Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SELAMA koruptor tidak dimiskinkan, pemberantasan korupsi di negeri ini bakal selamanya jalan di tempat. Percuma saja penegak hukum menangkapi pejabat yang menyelewengkan kewenangannya jika harta hasil pencolengan mereka tak disita untuk negara. Sayangnya, itulah yang kini terjadi di Indonesia. Kasus korupsi yang menjerat bekas Sekretaris Mahkamah Agung, Nurhadi Abdurrachman, adalah satu contohnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Nurhadi ditangkap dalam sebuah operasi penyergapan yang dipimpin penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi ketika itu, Novel Baswedan, pada Juni 2020. Sebelumnya, selama lima bulan, dia menjadi buron, berkelit dari jerat hukum dengan jejaring koneksinya di kalangan politikus dan kepolisian. Kelihaiannya mengatur perkara kembali terbukti ketika majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta Pusat menjatuhkan vonis ringan enam tahun penjara. Padahal nilai suap dan gratifikasi yang dia terima hampir Rp 50 miliar. Yang janggal, hakim tidak mewajibkan Nurhadi membayar kembali kerugian sebesar Rp 83 miliar dengan alasan itu bukan kerugian negara. Upaya banding dan kasasi KPK sampai Mahkamah Agung tidak berhasil mengubah putusan itu. Walhasil, tahun depan, Nurhadi sudah bisa bebas bersyarat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kini KPK punya kesempatan kedua menjerat Nurhadi. Para penyidik tengah mendalami perkara pencucian uang Nurhadi yang diduga melibatkan pengusaha Mahendra Dito Sampurno. Nama Dito mencuat dalam perkara pencemaran nama yang disangkakan pada selebritas Nikita Mirzani. Sampai akhir sidang Nikita, Dito tak pernah muncul dalam persidangan. Perilaku serupa ditunjukkan Dito di KPK. Meski sudah tiga kali dipanggil penyidik, Dito konsisten mangkir. Sudah saatnya KPK melakukan upaya paksa.
Peran Dito untuk membongkar perkara pencucian duit hasil korupsi Nurhadi amat menentukan. Dia disebut-sebut menyimpan puluhan miliar rupiah kekayaan Nurhadi. Penegak hukum telah mengantongi sejumlah bukti, seperti nota transfer dan kendaraan mewah. Investigasi majalah ini tiga tahun lalu juga menemukan sejumlah modus Nurhadi membilas sejumlah asetnya. Nama Nurhadi terkait dengan kepemilikan aset di Jakarta, Bogor, hingga Sumatera Utara. Tempo juga menemukan transaksi atas pembelian sejumlah rumah, vila, kebun sawit, pabrik tisu, dan arloji mewah yang terkait dengan Nurhadi.
Meski terlambat, upaya KPK mengejar tindak pidana pencucian uang dalam kasus Nurhadi perlu didukung. Jejaring sang terpidana pasti berusaha merintangi penyidikan ini dengan berbagai cara. Ke dalam, KPK perlu memastikan semua perangkatnya kebal dari godaan kanan-kiri untuk mensabotase penegakan hukum dalam perkara ini. Pimpinan dan penyidik jangan sampai masuk angin. Kekhawatiran ini beralasan karena kinerja komisi antikorupsi dalam penanganan kasus pencucian uang memang tak cemerlang. Pada 2021, KPK cuma bisa menyelesaikan 8 dari 20 kasus dugaan pencucian uang dari hasil korupsi.
Menjerat Nurhadi pasti tak mudah. Dia bukan orang sembarangan di dunia peradilan. Nurhadi adalah aktor utama dalam permainan jahat di Mahkamah Agung. Berkomplot dengan panitera dan hakim, Nurhadi mengendalikan jaringan dagang perkara yang amat berkuasa. Nurhadi ibarat Don dalam jejaring mafia Sisilia. Menumbangkan sang Don tak hanya penting untuk negeri ini, tapi juga krusial untuk mengembalikan kepercayaan publik pada KPK yang kian terpuruk.
Artikel:
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo