Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Utak-atik Integritas Pemilu

KPU menghapus kewajiban laporan dana kampanye untuk Pemilu 2024. Mengapa ini terjadi? Siapa yang akan diuntungkan?

21 Juni 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Tempo/Rudy Asrori

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • KPU akan menghapus kewajiban Laporan Penerimaan dan Sumbangan Dana Kampanye.

  • Alasannya terlalu mengada-ada dan bias kepentingan partai politik.

  • Kebijakan ini akan menguntungkan partai politik dan merugikan pemilih.

Kurnia Ramadhana
Peneliti Indonesia Corruption Watch

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Integritas Pemilihan Umum 2024 berpotensi besar akan tercoreng. Baru-baru ini, Komisi Pemilihan Umum (KPU), melalui pernyataan anggotanya, Idham Holik, berencana menghapus Laporan Penerimaan dan Sumbangan Dana Kampanye (LPSDK) para calon anggota legislatif (caleg). Padahal LPSDK adalah sarana yang bisa dimanfaatkan pemilih untuk menilai transparansi dan akuntabilitas kandidat wakil rakyat. Alasannya pun terlalu mengada-ada dan bias kepentingan partai politik.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Laporan dana kampanye yang wajib diserahkan peserta pemilu selama ini dibagi menjadi tiga jenis, yakni Laporan Awal Dana Kampanye (LADK), Laporan Penerimaan Sumbangan Dana Kampanye (LPSDK), serta Laporan Penerimaan dan Pengeluaran Dana Kampanye (LPPDK). Dari segi waktu, LADK diserahkan menjelang masa kampanye, LPSDK pada pertengahan, dan LPPDK setelah pemungutan suara. Dalam hal substansinya, LADK berisi sumber perolehan modal kampanye, LPSDK adalah pembukuan paruh waktu masa kampanye, dan LPPDK merupakan laporan keuangan menyeluruh peserta pemilu selama menjalani masa kampanye. Tiga jenis dokumen ini saling terkait dan mutlak tidak bisa dihapus.

Dalam rapat dengar pendapat dengan DPR, KPU mengutarakan sejumlah alasan ganjil mengenai rencana penghapusan LPSDK. Pertama, menurut mereka, laporan paruh waktu dana kampanye itu dihapus karena tidak diatur dalam Undang-Undang Pemilu. Alasan ini sangat lemah, mudah dibantah, dan memperlihatkan cara pandang KPU yang amat sempit dalam memahami peraturan perundang-undangan. Walaupun tidak disebutkan secara eksplisit, filosofi LPSDK tercantum jelas dalam Pasal 3 huruf b, f, dan i Undang-Undang Pemilu mengenai prinsip penyelenggaraan pemilu, seperti jujur, terbuka, dan akuntabel. Hal-hal mendasar seperti ini tentu mustahil tidak diketahui oleh jajaran petinggi KPU.

Dengan menghapus kewajiban peserta pemilu untuk melaporkan dana kampanye, berarti KPU menganggap keterbukaan merupakan praktik yang harus dihindari. Lagi pula pelaporan dana kampanye ini bukan konsep baru dalam penyelenggaraan pemilu karena sudah ada sejak 2014 dan sama sekali tidak pernah dipermasalahkan keabsahan hukumnya.

Kedua, KPU menyatakan bahwa penghapusan LPSDK itu juga karena waktu kampanye yang terbilang pendek (75 hari), sehingga penyampaian laporan itu sulit ditentukan. Argumen yang lemah semacam ini kian menguatkan dugaan bahwa penghapusan LPSDK itu merupakan order dari peserta pemilu.

Logikanya sederhana saja. Kewajiban melaporkan dana kampanye dibebankan kepada partai politik, yang tentu akan menguras tenaga dan waktu mereka dalam menghimpun dokumen keuangan para caleg. Adapun KPU sebagai penyelenggara pemilu praktis hanya menerima, mempublikasikan, dan menunjuk akuntan guna mengaudit bundel laporan tersebut. Dengan demikian, pihak yang paling diuntungkan dengan kebijakan baru KPU ini sudah pasti adalah partai politik. Masyarakat sebagai pemilih malah kehilangan kesempatan untuk mengawasi dan mengetahui seluk-beluk dana kampanye caleg. 

Ketiga, substansi LPSDK dianggap KPU sudah tertuang dalam LADK dan LPPDK sehingga tidak perlu dibuat lagi. Sulit memahami pandangan KPU ini. Sebab, dari segala aspek, baik waktu, substansi, maupun kegunaan, tiga dokumen tersebut jelas berbeda. Misalnya, walau memuat laporan keuangan, baik penerimaan maupun pengeluaran di masa kampanye, LPPDK baru bisa diakses setelah pemungutan suara. Dokumen tersebut tentu tidak bisa dijadikan rujukan bagi pemilih sebelum mencoblos. Melalui LPSDK, pemilih dapat mengamati secara langsung kesesuaian antara kegiatan kampanye yang sedang berjalan dan nominal yang dicantumkan dalam laporan. Jika ditemukan keganjilan, bukti itu bisa digunakan sebagai dasar untuk tidak memilih caleg tersebut.

Berkaca pada peristiwa yang terjadi pada 2019, pentingnya LPSDK menguat seiring dengan besarnya jumlah penerimaan pada paruh waktu masa kampanye. Misalnya, LADK Perindo kala itu tercatat hanya sebesar Rp 1 juta, tapi dalam LPSDK melesat tajam hingga Rp 82,6 miliar. Kenaikan drastis tersebut penting dicermati, terutama guna mengidentifikasi siapa saja yang menjadi penyumbang partai tersebut.

LPSDK juga bisa memperlihatkan barisan caleg yang ditengarai ingin menutup-nutupi dana kampanyenya. Sebagai contoh, Badan Pengawas Pemilu Kabupaten Kudus menemukan 225 caleg yang tidak mengisi LPSDK. Mustahil rasanya seorang caleg tak mengeluarkan sepeser uang pun saat berkampanye.

Para petinggi KPU seolah-olah lupa, sebelum jabatan sekarang, mereka adalah bagian dari penyelenggara dan pengamat pemilu yang familiar dengan instrumen LPSDK. Sebagai contoh, Hasyim Asy’ari adalah anggota KPU periode 2017-2022. Hasyim merupakan anggota yang membaca LPSDK semua partai politik dalam Pemilu 2019. Adapun August Mellaz adalah mantan aktivis pemilu yang dulu kerap menggunakan LPSDK sebagai basis penelitiannya. Tak salah jika dikatakan bahwa penghapusan LPSDK merupakan akal-akalan anggota KPU yang kental akan aroma politik.

Kebijakan KPU yang kontroversial sebenarnya pertama kali ini terjadi. Sejak awal tahun, mereka sudah berulah, dari indikasi kecurangan dalam proses verifikasi partai politik, pelanggaran etik Ketua KPU, pembiaran bekas terpidana korupsi maju lebih cepat sebagai caleg, hingga membatasi keterwakilan perempuan (caleg perempuan). Karena itu, kabar mengenai rencana penghapusan LPSDK bukan hal yang mengagetkan lagi karena sejak awal praktik penyimpangan sudah dianggap lumrah oleh mereka.

KPU seharusnya sadar bahwa tujuan pengaturan pemilu, sebagaimana dijelaskan dalam Undang-Undang Pemilu, adalah menciptakan pesta demokrasi yang adil dan berintegritas. Karena itu, segala upaya yang ingin mendegradasi tujuan luhur tersebut, baik secara internal maupun eksternal, harus dihentikan sesegera mungkin. Jika tidak, Pemilu 2024 dipastikan akan diwarnai praktik penyelewengan besar-besaran yang merugikan ratusan juta pemilih.


PENGUMUMAN

Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan nomor kontak, foto profil, dan CV ringkas.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Kurnia Ramadhana

Kurnia Ramadhana

Peneliti Indonesia Corruption Watch

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus