ADALAH Dirjen Kebudayaan Departemen P&K, Prof. Dr Ida Bagus
Mantra, yang menyatakan baru-baru ini bahwa dalam Repelita III
anggaran pembangunan di bidang kebudayaan akan ditingkatkan
mungkin sampai tiga kali lipat dari anggaran tahun ini. Hal itu
diucapkannya di hadapan para pejabat dinas dan jawatan Nusa
Tenggara Barat di Mataram.
Peningkatan yang dijanjikan dan direncanakan itu merupakan salah
satu petunjuk mengenai perhatian pemerintah terhadap usaha besar
pengembangan kebudayaan. Sejauh itu perhatian tersebut
diwujudkan dalam pengadaan fasilitas dan sarana, yang salah satu
wujudnya adalah peningkatan anggaran.
Pernyataan pejabat tinggi itu menarik perhatian, karena
melibatkan pemikiran mengenai bagaimana hubungan kerjasama
antara pemerintah dan orang-orang dari kalangan kebudayaan dapat
dilaksanakan. Yaitu, hubungan yang di satu pihak tidak terjatuh
ke dalam sikap tak acuh dan di lain pihak tidak mengarah kepada
sikap serba mengarahkan atau "dirigisme" di pihak pemerintah --
suatu hal yang sudah dikemukakan secara terbuka oleh menteri P&K
Daoed Joesoef dalam salah satu papernya.
***
Contoh-soal yang masih segar dalam ingatan adalah pembangunan
pusat kesenian TIM. Ali Sadikin yang tatkala itu gubernur kota
Jakarta, menyatakan bahwa dia sebagai pemerintah hanya bertugas
menyiapkan sarana dan fasilitas sedangkan bagaimana sarana dan
fasilitas itu digunakan dan dijadikan sarana pengembangan
kesenian dan kebudayaan terserah kepada kalangan seniman dan
budayawan sendiri. Dengan itu sebetulnya, telah digariskannya
hubungan kerjasama antara orang-orang DKI dan orangrang DKJ,
sebagai antara pemerintah dan seniman serta budayawan.
Dalam analogi dengan soal pembangunan TIM, dua pikiran hendak
dikemukakan di sini, sehubungan dengan pernyataan Prof. Dr. Ida
Bagus Mantra.
Pertama, peningkatan anggaran untuk pembangunan di bidang
kebudayaan adalah salahsatu langkah yang paling awal dari
pembangunan kebudayaan itu. Karena anggaran, dalam konteks
kebudayaan, hanya mempunyai arti dan fungsi sarana.
Usaha yang lebih ruwet dan menantang adalah bagaimana menjadikan
sarana itu fungsionil terhadap pengembangan kebudayaan -- suatu
hubungan yang sering tidak mudah dirumuskan dan tidak sederhana
dalam pelaksanaan.
Pemikiran di atas, sebetulnya bukan berlaku khusus pada bidang
kebudayaan saja. Sudah jamak diakui bahwa peningkatan input
tidak selalu dengan sendirinya berarti pula peningkatan dalam
output.
Karena itulah, tindaklanjut yang penting dari peningkatan
anggaran untuk pembangunan di bidang kebudayaan adalah bagaimana
meningkatkan partisipasi kreatip para budayawan -- di kota
maupun desa sementara partisipasi itu sendiri akan amat
ditentukan oleh bagaimana hubungan kerjasama hendak dijalin
antara pemerintah dengan mereka yang langsung bergerak di bidang
pengembangan kebudayaan. Diketahui pula oleh umum bahwa seniman
dan budayawan merupakan salahsatu kelompok orang yang paling
ngotot soal otonoml dan kebebasan.
Kedua, kalau kita berbicara tentang kesenian, maka halnya cukup
jelas mengenai bidang apa yang dimaksud. Lain halnya kalau yang
dibicarakan adalah kebudayaan. Konsep tentang kebudayaan sendiri
masih simpangsiur.
Menteri Daoed Joesoef dalam berbagai publikasi dan pernyataan
nampaknya ingin menyatakan bahwa kebudayaan harus dipandang
menurut konsep yang integral --suatu konsep yang 'megah',
menantang, biarpun ada benarnya.
Berarti, kebudayaan bukanlah salah satu sektor yang berada
sejajar di samping sektor lainnya, melainkan kebudayaan justru
merupakan suatu yang meliputi, mempengaruhi, mewarnai dan
mengintegrasikan semua sektor lain.
Secara praktis itu berarti pendidikan adalah masalah kebudayaan,
seperti juga ekonomi adalah masalah kebudayaan, kepemudaan juga
soal kebudayaan sebagaimana kemiskinan dan sistim politik pun
merupakan masalah kebudayaan. Kebudayaan adalah lingkup yang
menyatukan dan satuan yang melingkupi. Kebudayaan -- untuk
memakai perkataan Karl Jaspers -- adalah das Umgreifende.
***
Bila persoalannya benar demikian, apakah gerangan arti
peningkatan pembangunan di bidang kebudayaan? Pada hemat saya,
hal itu berarti, semakin membudayakan semua sektor lain dengan
menggunakan salah satu faktor pengukur yang pokok.
Bila manusia ditaruh pada titik konsentris permasalahan
kebudayaan, maka faktor pengukur itu adalah bagaimana
penghargaan kita kepada hak hidup seorang manusia lebih
tercermin dalam sistim alokasi anggaran Bappenas, bagaimana
kesadaran tentang nilai seorang warga negara serta haknya
terhadap pengembangan potensinya seluas-luasnya akan semakin
tercermin dalam rencana dan usaha normalisasi kampus, atau
bagaimana pengertian dan simpati terhadap kemiskinan sebagai
masalah strukturil masyarakat semakin tampak dalam matrix
penelitian Departemen Riset dan Teknologi.
Tanpa menerima masalah-masalah manusia tersebut sebagai
tantangan langsung yang paling konkrit, kita sebaiknya berendah
hati untuk menangani masalah kebudayaan sebagai hanya suatu
masalah sektoral.
Pertanyaannya masih tertinggal: apakah kerendahan hati seperti
itu dapat dibenarkan?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini