Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Peningkatan (anggaran) kebudayaan

Peningkatan anggaran untuk pembangunan di bidang kebudayaan adalah satu langkah yang paling awal. usaha yang lebih rumit adalah bagaimana menggunakan sarana itu secara fungsional.

26 Agustus 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ADALAH Dirjen Kebudayaan Departemen P&K, Prof. Dr Ida Bagus Mantra, yang menyatakan baru-baru ini bahwa dalam Repelita III anggaran pembangunan di bidang kebudayaan akan ditingkatkan mungkin sampai tiga kali lipat dari anggaran tahun ini. Hal itu diucapkannya di hadapan para pejabat dinas dan jawatan Nusa Tenggara Barat di Mataram. Peningkatan yang dijanjikan dan direncanakan itu merupakan salah satu petunjuk mengenai perhatian pemerintah terhadap usaha besar pengembangan kebudayaan. Sejauh itu perhatian tersebut diwujudkan dalam pengadaan fasilitas dan sarana, yang salah satu wujudnya adalah peningkatan anggaran. Pernyataan pejabat tinggi itu menarik perhatian, karena melibatkan pemikiran mengenai bagaimana hubungan kerjasama antara pemerintah dan orang-orang dari kalangan kebudayaan dapat dilaksanakan. Yaitu, hubungan yang di satu pihak tidak terjatuh ke dalam sikap tak acuh dan di lain pihak tidak mengarah kepada sikap serba mengarahkan atau "dirigisme" di pihak pemerintah -- suatu hal yang sudah dikemukakan secara terbuka oleh menteri P&K Daoed Joesoef dalam salah satu papernya. *** Contoh-soal yang masih segar dalam ingatan adalah pembangunan pusat kesenian TIM. Ali Sadikin yang tatkala itu gubernur kota Jakarta, menyatakan bahwa dia sebagai pemerintah hanya bertugas menyiapkan sarana dan fasilitas sedangkan bagaimana sarana dan fasilitas itu digunakan dan dijadikan sarana pengembangan kesenian dan kebudayaan terserah kepada kalangan seniman dan budayawan sendiri. Dengan itu sebetulnya, telah digariskannya hubungan kerjasama antara orang-orang DKI dan orangrang DKJ, sebagai antara pemerintah dan seniman serta budayawan. Dalam analogi dengan soal pembangunan TIM, dua pikiran hendak dikemukakan di sini, sehubungan dengan pernyataan Prof. Dr. Ida Bagus Mantra. Pertama, peningkatan anggaran untuk pembangunan di bidang kebudayaan adalah salahsatu langkah yang paling awal dari pembangunan kebudayaan itu. Karena anggaran, dalam konteks kebudayaan, hanya mempunyai arti dan fungsi sarana. Usaha yang lebih ruwet dan menantang adalah bagaimana menjadikan sarana itu fungsionil terhadap pengembangan kebudayaan -- suatu hubungan yang sering tidak mudah dirumuskan dan tidak sederhana dalam pelaksanaan. Pemikiran di atas, sebetulnya bukan berlaku khusus pada bidang kebudayaan saja. Sudah jamak diakui bahwa peningkatan input tidak selalu dengan sendirinya berarti pula peningkatan dalam output. Karena itulah, tindaklanjut yang penting dari peningkatan anggaran untuk pembangunan di bidang kebudayaan adalah bagaimana meningkatkan partisipasi kreatip para budayawan -- di kota maupun desa sementara partisipasi itu sendiri akan amat ditentukan oleh bagaimana hubungan kerjasama hendak dijalin antara pemerintah dengan mereka yang langsung bergerak di bidang pengembangan kebudayaan. Diketahui pula oleh umum bahwa seniman dan budayawan merupakan salahsatu kelompok orang yang paling ngotot soal otonoml dan kebebasan. Kedua, kalau kita berbicara tentang kesenian, maka halnya cukup jelas mengenai bidang apa yang dimaksud. Lain halnya kalau yang dibicarakan adalah kebudayaan. Konsep tentang kebudayaan sendiri masih simpangsiur. Menteri Daoed Joesoef dalam berbagai publikasi dan pernyataan nampaknya ingin menyatakan bahwa kebudayaan harus dipandang menurut konsep yang integral --suatu konsep yang 'megah', menantang, biarpun ada benarnya. Berarti, kebudayaan bukanlah salah satu sektor yang berada sejajar di samping sektor lainnya, melainkan kebudayaan justru merupakan suatu yang meliputi, mempengaruhi, mewarnai dan mengintegrasikan semua sektor lain. Secara praktis itu berarti pendidikan adalah masalah kebudayaan, seperti juga ekonomi adalah masalah kebudayaan, kepemudaan juga soal kebudayaan sebagaimana kemiskinan dan sistim politik pun merupakan masalah kebudayaan. Kebudayaan adalah lingkup yang menyatukan dan satuan yang melingkupi. Kebudayaan -- untuk memakai perkataan Karl Jaspers -- adalah das Umgreifende. *** Bila persoalannya benar demikian, apakah gerangan arti peningkatan pembangunan di bidang kebudayaan? Pada hemat saya, hal itu berarti, semakin membudayakan semua sektor lain dengan menggunakan salah satu faktor pengukur yang pokok. Bila manusia ditaruh pada titik konsentris permasalahan kebudayaan, maka faktor pengukur itu adalah bagaimana penghargaan kita kepada hak hidup seorang manusia lebih tercermin dalam sistim alokasi anggaran Bappenas, bagaimana kesadaran tentang nilai seorang warga negara serta haknya terhadap pengembangan potensinya seluas-luasnya akan semakin tercermin dalam rencana dan usaha normalisasi kampus, atau bagaimana pengertian dan simpati terhadap kemiskinan sebagai masalah strukturil masyarakat semakin tampak dalam matrix penelitian Departemen Riset dan Teknologi. Tanpa menerima masalah-masalah manusia tersebut sebagai tantangan langsung yang paling konkrit, kita sebaiknya berendah hati untuk menangani masalah kebudayaan sebagai hanya suatu masalah sektoral. Pertanyaannya masih tertinggal: apakah kerendahan hati seperti itu dapat dibenarkan?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus