Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Kementerian Perhubungan memotong anggaran untuk subsidi angkutan massal perkotaan.
Angkutan massal perkotaan penting untuk meningkatkan perekonomian dan mengurangi polusi.
Pemotongan subsidi akan memicu berbagai dampak negatif.
KEPUTUSAN Kementerian Perhubungan memangkas alokasi dana subsidi transportasi massal perkotaan untuk tahun 2025 patut dikritik. Bukannya menambah subsidi agar lebih banyak orang menggunakan transportasi umum, pemerintah malah terkesan tak berpihak kepada pengguna angkutan umum. Langkah tersebut juga kontradiktif dengan upaya mengurangi beban ekonomi masyarakat kelas menengah bawah dan ikhtiar pengurangan emisi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Subsidi melalui program pembelian layanan (buy the service/BTS) transportasi itu dipotong lebih dari 50 persen, dari Rp 437,9 miliar pada 2024 menjadi hanya Rp 177,5 miliar untuk tahun ini. Pengurangan ini berdampak pada cakupan subsidi, dari 11 kota pada tahun lalu menjadi hanya enam kota pada tahun ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam program BTS, pemerintah pusat menanggung 100 persen subsidi. Kementerian Perhubungan beralasan pemotongan terjadi karena beberapa daerah sudah bisa menjalankan angkutan umumnya secara mandiri. Kenyataannya, tak semua kota siap. Pemerintah Kota Surakarta, Jawa Tengah, misalnya, terpaksa mengurangi jumlah armada bus yang beroperasi dan jam operasi. Jelas ini akan berdampak pada pengguna yang selama ini memanfaatkan layanan tersebut.
Di seluruh dunia, angkutan massal disubsidi pemerintah karena punya dampak berganda. Subsidi akan membuat tarif angkutan menjadi murah dan terjangkau untuk semua kalangan. Kebijakan ini dapat mendorong peningkatan aktivitas ekonomi karena masyarakat bisa menjangkau berbagai tempat dengan mudah. Angkutan umum yang murah dan memadai juga akan mendorong orang meninggalkan kendaraan pribadi, yang akan berpengaruh pada pengurangan polusi, jejak karbon, penggunaan bahan bakar minyak, dan kemacetan di jam-jam sibuk.
Pencabutan subsidi, sebaliknya, akan membuat tarif angkutan naik atau jumlah armadanya berkurang. Yang pertama-tama menjadi korban adalah kalangan masyarakat menengah ke bawah, yang pengeluarannya bakal membengkak. Hal itu akan menciptakan peminggiran sosial terhadap kelompok ini. Aktivitas ekonomi juga akan terganggu, terutama bagi kelompok usaha kecil dan menengah yang biasanya memakai moda transportasi umum untuk aktivitas bisnisnya. Hal tersebut juga akan mendorong orang menggunakan kendaraan pribadi, yang berarti bakal menambah jumlah kendaraan di jalan, meningkatkan konsumsi bahan bakar, dan menambah emisi.
Pemotongan subsidi transportasi publik ini menunjukkan kembali bahwa pemerintahan Presiden Prabowo Subianto tak punya visi yang memadai dalam kebijakan transportasi. Padahal subsidi transportasi memiliki daya ungkit besar terhadap perekonomian. Itu sebabnya negara-negara maju mempertahankan subsidi ini dan negara berkembang mengembangkan sistem subsidi sesuai dengan kemampuan mereka.
Bank Dunia mematok pengeluaran ideal untuk sektor transportasi sekitar 10 persen dari pendapatan. Adapun pengeluaran masyarakat Indonesia untuk transportasi masih mencapai 25-35 persen dari pendapatan. Indonesia bahkan masih tertinggal dari Afrika Selatan, yang sudah berani mematok maksimal 10 persen dari pendapatan penduduknya sebagai batasan pengeluaran untuk transportasi sejak 1996.
Pemerintah perlu meninjau kembali keputusan pemotongan subsidi ini dengan memeriksa benar kesiapan daerah dalam menjalankan transportasi massal secara mandiri. Subsidi seharusnya bukan dipangkas, melainkan justru ditambah dengan menerapkan program BTS ke kota-kota lain. Program tahun lalu saja baru mencapai 11 kota dari 552 pemerintah provinsi dan kabupaten/kota. Artinya, masih banyak kota yang perlu dibantu untuk mengembangkan transportasi umum yang memadai. Pemerintah jangan cuma berpikir bagaimana menarik pajak baru dari masyarakat, tapi abai dalam menyediakan layanan publik yang baik, seperti angkutan umum. ●
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo