Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Herlambang P. Wiratraman
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dosen hukum tata negara Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada serta Wakil Ketua Kelompok Kerja Sains dan Masyarakat Akademi Ilmuwan Muda Indonesia
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PEMBENTUKAN hukum sudah sepatutnya mempertimbangkan aspek mendasar, yaitu substansi dan tidak sekadar memburu formalitas target pengesahannya. Namun ini tidak berlaku bagi pembentukan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Betapa tidak, berulang kali dalam berbagai forum disebutkan bahwa RKUHP yang ada akan tetap disahkan pada Desember 2022.
Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md. dalam Seminar Nasional Respons Tanggapan Pemerintah atas Masukan Dewan Pers yang digelar Rabu, 16 November lalu, menyatakan draf tersebut segera disahkan. Alasannya, selain pembahasannya dinilai terlalu lama, KUHP sekarang warisan kolonial Belanda. Mahfud lupa bahwa desakan publik, agar sejumlah pasal bermuatan hukum represif tak disahkan, tak bisa dihentikan begitu saja dengan alasan formalitas seperti yang disampaikannya.
Baca: Lobi Pemerintah Mempercepat Pengesahan RKUHP
Bila pengesahan RKUHP dipaksakan, pembentuk hukum hari ini mengkonfirmasi empat hal. Pertama, cara pandang berhukumnya adalah formalisme dan selektif: pilih-pilih dan memilah aturan hukum formal yang dianggap tepat menopang penyegeraan tersebut. Kedua, menegaskan pembentukan hukum yang mencerminkan model “autocratic legalism” (Scheppele, 2015). Model pembentukan demikian cirinya tiga, yakni prosesnya ugal-ugalan, tokenisme partisipasi alias partisipasi yang semu saja, dan substansinya justru berbasis pada pengingkaran hukum alias illegality.
Ketiga, pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat yang menggampangkan masalah sekaligus mengesampingkan suara publik menegaskan model demokrasi yang illiberal, membajak suara rakyat atas nama representasi formal ketatanegaraan. Keempat, pengesahan itu sekaligus menjadi cerminan kegagalan penyelenggara negara memberikan perlindungan konstitusional hak warga negara akibat potensi ancaman kebebasan sipil.
Betapa pun pemerintah mengklaim pengesahan RKUHP versi terakhir, 9 November 2022, merupakan wujud demokrasi yang lebih substantif, dampaknya terhadap kebebasan sipil, termasuk pers, bisa sangat berbahaya. Awak media, pers, dan karya jurnalistik bisa dengan mudah diganjar hukuman pidana. Namun pemerintah tak mempedulikan soal ini. Usulan reformulasi 22 pasal RKUHP dari Dewan Pers, atau catatan kritik Aliansi Jurnalis Independen atas 19 poin RKUHP, hanya diakomodasi satu pasal, yakni pasal 280 tentang “Gangguan dan Penyesatan Proses Peradilan”. Selebihnya, tak berubah.
Pertanyaannya, mengapa pembentuk hukum RKUHP mempertahankan pasal-pasal yang mengancam kebebasan sipil, termasuk kebebasan pers? Kenapa pula dalih politik dekolonialisasi dalam draf RKUHP versi 9 November 2022 hanya isapan jempol dan tak serius diupayakan?
Rezim Punitif dan Paradigma Hukum Represif
Semangat RKUHP saat ini lebih mencerminkan rezim punitif, menekankan penghukuman dengan memanfaatkan instrumen pidana, termasuk terhadap pers. Idealnya, di negara demokrasi yang menjamin kebebasan pers, produk karya jurnalistik tidak pernah menjebloskan jurnalis ke penjara, melainkan hukuman denda saja (Astraatmadja, 2002).
Namun sederet pasal yang ada dalam draf RKUHP saat ini justru berpotensi besar menghukum pers secara pidana. Dasarnya adalah realitas penegakan hukum yang memanfaatkan pasal-pasal tersebut untuk memenjarakan jurnalis.
Sederet pasal yang mengancam kebebasan pers antara lain pasal tindak pidana terhadap ideologi negara; penyerangan kehormatan, harkat, dan martabat presiden serta wakil presiden; penghasutan untuk melawan penguasa; penyiaran atau penyebarluasan berita atau pemberitahuan bohong; tindak pidana terhadap agama dan kepercayaan; penghinaan terhadap kekuasaan umum dan lembaga negara; serta pencemaran nama. Padahal pasal-pasal tersebut warisan hukum masa kolonial Belanda dan sebagian sudah dikubur Mahkamah Konstitusi.
Mari simak haatzaai-artikelen (artikel penabur kebencian), yang pertama kali diperkenalkan oleh rezim kolonial. Dalam perkembangannya, pasal-pasal haatzaai yang paling berbahaya bagi kebebasan ekspresi dan pers dinyatakan bertentangan dengan konstitusi (vide: putusan Mahkamah Konstitusi 6/PUU-V/2007). Bukankah politik hukum dekolonialisasi yang digembar-gemborkan pemerintah omong kosong belaka bila tetap memberlakukan pasal-pasal tersebut?
Bahkan pasal yang telah dikubur Mahkamah Konstitusi justru digali dan dihidupkan kembali dalam RKUHP. Alih-alih dekolonialisasi, yang terjadi justru sebaliknya. Watak hukum kolonial, yang memberlakukan pasal-pasal itu untuk membungkam suara kritis pada masa pemerintahan Hindia-Belanda, kini makin diteguhkan.
Masalah mendasar lain dalam RKUHP adalah menguatnya paradigma hukum represif. Paradigma ini bisa direfleksikan dari pasal yang berpotensi mengancam kebebasan pers dan kebebasan sipil lain. Pers mudah disasar dengan pasal-pasal itu karena dalam penjelasan pasal 596—mengenai tindak pidana penerbitan dan pencetakan—RKUHP termuat “delik pers”. Aparat penegak hukum, yang bisa menafsir bebas makna “delik pers”, mendapat legitimasi untuk menyasarkan pasal tersebut kepada pers.
Artinya, politik hukum telah mengganti hukum pidana. “Kolonial” ke “nasional” hanya bungkus. Wataknya sama-sama menindas. Patut disayangkan pembentuk hukum RKUHP lupa bahwa pembaruan hukum pidana sangatlah dekat dengan masalah dasar jaminan dan perlindungan hak asasi manusia. Sedangkan draf RKUHP, dari standar formulasi, pembatasan hak, dan bahkan konsekuensi hukum atas pembatasan kebebasan-kebebasan dalam pemidanaan, justru sangat jauh dari ideal berhukumnya negara hukum dan jauh di bawah standar hukum hak asasi manusia.
Dalam soal pers, di tengah banyak negara mendorong proses-proses dekriminalisasi dan depenalisasi terhadap pers, seperti menghapus pasal pencemaran nama, RKUHP justru pendekatannya bersifat punitif. Penghapusan pemidanaan pers merupakan perkembangan hukum pers yang lebih maju, dan faktanya telah menjadi landmark decisions atau putusan-putusan istimewa dan berkualitas untuk membangun sistem hukum, serta menjadi preseden.
Ini terlihat dalam putusan Mahkamah Agung dalam kasus Tomy Winata versus Tempo. Dalam putusan tersebut, pers bebas harus dijamin karena menjadi pilar penting demokrasi. Putusan itu juga menegaskan mekanisme khusus hukum pers dan menempatkannya sebagai lex specialis (aturan khusus) dalam menyelesaikan kasus pemberitaan.
Menariknya, silang pendapat terkait dengan perumusan pasal-pasal yang berpotensi mengancam pers justru tak menjadi perhatian dalam Naskah Akademik RKUHP. Dari titik ini, kita perlu melakukan refleksi kembali mengapa semangat memidanakan kebebasan pers, juga kebebasan ekspresi, begitu dominan dan justru sangat jauh dari standar hukum hak asasi manusia, baik formulasi pasal maupun pembatasannya.
Pertama, konservatisme pendidikan hukum, terutama hukum pidana, masih bertahan kuat di fakultas-fakultas hukum. Ajaran pemidanaan tidak sungguh-sungguh diupayakan untuk menjajaki perkembangan hukum, terbatas memanfaatkan landmark decisions yang menjadi yurisprudensi terbaru, atau pergeseran-pergeseran doktrin pidana. Kedua, pendekatan yang digunakan lebih dominan pidana daripada keilmuan yang lintas disiplin, seperti mengaitkannya dengan kajian hukum dan perkembangannya dalam bidang hukum tata negara, hukum hak asasi manusia, atau disiplin ilmu lain di luar hukum.
Dalam konteks demikian, pemikiran mengenai depenalisasi dan dekriminalisasi terkait dengan kebebasan pers harus diupayakan dalam RKUHP. Bila penghapusan pasal tak bisa dilakukan, jalan keluar minimal bisa berupa “exceptional clauses” (pasal-pasal yang mengecualikan), yakni mengecualikan pemidanaan bagi kasus-kasus terkait dengan pemberitaan pers atau karya jurnalistik. Hal ini pula berlaku untuk kegiatan dan/atau karya ilmiah sebagai bagian dari kebebasan akademik serta kepentingan umum.
Belajar dari kajian-kajian secara sosiologis, dalam sejarahnya terlihat bahwa penerapan hukum pidana terhadap pers selalu hanya ditujukan untuk menyerang dan/atau retaliasi (balas dendam) terhadap jurnalis atau media massa. Pemidanaan itu, seperti tecermin dalam RKUHP, tak hanya mempengaruhi kebebasan pers, tapi juga gagal mencerminkan supremasi hukum, demokratisasi, dan hak asasi manusia. Itu sebabnya formulasi ketentuan pidana dalam kasus pers tidak lagi relevan.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo