Suatu gejala baru dalam dunia politik di Indonesia, calon presiden ramai dibicarakan dalam kampanye Pemilu. Boleh jadi hal ini merupakan pertanda keterbukaan (TEMPO, 23 Mei 1992, Laporan Utama) atau merupakan penampakan kesadaran politik bangsa kita yang semakin meningkat, yakni menyadari bahwa demokrasi meniscayakan munculnya alternatif. Kemudian dari berbagai alternatif dipilihlah yang dirasakan relatif paling baik. Gejala yang menggembirakan ini semakin mempertinggi tingkat partisipasi sosialpolitik seluruh jajaran anggota masyarakat. Partisipasi, yang sesungguhnya adalah wujud lain dari ajaran tentang musyawarah (suatu proses timbal balik antarmanusia dengan hak dan kewajiban yang sama) yang sangat erat kaitannya dengan demokrasi. alau kita iflashbackr ke suasana sidang umum MPR 1988, tindakan fraksi PPP mencalonkan Ketua Umumnya, H.J. Naro sebagai wakil Presiden, bersaing dengan calon Golkar, sebenarnya patut mendapat acungan jempol. Tak berlebihan kiranya jika usaha tersebut dikatakan sebagai oposisi loyal, dalam arti telah melahirkan rival. Usaha itu bisa disebut oposisi, tapi berjalan dalam kerangka perundangundangan yang sah. Sayang, FPP akhirnya menariknya dari pencalonan. Jika sekarang ada suasana iinr untuk mengemukakan calon presiden dan wakilnya oleh partaipartai, itu berarti selain tersembulnya ipoliticalwillr untuk mengisi proses demokratisasi, juga memungkinkan lahirnya oposisi layal itu. Memang, dalam rangka pemunculan alternatifalternatif seperti disebut di atas, diperlukan ladang subur bagi persemaian oposisi loyal. SU'ADI SA'AD Asrama Pascasarjana IAIN Jakarta Jakarta 15412
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini