Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Peringatan Hari Kartini

R.A. Kartini tak mau dipanggil dengann sebutan Ndara, hanya Kartini saja. Seorang ibu rumah tangga mengajari pembantunya agar memanggilnya dengan Ndara, bukan ibu. Setiap 21 April, ibu tersebut selalu tampil di TV.

21 April 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KARTINI beristirahat sebentar di bawah pohon. Dihapusnya peluh dari pelipisnya, dan ia melihat ke tanah. Di tanah itu rontok kelopak-kelopak kacapiring. Harum kembang putih itu merangsang -- tapi Kartini teringat melati. Kartini ingat melati karena hari itu adalah 21 April. Di hari seperti itu ia selalu dengar anak-anak menyanyi. Dan di matanya pun terbayang Sumitrah, teman sekelasnya dulu. Di sekolah -- sepuluh tahun yang lalu, di desanya -- setiap 21 April para murid menyanyikan "Ibu Kita Kartini", dan Sumitrah diberi pakaian priayi Jawa dengan banyak melati: anak itulah yang selalu dijadikan Ibu Kartini. Bukan gadis lain. Dan tentu saja bukan ibu, yang kebetulan bernama Kartini. "Kenapa bukan kamu, Yu Kar, yang jadi Ibu Kartini?", seorang adiknya pernah bertanya. Kartini tersenyum pahit. Ia ingin. Ia merasa wajahnya manis, tapi agak terlampau hitam untuk mirip puteri Regent Jepara yang termashur itu. Lagipula wajar bila gurunya memilih Sumitrah. Si Trah adalah anak mantri polisi dan cucu lurah, sedang dia -- . Kartini kita dilahirkan di tahun 1957. Ibunya seorang babu. Ayahnya tukang plitur meubel. Neneknya juga babu. Kakeknya tak diketahui apa pekerjaannya. Mungkin tukang pedati. Mungkin pula seorang perampok (kata sebuah sumber). Kecuali ayahnya yang bersekolab sampai kelas 3 Sekolah Rakyat, seluruh cabang tua keluarganya buta huruf. Kartini beruntung sedikit. Majikan tempat ibunya bekerja membantunya bersekolah -- antara lain agar ia bisa menemani Witri, anak pertama si majikan. Di sekolah itulah, sampai kelas 6, ia selama empat tahun berturut-turut menyaksikan Hari Kartini diperingati dengan tokoh Sumitrah. Bukan dia. "Kenapa bukan kamu, Yu Kar, yang neneruskan sekolah?" tanya adiknya pada suatu hari. Kartini menjawab "Karena siapa yang bakal mengongkosi? Lagipula kau anak laki-laki, aku perempuan." Lalu Amin, si anak laki-laki, meneruskan ke SMP, dan maju dengan pesat sebagai anak yang pandai. Kartini sendiri mencoba berjualan gethuk. Kemudian datanglah musibah itu. Ujian SMP selesai, tapi Amin meninggal disambar muntaber. Di hari itulah buat pertama kalinya Kartini melihat ayahnya menangis -- di balik pohon belimbing wuluh dekat sumur, sendiri. Lalu siklus riwayat keluarga itu seakan-akan kembali. Kartini berangkat ke Jakarta, menjadi babu -- seperti ibu dan neneknya. "Namamu Kartini?" majikan barunya bertanya. "Benar, bu." "Sebaiknya jangan panggil "bu" di sini. Pakailah ndara. Kamu belajar dari Mbok Iyah sana, tentang tatacara di sini." KARTINI pun belajar tatacara dari Mbok Iyah, pembantu rumah tangga yang lebih tua, dan ia belajar menyebut ndara kakung, ndara putri, den dan lain-lain. Memang, agak sukar Kartini mengucapkan kata ndara. Ia ingat di sekolah dulu Sumitrah sering memperolok-olokkan dia dengan memanggilnya "den ajeng" -- singkatan dari "Raden Ajeng Kartini". Ia merasa pedih pada olok-olok itu. Ia tiba-tiba merasa nama yang dibawanya terlampau berat. Secara agak ruwet ia menyadari rendahnya lapisan sosial orang tuanya. Maka ia gembira ketika gurunya bercerita bahwa Ibu Kita Kartini hanya mau dipanggil Kartini saja, tanpa raden ajeng, tanpa ndara "Sebab kau tahu, anak-anak? Ndara berarti landa mara, artinya 'belanda datang'," begitu kata gurunya bersemangat. Tapi Kartini tahu ndara putrinya orang baik. Wanita ini memang seorang yang aktif membantu anak yatim, bencana alam, pandai mengecam gerakan "Women's Lib" Amerika (di mana para wanita emoh jadi ibu rumahtangga yang repot memasak dan mengurus anak), dan tiap 21 April tampil di TV. Kartini ikut bangga, meskipun ia tak tahu Habis Gelap Terbitlah Terang. Toh ia tak tahu juga Sarinah -- di mana Bung Karno mengejek "puteri-puteri" yang "terlalu banyak tempo menganggur" "Verveling, verveling, dan sekali lagi verveling! "

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus