Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Dewan Pengawas KPK menjatuhkan sanksi berat terhadap pelanggaran etik Firli Bahuri.
Firli melakukan tiga pelanggaran, termasuk mengadakan pertemuan dengan pihak beperkara.
Aturan etik harus dibenahi dan profesionalitas Dewan Pengawas harus diperkuat.
Kurnia Ramadhana
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Peneliti Indonesia Corruption Watch
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketukan palu oleh Ketua Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Tumpak H. Panggabean melengkapi catatan kelam Firli Bahuri. Pada Rabu, 27 Desember 2023, semua anggota majelis Dewan Pengawas KPK sepakat menjatuhkan sanksi berat terhadap pelanggaran etik Ketua KPK non-aktif tersebut. Pensiunan jenderal bintang tiga kepolisian itu terbukti melakukan tiga pelanggaran, yakni mengadakan pertemuan dengan pihak beperkara, tidak melaporkan kepada pemimpin lain perihal komunikasi terlarang, dan abai dalam menunjukkan keteladanan selama menjabat pemimpin KPK.
Ada kisah menarik sebelum putusan Dewas dibacakan. Firli diketahui sempat memainkan beberapa strateginya untuk bisa lepas dari jerat sanksi etik. Misalnya, ia mengirim surat permintaan berhenti sebagai pemimpin KPK kepada Presiden Joko Widodo melalui Menteri Sekretaris Negara Pratikno. Dari sini sangat kelihatan betapa paniknya Firli karena ia lupa bahwa permintaan berhenti tidak dikenal dalam Pasal 32 ayat 1 Undang-Undang KPK perihal syarat pemberhentian pimpinan KPK. Regulasi itu hanya mengenal istilah “mengundurkan diri”, bukan “berhenti”. Walhasil, Presiden pun menolak permintaan itu karena dianggap tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Firli sepertinya terinspirasi oleh sahabat karibnya, Lili Pintauli Siregar, mantan pemimpin KPK yang berhasil lolos dari jerat etik dengan mengundurkan diri sebelum putusan Dewas dibacakan. Syukurnya, strategi itu kandas seketika karena persoalan formal administrasi.
Tak kehabisan akal, Firli kembali bersiasat. Pada Sabtu lalu, 23 Desember, ia merevisi surat tersebut dengan mencantumkan permintaan mengundurkan diri sebagai pemimpin KPK. Namun revisi itu sama sekali tak berdampak apa pun terhadap putusan etiknya. Sebab, Dewas menyatakan sudah selesai bersidang pada Jumat lalu, 22 Desember. Lagi pula, Firli belum bisa dikatakan mengundurkan diri karena mekanisme itu baru dikatakan final ketika Presiden menerbitkan keputusan presiden tentang pemberhentiannya.
Jika putusan sudah pasti dibacakan dan sanksi dijatuhkan, lalu apa sebenarnya yang sedang diincar Firli dengan mengirim surat permintaan mengundurkan diri kepada Presiden? Ini harus dilihat secara lebih rinci karena mantan Kepala Kepolisian Daerah Sumatera Selatan itu sepertinya ingin mengabaikan putusan Dewan Pengawas dengan harapan Presiden menerbitkan keputusan presiden tentang pemberhentiannya dengan alasan permintaan mengundurkan diri, bukan karena melakukan perbuatan tercela. Jika hal itu terjadi, Firli dapat mengklaim dirinya tetap bersih karena Presiden tidak mempertimbangkan putusan Dewas dalam pemberhentiannya sebagai pemimpin KPK.
Terlepas dari persoalan siasat dan intrik Firli di atas, persidangan Dewan Pengawas yang berujung pada penjatuhan sanksi berat kepada Firli juga dipenuhi oleh catatan kritis, baik aspek penegakan maupun regulasinya. Pertama, proses pengungkapan dugaan pelanggaran etik Firli berjalan sangat lambat. Foto Firli bersama mantan Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo, sudah beredar sejak awal Oktober lalu. Semestinya, dengan modal petunjuk foto tersebut, Dewas bisa langsung memulai proses persidangan. Sayangnya, hal itu tidak dilakukan dan Dewas justru terlihat mengulur waktu. Anehnya lagi, proses penegakan hukum di Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya malah lebih cepat menetapkan Firli sebagai tersangka ketimbang persidangan etik di Dewan Pengawas KPK. Padahal dasar pembuktian hukum jauh lebih teknis karena berbicara tentang pemenuhan alat bukti ketimbang persidangan etik yang mengedepankan aspek kepantasan.
Kedua, aturan yang dibuat Dewas seperti didesain khusus untuk menumpulkan penegakan etik terhadap pimpinan KPK. Bukan tanpa alasan, merujuk pada Pasal 10 ayat 3 huruf a dan b Peraturan Dewan Pengawas Nomor 3 Tahun 2021, disebutkan, jika pimpinan KPK dijatuhi sanksi berat, hukumannya adalah pemotongan gaji sebesar 40 persen dan diminta mengajukan pengunduran diri dari jabatannya. Lantas, bagaimana jika pimpinan KPK yang dikategorikan melanggar kode etik dan dijatuhi sanksi berat tapi tidak mau mengundurkan diri? Aturan tersebut tidak bisa menjawab pertanyaan ini. Dalam kasus ini, Firli memang sudah mengajukan pengunduran diri. Bagaimana bila tidak?
Ketiga, Dewan Pengawas harus segera memperbaiki aturan penegakan etik dengan menambahkan subyek presiden dalam hal pimpinan KPK dijatuhi sanksi berat. Hal ini penting karena, jika modus Lili sebagaimana sedang dicoba oleh Firli saat ini berhasil, putusan Dewas menjadi tak berarti. Karena itu, Pasal 10 Peraturan Dewan Pengawas itu harus ditambahkan ketentuan bahwa salinan putusan sanksi berat yang dijatuhkan kepada pimpinan KPK akan dikirim kepada Presiden guna dijadikan acuan dalam mengambil tindakan pemberhentian. Kalau ini tidak dijalankan, frasa “melakukan perbuatan tercela” dalam Undang-Undang KPK tak akan pernah bisa dijalankan.
Setelah penjatuhan sanksi berat ini, Dewan Pengawas diharapkan dapat berkoordinasi dengan Polda untuk menyerahkan bukti yang terungkap dalam proses pemeriksaan etik. Hal ini krusial dilakukan karena Dewas pernah diketahui menyimpan indikasi tindak pidana dalam pemeriksaan Lili terdahulu dan enggan meneruskannya kepada aparat penegak hukum. Kala itu, mereka beralasan melaporkan indikasi tindak pidana bukan tugas Dewas yang disebutkan dalam Undang-Undang KPK. Logika semacam ini jelas keliru karena bagaimana aparat penegak hukum akan tahu dan menindak jika seluruh bukti dikuasai oleh Dewas? Lagi pula, sebagai orang-orang yang paham hukum, mereka seharusnya tahu bahwa kewajiban melaporkan indikasi tindak pidana kepada aparat penegak hukum adalah kewajiban setiap warga negara.
Dalam putusan Dewas terungkap setidaknya ada tujuh aset yang ditengarai milik Firli, tapi tidak dilaporkan dalam laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN). Bukti kepemilikan tersebut harus diserahkan Dewas kepada penyidik kepolisian untuk didalami ihwal potensi pelanggarannya. Jika hal itu sudah dilakukan, akan dilihat apakah pengabaian atas kepatuhan LHKPN tersebut sekadar persoalan administrasi atau ada potensi tindak pidana, seperti gratifikasi atau pencucian uang. Misalnya, untuk mengkonstruksikan ke arah gratifikasi, asumsinya aset-aset itu adalah pemberian pihak lain yang juga tidak dilaporkan Firli kepada KPK, lalu dalam hal pencucian uang jika aset tersebut ternyata dibeli dengan harta yang diperoleh dari tindak pidana guna menyamarkan asal-usul perolehannya. Bila benar, ini akan jadi hal menarik karena akan kembali membuka tabir gelap Firli.
Momentum penjatuhan sanksi berat ini harus menjadi perhatian setiap pihak. Figur pemimpin lembaga yang menjunjung tinggi nilai integritas tidak boleh lagi diisi oleh orang bermasalah. Di sisi lain, pengharapan atas instrumen pengawas yang lebih profesional dan berani penting untuk terus digaungkan. Bila tidak, praktik penyimpangan di KPK akan terus-menerus terjadi dan dimanfaatkan oleh pimpinan mendatang yang memiliki sikap buruk seperti Firli.
PENGUMUMAN
Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebut lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan nomor kontak dan CV ringkas.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo