Tulisan "Vonis Buat Surga Daud" (TEMPO, 16 Mei 1992, Hukum) menggugah saya untuk mengomentarinya. TEMPO sungguh tepat menulis bahwa Daud memang jatuh cinta ketika melihat pantai Aceh Barat yang memang indah tapi kurang diinformasikan. Saya setuju dengan tulisan itu. Juga membangkitkan kenangan masa lalu saya pada pantai Aceh Barat yang keindahannya sungguh menyaingi keindahan Bromo, Bali, SumBar, Toba, Bunaken, Ternate, Banda, dan obyek wisata Indonesia lainnya. Saya pernah dua kali merasakan keindahan pantai Aceh Barat. Itu terjadi ketika saya survei menyusuri pantai melihat flora dan fauna di sekitarnya pada 1977 dan 1979. Karena itu saya terkejut mendengar Daud divonis hanya karena ia mewujudkan rasa cintanya pada pantai Aceh Barat. Mengapa Daud harus diadili dan dihukum? Bukankah ia dengan kreatif, inovatif, dan futuristik membangun lokasi indah itu? Juga membantu mengembangkan program pariwisata justru pada daerah yang kepariwisataannya masih terbelakang? Menurut akal sehat, bukan Daud yang harus dihukum, sebaliknya kitalah yang harus menghukum diri sendiri karena tak pernah mau belajar memahami koordinasi, integrasi, dan sinkronisasi dalam banyak program yang kita mimpimimpikan sehingga sering tersandungsandung dalam melaksanakannya. Dan kebodohan itu terulang lagi untuk kesekian kalinya di Aceh. Daud yang kreatif dan inovatif itu harus dikorbankan untuk kebodohan yang tak pernah kita akui itu. Sebaiknya kita belajar kepada Daud, bagaimana kreativitas, inovasi, dan kecintaan pada tanah air yang indah itu dapat diwujudkan dalam karya nyata yang produktif. DR. IMAM CHOURMAIN M. ED. Taman Pendidikan II Nomor 23 Jalan RS Fatmawati Cilandak Barat Jakarta Selatan 12430
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini