Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Produk impor murah, terutama dari Cina, terus membanjiri pasar domestik.
UMKM dan pedagang pasar banyak yang sudah gulung tikar menghadapinya.
UMKM perlu beradaptasi dengan perdagangan online dan membenahi ekosistem produknya.
UNTUK melindungi pasar produk domestik, terutama dari usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), dari serbuan barang impor, khususnya produk Cina, Presiden Jokowi sebetulnya telah meminta jajarannya untuk memperketat dan membendung arus sejumlah barang dari luar negeri yang mengganggu pasar dalam negeri. Meski demikian, hingga kini daftar barang yang masuk positive list ternyata tak kunjung keluar. Penentuan produk impor apa saja yang masuk daftar barang di bawah harga US$ 100 per unit tampaknya masih alot.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 31 Tahun 2023 tentang Perizinan Berusaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam Perdagangan Melalui Sistem Elektronik, secara umum produk yang dibatasi adalah barang jadi yang bisa langsung dikonsumsi masyarakat. Jenis barang impor yang akan dibatasi itu, antara lain, adalah produk mainan anak-anak, barang elektronik, alas kaki, kosmetik, barang tekstil, obat tradisional, suplemen kesehatan, pakaian jadi, aksesori pakaian jadi, dan tas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Para pelaku UMKM dan pedagang pasar saat ini masih menunggu implementasi pembatasan barang impor untuk melindungi produk lokal itu. Tidak sedikit pelaku UMKM dan pedagang pasar gulung tikar karena tak kuat bersaing dengan derasnya produk impor, khususnya dari Cina. Dari segi harga, produk impor dari Cina umumnya dipatok dengan harga yang relatif lebih murah sehingga sulit bagi produk lokal untuk bersaing dengan gempuran produk impor dari Cina.
Gempuran Produk Impor
Ketika perdagangan online makin marak, gempuran dan kehadiran produk impor yang membanjiri pasar domestik memang tidak mungkin dihindari. Berbeda dengan pola pemasaran produk impor sebelumnya yang masih terbatas karena hanya dilakukan secara offline, kini pemasaran produk impor makin masif karena difasilitasi perdagangan online. Penawaran dan penjualan produk impor dapat dilakukan kapan saja, di mana saja, dan oleh siapa saja. Inilah yang membuat banyak pasar grosir dan pelaku UMKM kehilangan pembelinya.
Pergeseran perilaku berbelanja masyarakat ke online, yang marak terjadi sejak masa pandemi Covid-19, membuat kondisi pasar produk nasional berubah drastis. Untuk memasarkan produknya, pedagang tidak lagi harus melewati pasar konvensional dan toko-toko grosir. Dengan fasilitas Internet dan sistem pembayaran online, konsumen dapat dengan mudah berselancar di dunia maya mencari produk-produk impor yang diinginkan tanpa bisa dibatasi.
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), impor produk non-minyak dan gas Indonesia dari Cina melonjak hingga 43,71 persen pada Mei 2023 jika dibanding pada April 2023. Ini adalah produk impor dari Cina yang tercatat resmi. Dalam praktiknya, bukan tidak mungkin jumlahnya lebih besar karena barang-barang impor yang masuk ke Indonesia secara ilegal juga besar.
Bisa dibayangkan apa yang dihadapi produk dalam negeri, terlebih produk lokal, ketika harus menghadapi gempuran arus masuk produk impor yang luar biasa intens. Di berbagai daerah, pangsa pasar produk domestik diakui atau tidak turun drastis. Pangsa pasar yang ada diindikasikan makin menciut. Omzet pelaku UMKM dan pedagang pasar dilaporkan terus turun. Keresahan pun melanda para pedagang pasar dan pelaku UMKM karena banyak usaha mereka yang terancam kolaps.
Serbuan produk impor yang nyaris tak terbendung itu jelas mempengaruhi kelangsungan hidup pedagang pasar dan pelaku UMKM. Saat ini, kontribusi UMKM terhadap produk domestik bruto dilaporkan mencapai 60,5 persen. Selain itu, penyerapan tenaga kerja di sektor UMKM juga sangat tinggi, yakni mencapai 96,9 persen dari total penyerapan tenaga kerja nasional. Pertanyaannya kemudian, apa yang terjadi jika peran UMKM ini semakin pudar? Eksistensi UMKM kini tidak sedikit yang goyah. Bahkan sebagian dilaporkan sudah gulung tikar.
Jangankan berbicara nasib dan bagaimana kondisi perkembangan UMKM ke depan. Usaha berskala menengah dan besar pun rawan kolaps. Industri tekstil dan baja, misalnya, dilaporkan sedang terengah-engah karena tak kuat bersaing dengan produk impor. Tanpa didukung intervensi kebijakan pelindungan dari pemerintah, bukan tidak mungkin keberadaan UMKM dan usaha berskala besar sekalipun akan bangkrut karena sepi order. Pada titik ini, apa yang harus dilakukan untuk melindungi produk domestik dan lokal agar tetap selamat?
Adaptasi
Saat ini, pemerintah sebetulnya telah melakukan berbagai upaya untuk mencegah agar arus masuk produk impor dapat dikendalikan hingga tidak sampai merugikan produk lokal. Kementerian Perdagangan dilaporkan telah menerbitkan aturan yang memperketat arus masuk barang impor secara langsung atau cross border.
Selain melarang beroperasinya TikTok Shop, pemerintah memperketat pengawasan pengusaha luar negeri yang melakukan perdagangan online di Indonesia. Tujuannya jelas, yakni ingin melindungi produk-produk domestik dan lokal agar tidak tergerus persaingan yang makin ketat, terutama arus masuk produk dari Cina dan negara lain dengan harga lebih rendah.
Untuk jangka pendek, kebijakan pemerintah itu memang bermanfaat. Paling tidak ia membendung arus produk impor yang selama ini terus membanjiri pasar nasional. Namun sejauh mana upaya membendung masuknya produk impor ini dapat bertahan? Mungkinkah membendung arus masuk produk impor pada era perdagangan bebas yang semakin mengglobal?
Walaupun arus produk impor tertentu bisa dicegah masuk dengan sejumlah peraturan, perlu disadari bahwa masuknya produk impor yang digemari konsumen di Tanah Air sesungguhnya bukan sekadar karena harganya murah. Berbagai produk impor terus membanjiri pasar domestik karena permintaan dari dalam negeri memang kerap tidak mampu dipenuhi oleh produsen lokal. Di samping itu, barang-barang impor lebih populer dan disukai konsumen karena kualitasnya memang lebih baik.
Untuk membendung arus masuk produk impor, sesungguhnya tidak cukup hanya dengan mengandalkan kebijakan proteksionisme, seperti membatasi dengan peraturan yang mengenakan tarif cukai tinggi. Kuncinya adalah memproduksi komoditas yang tak kalah berkualitas dan harganya bersaing.
Para pelaku UMKM cepat atau lambat harus dipersiapkan dan didorong masuk ke pasar digital yang kini sudah menjadi keniscayaan. Pola perilaku berbelanja masyarakat sekarang sudah bergeser ke online. Cyber mall dan katalog-katalog digital yang menawarkan berbagai produk impor di dunia maya tidak lagi bisa dihindari. Hanya pelaku UMKM yang mampu beradaptasi dan bermigrasi ke pola digital-lah yang dapat bertahan.
Indonesia juga masih punya masalah dalam hal biaya logistik yang masih mahal, kualitas masih rendah, tidak efisiennya transportasi, dan sebagainya. Semua itu harus secara simultan dibenahi agar produk UMKM kita mampu bersaing di pasar global. Tanpa itu, jangan harap UMKM akan mampu bertahan.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo