KARTINI beristirahat sebentar di bawah pohon. Dihapusnya peluh
dari pelipisnya, dan ia melihat ke tanah. Di tanah itu rontok
kelopak-kelopak kacapiring. Harum kembang putih itu merangsang
-- tapi Kartini teringat melati.
Kartini ingat melati karena hari itu adalah 21 April.
Di hari seperti itu ia selalu dengar anak-anak menyanyi. Dan di
matanya pun terbayang Sumitrah, teman sekelasnya dulu. Di
sekolah -- sepuluh tahun yang lalu, di desanya -- setiap 21
April para murid menyanyikan "Ibu Kita Kartini", dan Sumitrah
diberi pakaian priayi Jawa dengan banyak melati: anak itulah
yang selalu dijadikan Ibu Kartini. Bukan gadis lain. Dan tentu
saja bukan ibu, yang kebetulan bernama Kartini.
"Kenapa bukan kamu, Yu Kar, yang jadi Ibu Kartini?", seorang
adiknya pernah bertanya. Kartini tersenyum pahit.
Ia ingin. Ia merasa wajahnya manis, tapi agak terlampau hitam
untuk mirip puteri Regent Jepara yang termashur itu. Lagipula
wajar bila gurunya memilih Sumitrah. Si Trah adalah anak mantri
polisi dan cucu lurah, sedang dia -- .
Kartini kita dilahirkan di tahun 1957. Ibunya seorang babu.
Ayahnya tukang plitur meubel. Neneknya juga babu. Kakeknya tak
diketahui apa pekerjaannya. Mungkin tukang pedati. Mungkin pula
seorang perampok (kata sebuah sumber). Kecuali ayahnya yang
bersekolab sampai kelas 3 Sekolah Rakyat, seluruh cabang tua
keluarganya buta huruf.
Kartini beruntung sedikit. Majikan tempat ibunya bekerja
membantunya bersekolah -- antara lain agar ia bisa menemani
Witri, anak pertama si majikan. Di sekolah itulah, sampai kelas
6, ia selama empat tahun berturut-turut menyaksikan Hari
Kartini diperingati dengan tokoh Sumitrah. Bukan dia.
"Kenapa bukan kamu, Yu Kar, yang neneruskan sekolah?" tanya
adiknya pada suatu hari. Kartini menjawab "Karena siapa yang
bakal mengongkosi? Lagipula kau anak laki-laki, aku perempuan."
Lalu Amin, si anak laki-laki, meneruskan ke SMP, dan maju dengan
pesat sebagai anak yang pandai. Kartini sendiri mencoba
berjualan gethuk. Kemudian datanglah musibah itu. Ujian SMP
selesai, tapi Amin meninggal disambar muntaber. Di hari itulah
buat pertama kalinya Kartini melihat ayahnya menangis -- di
balik pohon belimbing wuluh dekat sumur, sendiri.
Lalu siklus riwayat keluarga itu seakan-akan kembali. Kartini
berangkat ke Jakarta, menjadi babu -- seperti ibu dan neneknya.
"Namamu Kartini?" majikan barunya bertanya.
"Benar, bu."
"Sebaiknya jangan panggil "bu" di sini. Pakailah ndara. Kamu
belajar dari Mbok Iyah sana, tentang tatacara di sini."
KARTINI pun belajar tatacara dari Mbok Iyah, pembantu rumah
tangga yang lebih tua, dan ia belajar menyebut ndara kakung,
ndara putri, den dan lain-lain.
Memang, agak sukar Kartini mengucapkan kata ndara. Ia ingat di
sekolah dulu Sumitrah sering memperolok-olokkan dia dengan
memanggilnya "den ajeng" -- singkatan dari "Raden Ajeng
Kartini". Ia merasa pedih pada olok-olok itu. Ia tiba-tiba
merasa nama yang dibawanya terlampau berat. Secara agak ruwet ia
menyadari rendahnya lapisan sosial orang tuanya. Maka ia gembira
ketika gurunya bercerita bahwa Ibu Kita Kartini hanya mau
dipanggil Kartini saja, tanpa raden ajeng, tanpa ndara "Sebab
kau tahu, anak-anak? Ndara berarti landa mara, artinya 'belanda
datang'," begitu kata gurunya bersemangat.
Tapi Kartini tahu ndara putrinya orang baik. Wanita ini memang
seorang yang aktif membantu anak yatim, bencana alam, pandai
mengecam gerakan "Women's Lib" Amerika (di mana para wanita emoh
jadi ibu rumahtangga yang repot memasak dan mengurus anak), dan
tiap 21 April tampil di TV.
Kartini ikut bangga, meskipun ia tak tahu Habis Gelap Terbitlah
Terang. Toh ia tak tahu juga Sarinah -- di mana Bung Karno
mengejek "puteri-puteri" yang "terlalu banyak tempo menganggur"
"Verveling, verveling, dan sekali lagi verveling! "
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini