TIRAI
Sutradara: Julie Taymor
Produksi: Teater Loh
JULIE Taymor yang pernah muncul di TIM dengan eksperimen
wayang, kembali dengan garapan baru. Dikerjakan di pantai Peti
Tenget, dekat Kuta, Bali, selama 8 bulan. Ia dibantu Fred Maire,
beberapa pemuda Jawa dan sejumlah orang Bali -- di antaranya I
Made Pasak Tempo.
Pementasan berlangsung di Teater Arena -- 14 dan 15 Agustus.
Hampir meneruskan apa yang dikerjakannya dahulu, Julie kembali
memasang 3 buah layar dan tampaknya masih akan mementaskan
wayang sambil menggabungkannya dengan unsur teater tradisionil
Jepang. Tetapi kemudian, setelah bayangan pohon tampak di layar,
kain tersingkap. Dan dengan misterius keluarlah sejumlah orang
mengenakan pakaian serba putih. Ini lain.
Puisi
Julie membuka pertunjukannya dengan keindahan yang getir dan
magis. Kita melihat orang-orang itu bergerak, seperti bangkai
yang meneruskan sebuah upacara yang tidak mungkin berhenti.
Keadaan yang sunyi, gerakan yang sederhana, kostum yang sangat
sugestif, membantu adegan menjadi sangat intens.
Seperti sebuah puisi, seperti sebuah makna yang samar-samar,
orang-orang itu berada di panggung seakan-akan mempersiapkan
sesuatu yang dahsyat. Para penonton terhenyak dan menunggu
adegan buka yang berhasil ini. Tetapi serentak topeng dibuka,
mulut para pemain dibuka, cerita dibikin jelas, segala misteri
itu ambyar. Pertunjukan melorot -- menjadi teater yang cerewet
dengan telaah sosial, mempertentangkan antara "tradisi dan
modernisasi."
Batang ceritanya sendiri sama dengan dongeng Andersen tentang
seorang raja yang ditipu oleh tukang tenun. Raja menyangka
sedang memakai pakaian kebesaran, sementara tukang tenun
tersebut ternyata penipu biasa. Ia hanya memakaikan sesuatu yang
tidak ada ke tubuh raja. Di dalam pementasan ini, setelah rakyat
bersorak-sorak pura-pura ikut gembira melihat raja mereka
memakai pakaian bohongan, salah seorang kemudian berseru dengan
jujur: bahwa raja mereka sebenarnya telanjang.
Julie Taymor bersama Fred Maire memainkan peranan sepasang
turis. Mereka bagai ujung lembing pikiran yang mencoba
menggosok-gosokkan diri ke kulit jiwa orang-orang tradisionil.
Tetapi mereka tidak pernah benar-benar bisa masuk. Mereka tetap
orang luar yang hanya melihat sebagai penonton. Sebagaimana juga
dulu, Julie rupanya tak dapat melepaskan diri untuk mendekati
segala yang tradisionil secara rasionil. Ia selalu mengaitkannya
dengan unsur-unsur sosial. Padahal ia menggarap bentuk, teater
yang cenderung ke seni rupa, yang sebetulnya lebih memungkinkan
pendekatan yang lebih intuitif.
Teater Loh yang dipimpin Julie lebih merupakan sebuah peristiwa.
Di sini penari kakap seperti Made Tempo memperoleh kesempatan
untuk berekspresi dengan cara yang tidak tradisionil. Sebuah
pengalaman yang tentu akan berharga dan memberi perbendarahaan
untuk perkembangannya kemudian sebagai penari tradisionil.
Pertemuan itu sendiri jauh lebih penting dari pertunjukannya.
Kecuali kalau Julie sempat meneruskan jiwa dari adegan pertama,
karena pada saat itulah terjadi pertemuan paling kuat -- antara
semangat teater modern Julie dan Bali.
Kadang ada dialog bahasa Inggeris, bahasa Indonesia dengan aksen
Bali, gamelan Bali yang seperti Jawa, puisi bahasa Indonesia
dengan lagu puja dari Bali dan sebagainya. Di panggung agaknya
segala sesuatu dapat sambung menyambung dengan baik asal ada
koordinasi. Ini digarap Julie. Tapi ternyata kordinasi saja
tidak cukup. Ia kehilangan misteri.
Putu Wijaya
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini