bisa saja sopir mematikan argo hingga uang itu masuk ke sakunya. Dengan fasilitas yang ada, ia yakin tak ada yang mengeluh. "Sopir digaji Rp 45 ribu per bulan, dan kami juga menyediakan perumahan," katanya. Di perusahaan taksi Jakarta International Taxi, menurut koordinator operasinya Abdul Syukur, juga berlaku manajemen luwes. Perhitungan argo dimulai pukul 06.00. "Kalau sebelum jam itu sudah beroperasi, hasilnya boleh diambil sopir," katanya. Dokter perusahaan juga ada. Karena itu, ia tak bisa mengerti mengapa muncul aksi seperti itu. Aries Margono dan Nunik Iswardhani
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini