Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Perbudakan Modern Berkedok Rehabilitasi

M. Afif Abdul Qoyim, Direktur LBH Masyarakat, menganalisis dugaan terjadinya perbudakan modern di tempat rehabilitasi pengguna narkotik milik Bupati Langkat Terbit Rencana Perangin Angin. Peringatan bagi pemerintah.

14 Februari 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ilustrasi: Tempo/Imam Yunni

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Ada dugaan terjadinya perbudakan di rumah Bupati Langkat Terbit Rencana Perangin Angin.

  • Terbit mengklaim tempat itu sebagai lokasi pembinaan orang-orang yang punya masalah dengan narkotik.

  • Tempat rehabilitasi itu dipastikan ilegal.

M. Afif Abdul Qoyim
Direktur LBH Masyarakat

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Penangkapan Bupati Langkat Terbit Rencana Perangin Angin oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berbuntut panjang. Migrant Care menemukan kerangkeng besi serupa penjara di rumahnya, yang diklaim Terbit sebagai tempat "pembinaan" bagi masyarakat yang punya masalah dengan narkotik. Para penghuni kerangkeng ternyata dipekerjakan di ladang sawitnya tanpa upah dan hanya diberi makan sekadarnya. Terbit berdalih melakukan itu agar, selepas "pembinaan", mereka memiliki keahlian untuk bekerja. Kegiatan ini diduga sebagai bentuk perbudakan modern.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ada setidaknya tiga catatan penting mengenai masalah ini. Pertama, menurut aturan, setiap tempat yang menjalankan aktivitas rehabilitasi harus terdaftar di institusi terkait. Undang-Undang Narkotika hanya mengenal rehabilitasi medis dan sosial. Institusi terkait yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan rehabilitasi medis adalah Kementerian Kesehatan, dan rehabilitasi sosial oleh Kementerian Sosial.

Di tengah masifnya kebutuhan rehabilitasi yang tidak bisa diakomodasi oleh dua institusi tersebut, Badan Narkotika Nasional (BNN) menyelenggarakan rehabilitasi dengan metode tersendiri. Namun program rehabilitasi ini pada prinsipnya memiliki dasar hukum masing-masing.

Dalam kasus kerangkeng besi di Langkat, legalitas dan ketentuan operasionalnya seharusnya lebih dulu mengikuti ketentuan tiga institusi tersebut. Tidak dipenuhinya persyaratan tersebut akan membuat kegiatan itu ilegal dan dianggap sebagai perampasan kemerdekaan.

Tiga institusi pemerintah itu selalu mengumumkan secara periodik tempat-tempat rehabilitasi pengguna narkotik yang mendapat izin, sehingga masyarakat tahu mana tempat yang terdaftar dan mana yang tidak. Tidak tercantumnya tempat rehabilitasi di Langkat itu dalam daftar tersebut menunjukkan bahwa tempat tersebut memang ilegal.

Namun tingginya jumlah pengguna narkotik, terutama yang berstatus tersangka, yang ingin mendapatkan perawatan dapat menggoda orang untuk membangun tempat rehabilitasi. Sebab, potensi menerima pasien rehabilitasi selalu ada. Berdasarkan data aparat penegak hukum sepanjang 2021, lebih dari 50 ribu orang menjadi tersangka narkotik.

Kedua, dalih mempekerjakan mereka di kebun sawit sebagai upaya untuk mendapatkan keterampilan adalah skema perawatan yang keliru. BNN, Kementerian Kesehatan, dan Kementerian Sosial memiliki standar perawatan pasien rehabilitasi dan pastilah melarang mempekerjakan pasien. Relasi pasien dengan tempat rehabilitasi bukanlah hubungan bos dengan buruh. Model relasi demikian malah mendelegitimasi skema perawatan pasien rehabilitasi.

Namun, dalam kacamata bisnis, memperkerjakan pasien rehabilitasi narkotik tanpa upah berpeluang mendapat keuntungan besar. Apalagi tempat rehabilitasi di Langkat itu telah berjalan sejak 2012 dan telah menghimpun dua-tiga ribu pasien.

Berkaca dari kasus ini, institusi terkait perlu mengevaluasi dan memverifikasi semua tempat rehabilitasi, karena tidak tertutup kemungkinan hal serupa juga terjadi di tempat lain. Pembiaran terhadap praktik serupa dapat membuat fasilitas rehabilitasi narkotik seakan-akan tidak tersentuh hukum.

Ketiga, dalam konteks industri sawit, tingginya permintaan terhadap minyak sawit meningkatkan kebutuhan akan tenaga kerja yang besar. Beberapa studi telah mengemukakan masalah perburuhan di industri sawit, khususnya praktik kerja eksploitatif. Bentuk-bentuk eksploitasi, sebagaimana digariskan dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, di antaranya adalah kerja paksa atau pelayanan paksa, perbudakan, dan praktik-praktik serupa perbudakan.

Kasus Langkat mengindikasikan praktik kerja eksploitatif tersebut. Dalih rehabilitasi, yang ternyata dinyatakan ilegal, semakin menguatkan dugaan terjadinya praktik perbudakan modern.

Eksploitasi merupakan karakteristik dari perbudakan. Dalam konsep tradisional, perbudakan dimaknai sebagai kepemilikan atas manusia oleh manusia lain layaknya properti atau hewan ternak yang bisa diberikan, diwariskan, dijual, atau dipindahtangankan. Setelah konvensi penghapusan perbudakan pada 1926, dunia mengenal berbagai bentuk perbudakan modern berdasarkan konvensi atau regulasi tambahan, seperti konvensi penghapusan kerja paksa dan konvensi pelarangan serta penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak.

David Weissbrodt dan Anti-Slavery International menyatakan, dalam konteks modern, keadaan orang yang diperbudak sangat penting untuk diidentifikasi, termasuk pembatasan kebebasan bergerak, tingkat kendali atas barang pribadi, dan adanya pemahaman penuh atas persetujuan tentang relasi di antara para pihak. Keadaan lebih buruk bila ada ancaman kekerasan yang dialami secara langsung oleh korban dan bisa diteruskan kepada pihak lain yang memiliki relasi dengan korban.

Walk Free Foundation, organisasi internasional yang berfokus dalam penghapusan perbudakan, memberikan contoh bentuk-bentuk perbudakan modern, seperti kerja paksa, buruh tidak dibayar upahnya karena untuk melunasi utang, pernikahan paksa, dan perdagangan manusia. Praktik ini kerap ditemukan di banyak industri, termasuk manufaktur garmen, pertambangan, dan pertanian, serta pada banyak konteks, dari rumah pribadi hingga permukiman pengungsi.

Perbudakan tradisional ataupun modern sama-sama berciri eksploitasi. Namun hingga kini belum ada definisi perbudakan modern dalam regulasi internasional ataupun nasional. Hal ini menyulitkan dalam rujukan legalnya, sehingga istilah perbudakan modern yang digunakan saat ini merupakan istilah payung.

Dalam kasus kerangkeng besi Bupati Langkat, diduga kuat terjadi perampasan kemerdekaan terhadap penghuninya. Kalaupun penempatan tersebut untuk membantu orang yang membutuhkan perawatan, itu tidak bisa dijadikan alasan untuk menggugurkan tindakan perampasan kemerdekaan melalui penyalahgunaan wewenang.

Indeks Perbudakan Global 2018 yang dilaporkan oleh Walk Free Foundation mencatat, praktik perbudakan dengan jumlah korban yang besar masih terjadi di Indonesia. Ini menjadi peringatan bagi pemerintah agar mewaspadai potensi terjadinya perbudakan modern dalam berbagai bentuk, termasuk yang berkedok rehabilitasi narkotik.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus