Saya ingin menanggapi dua hal yang menarik dari pernyataan PM Li Peng dalam wawancara khusus di Bali baru-baru ini (TEMPO, 18 Agustus 1990, Nasional). Pertama, ia mengatakan, ada orang-orang keturunan Cina di beberapa negara Asia Tenggara yang loyal dan berdedikasi kepada negara tempat mereka tinggal, dan bukan kepada Cina, seperti halnya para imigran Eropa di Australia dan Amerika Serikat. Kedua, Cina menyambut dengan senang hati orang-orang Indonesia keturunan Cina yang datang ke Daratan Cina untuk melakukan penghormatan kepada arwah nenek moyang mereka. Saya rasa kita harus hati-hati menilai ucapan PM Li Peng tersebut. Mengenai hal pertama, saya kira faktor penentu apakah seorang keturunan Cina bisa loyal dan berdedikasi kepada negara tempat ia tinggal adalah tingkat asimilasinya dengan masyarakat pribumi setempat. Presiden Cory Aquino, misalnya, yang disebut Li Peng, sudah berasimilasi dan diterima penuh oleh masyarakat Filipina, terutama karena dia memeluk agama yang sama dengan mayoritas Filipina (Katolik). Dan keluarganya sudah beberapa generasi tidak lagi memakai nama Cina, atau mengikuti ritual-ritual kebudayaan Cina, sehingga ciri-ciri kecinaannya sudah minimal sekali. Tapi, di Indonesia, kondisinya jelas lain sama sekali dalam arti, masih terdapat jurang pemisah yang besar antara penduduk pribumi (97%) dan keturunan Cina (3%), baik dalam hal agama, ras, kebudayaan, maupun ekonomi. Sayangnya, perbedaan yang besar ini dipersulit lagi oleh sikap pemerintah RRC yang ambivalen dan meragukan, apakah mereka betulbetul tidak akan menggunakan orang-orang keturunan Cina untuk kepentingan Cina sendiri. Bagaimanapun, kita orang Indonesia tentu harus selalu ingat dengan sikap hegemonistis Cina, yang telah mencaplok Tibet, 1950, menyerang India Utara 1962, terlibat G-30-S di Indonesia, 1965, serta mencaplok Kepulauan Paracel di Laut Cina Selatan, dan menyerbu Vietnam Utara, 1979. Berdasarkan fakta-fakta ini, hendaknya kita hati-hati menghadapi Cina dan orang-orang keturunan Cina, jangan sampai lengah hanya gara-gara keuntungannya yang mungkin diperoleh dari hubungan dagang kedua negara. Mengenai hal kedua, bahwa Cina menyambut baik kedatangan orang-orang Indonesia keturunan Cina ke Daratan Cina, saya rasa sebaiknya kita meneruskan saja kebijaksanaan selama ini, seperti halnya Malaysia. Pemerintah Malaysia, walaupun sudah menjalin hubungan diplomatik dengan Cina selama lebih kurang sepuluh tahun, tetap menganggap hubungan kedua negara terbatas untuk tingkat resmi atau pemerintah ~(government-to-government). Dengan kata lain, orang-orang Malaysia keturunan Cina dilarang berkunjung ke Cina, kecuali untuk kasus-kasus tertentu yang sangat khusus. M. ARMAN Jalan Kostrad I No. 1 Gandori Selatan, Cilandak Jakarta Selatan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini