Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ALI Sadikin muda terlihat gagah. Ia menunggang Harley-Davidson. Ali terlihat percaya diri. Ia mengenakan kemeja dan celana putih necis. Sabuknya cokelat. Di dadanya terkalung sebuah teropong. Di pinggangnya terselempang tempat pistol. Dari atas Harley itu, ia memberi arahan kepada para gerilyawan. Lebih dari sepuluh serdadu mengelilinginya. Rata-rata para pejuang itu menyandang senjata bayonet. Ekspresi mereka beragam.
Tampaknya situasi tengah gawat. Ali Sadikin dan kawan-kawan berada di atas sebuah bukit kecil. Di bawah mereka terdapat pemandangan rakyat jelata lari mengungsi membawa barang. Seorang prajurit di belakang Ali sampai mengarahkan senapan mesin untuk melindungi rakyat. Yang lain mendengarkan Ali sembari duduk mencangklong, bertukar api rokok linting, atau berdiri membawa bonggol jagung. Ali terlihat memberi arahan seraya memegang sebuah senapan yang dibawa seorang pejuang.
Lukisan Ali Sadikin pada Masa Perang Kemerdekaan ini terjual di balai lelang Sotheby's, Hong Kong, pada 3 April lalu seharga HK$ 33,2 juta atau US$ 4,3 juta—setara dengan Rp 56,2 miliar. Harga ini melebihi perkiraan awal yang hanya HK$ 1,9-2,5 juta. Entah jatuh kepada siapa lukisan itu. "Lukisan tersebut menggambarkan keterlibatan Bang Ali dalam Clash I ketika Belanda akan menyerbu Tegal," kata Mia Puspawati, bekas sekretaris Ali Sadikin, yang hadir dalam pelelangan. Dalam catatan Sotheby's, yang juga menjadi menarik dari lukisan itu adalah bagaimana Hendra Gunawan menempatkan Ali Sadikin pada posisi sentral dalam komposisi. Di belakang Ali padahal ada sosok seorang brewok bertopi tentara. Dia, menurut Sotheby's, adalah Gatot Soebroto. Meski Gatot jenderal, tampak yang menjadi pusat perhatian adalah Ali.
Lukisan berukuran 3 x 4 meter itu dulu milik keluarga Ali Sadikin. Sehari-hari lukisan itu tergantung di dinding marmer hitam rumah Bang Ali di Jalan Borobudur Nomor 2, Menteng, Jakarta Pusat. Lukisan itu dibuat pada 1978 oleh Hendra Gunawan di penjara Kebon Waru, Bandung. Sepeninggal Ali Sadikin, lukisan itu tidak ada yang merawat karena semua putra almarhum tinggal di rumah masing-masing. Empat putra Ali Sadikin kemudian memutuskan melelangnya. Yang mengejutkan bukan hanya lukisan itu yang dijual, tapi juga sejumlah koleksi lukisan penting Ali Sadikin lainnya. "Ada 20 lukisan koleksi Bang Ali yang kami tawarkan ke Sotheby's," ujar Mia.
Sotheby's mengeluarkan katalog khusus berjudul A Legendary Gentleman and His Exceptional Collection (Property Formerly in the Collection of the Late Mr Ali Sadikin). Bukan hanya satu lukisan Hendra Gunawan yang dilego. Lukisan lain Hendra milik Ali Sadikin yang dilelang berjudul Kuda Lumping, Landscape, dan Mother and Children with Topeng. Sedangkan lukisan Affandi berjudul Matador dan The Bridge. Juga lukisan Cendrawasih, Lake, dan Nude karya Basoeki Abdullah; Lanskap Gunung (S. Sudjojono); Kereta Kuda (Agus Djaya); Boats dan Untitled (Zaini); Festival (Rusli); Lanskap (Wakidi); serta Two Dancers karya Popo Iskandar.
Menurut Mia, mulanya oleh Sotheby's lukisan-lukisan itu dianggap dalam kondisi "rusak" dan belum siap dilelang. "Mock Kim Chuan, Ketua Divisi Seni Rupa Modern dan Kontemporer Asia Tenggara Sotheby's, meminta agar 20 lukisan itu direstorasi sebelum dilelang," kata Mia. Lukisan ini semuanya lalu direstorasi di Singapura. "Selama tiga bulan. Mulai Desember tahun lalu," dia menambahkan. Ternyata koleksi Ali Sadikin cukup menarik perhatian. "Ada 17 yang laku," ujar Mia. Lukisan Nude karya Basoeki Abdullah, misalnya, dibeli taipan Putra Masagung.
Tapi memang karya Hendra Gunawan, Ali Sadikin pada Masa Perang Kemerdekaan, yang paling melejit. "Sepertinya itu memang harga tertinggi untuk lukisan Hendra selama ini," ucap Siont Teja, kolektor dan pengamat lukisan Hendra Gunawan, yang hadir di pelelangan. "Saya tidak tahu siapa yang membeli. Bidder-nya masih anak muda dan tidak dikenal. Katanya dari Taiwan," ujar Mia.
Kisah bagaimana lukisan itu bisa dimiliki Ali Sadikin terbilang menarik. Dalam wawancara Ali dengan majalah Matra pada edisi nomor 53, Desember 1990, ia menceritakan bagaimana Gubernur Jawa Barat saat itu, Jenderal Mashudi, mengatakan kepadanya bahwa Hendra Gunawan membutuhkan uang untuk keluarganya. Karena itu, dia akan membuat tiga lukisan. "Dan saya beli tiga lukisan seharga empat juta rupiah," kata Bang Ali.
Mia ingat bagaimana Ali Sadikin sempat kaget setelah menerima lukisan itu. "Bapak kaget, kok teropong dan tempat pistolnya bisa mirip sekali dengan yang dia punyai?" ujar Mia. Ali bingung bagaimana Hendra bisa tahu karena ia tak pernah bertemu dengannya. Mia menuturkan, Ali Sadikin mengenal karya Hendra dari mantan Wakil Presiden Adam Malik saat Adam menjabat Menteri Luar Negeri. Ali mengirimkan kanvas dan peralatan lukis kepada Hendra Gunawan di penjara. Hendra ditahan selama 13 tahun di penjara Kebon Waru. Ia bebas pada 15 Mei 1978, sedangkan lukisan Ali Sadikin diselesaikannya pada 12 Mei 1978.
"Tiga hari sebelum bebas, lukisan itu dirampungkan Hendra. Itulah lukisan besar terakhir yang dikerjakan Hendra di Kebon Waru," ujar Agus Dermawan, penulis buku Hendra Gunawan: A Great Modern Indonesian Painter. Berdasarkan wawancaranya dengan Hendra, lukisan itu memang dibuat di penjara, sekalipun tak ditulis kode KW (Kebon Waru), sebagaimana Hendra biasa menorehkan tanda tangan tatkala melukis dari dalam penjara. Menurut Agus, sosok Ali Sadikin dan para pejuang itu adalah hasil rekonstruksi Hendra dari rekan-rekan di penjara yang pernah mendengar cerita Bang Ali saat perang kemerdekaan dan tamu yang pernah mengunjungi penjara, seperti pejuang Zaenal Muttaqien; ulama dan Rektor Universitas Islam Bandung, Muluk Lubis (orang dekat Jenderal M. Jusuf); serta Aloysius Sugiyanto, perwira tinggi militer yang menjadi asisten Ali Moertopo. "Dari Mashudi, Gubernur Jawa Barat, Hendra mendapat informasi bahwa Bang Ali terobsesi pada motor gede Harley-Davidson," kata Agus. Karena itulah muncul Harley dalam adegan revolusi, yang aslinya tidak ada.
Menurut Agus, untuk busana Angkatan Laut, seragam putih, dan teropong, Hendra mencari tahu sejarah Bang Ali. "Katanya ada tahanan di Kebon Waru saat itu yang bekas Angkatan Laut. Hendra sering mendapat cerita mengenai Bang Ali dari dia," ujar Mia Puspawati. Ali pernah menjadi anggota Barisan Keamanan Rakyat bagian laut. Saat revolusi, ia ditugasi ke Tegal untuk mendirikan Pangkalan Angkatan Laut, cikal-bakal KKO Angkatan Laut. Ali lalu diangkat menjadi Menteri Perhubungan pada 1966 dan Gubernur DKI Jakarta. Yang menarik, dalam lukisan tersebut terlihat Bang Ali sedang menyapa seorang pejuang yang membawa seikat jagung. Pejuang itu berbaju kelasi (pelaut). "Wajah pejuang itu adalah wajah Hendra Gunawan sendiri," kata Agus.
Namun, menurut beberapa kolektor, terjualnya Ali Sadikin pada Masa Perang Kemerdekaan dengan harga HK$ 33,2 juta dianggap masih murah. Sebab, harga itu di bawah lukisan S. Sudjojono berjudul Pasukan Kita yang Dipimpin Pangeran Diponegoro, yang dua tahun lalu di Hong Kong dilepas dengan harga HK$ 58,3 juta. Betapapun demikian, Amir Sidharta, pemilik Balai Lelang Sidharta, mengatakan harga lebih dari Rp 10 miliar untuk karya seniman Indonesia sudah cukup tinggi. "Ada banyak faktor soal harga, tidak bisa digeneralisasi meskipun itu sama-sama lukisan maestro," ujarnya. Hal senada dikatakan Agus Dermawan. Menurut dia, faktor tema Pangeran Diponegoro, sosok penggerak perang Jawa yang disebut-sebut kemiliterannya diakui selevel Napoleon, dibanding Ali yang tokoh lokal bisa berpengaruh.
Dua puluh lukisan yang dilego di Sotheby's hanya sebagian dari koleksi lukisan Ali Sadikin. Menurut Mia Puspawati, zaman dulu perupa suka memberikan lukisan kepada Ali. Bang Ali sangat dekat dengan perupa-perupa anggota Dewan Kesenian Jakarta ataupun perupa lain. Koleksi lukisan Ali banyak dan tersebar. "Mungkin ada 300-an lukisan," ucap Mia. Namun ia merasa sedih melihat koleksi penting warisan Ali terbang entah ke mana. "Dua minggu setelah lukisan dikirim ke Hong Kong, saya mengunjungi rumah Pak Ali di Jalan Borobudur. Melihat dinding kosong tempat lukisan itu biasanya digantung sedih juga," ujar Mia.
Dian Yuliastuti, Seno Joko Suyono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo