SUKSESI ternyata nama orang. Leng~kapnya, Nyi Diah Woro Suksesi. Ia putri sulung dan anak kedua Raja Bukbangkalan yang berambisi dan akhirnya berhasil menggantikan kedudukan ayahnya lewat berbagai intrik. Bahkan dengan mengorbankan saudara~-saudaranya sendiri. Bagaimana Suksesi -- putri yan~g berhasil dalam bisnis ini -- bisa mencapai puncak karier dalam bidang politik, N. Riantiarno bersama kelompoknya menggelar hiburan ini di gedung Graha Bhakti Budaya Taman Ismail Marzuki Jakarta, dari 28 September sampai 11 Oktober mendatang. Seperti halnya pementasan Teater Koma belakangan ini tontonan ini betul-hetul dikemas sebagai hiburan. Menurut Nano -- begitu Riantiarno akrab dipanggil -- lakonnya kali ini adalah bagian terakhir dari trilogi. Yang pertama, K~onglomerat B~urisrawa (dipentaskan di TIM 23 Maret-1 April 1990) dan yang kedua Pialang Segi Tigas Emas (digelar bersama grup pelawak Jakarta dalam acara Humor Total di Balai Sidang Senayan, 22 Juni 1990). Bahwa Nano tetap menghadirkan kritik sosial, itu jelas. Namun, pada lakon Suksesi, kritik itu semakin transparan. Banyak kejadian aktual belakangan ini yang langsung kena semprot, mulai dari keserakahan bisnis sampai pergelaran kelompok kesenian tertentu. Sindiran Nano pun jadi telanjang -- dan dalam beberapa hal terasa "kejam". Kisah dimulai dari Raja Bukbangkalan yang merasa sudah saatnya menyerahkan takhta. Tetapi dia tidak tahu siapa di antara empat putranya yang layak menggantikannya. Sebenarnya Raden Hapsalon, anak tertua, telah diangkat sebagai Putra Mahkota. Cuma, pangeran satu ini teramat bloon dan jatuh di ketiak istrinya Raden Ayu Seba. Lagi pula anak sulung ini suka berjudi. Raja kemudian pura-pura sakit dan membiarkan keempat anaknya mengadu taktik. Suksesi yang paling sukses dalam bisnis kemudian berkomplot dengan Panglima Perang Bimataksa. Gabungan kekuatan ekonomi dan militer inilah yang paling kompak dan berhasil. Selain memperdaya saudara-saudaranya, Woro Suksesi juga mengurung ayahnya. Nampaknya, lewat Suk~sesi, Nano ingin memberikan cermin tentang misteri pergantian kekuasaan yang sering meminta darah dan menghalalkan segala cara. Selama tiga setengah jam Suksesi ini digelarkan -- dan cukup mencapekkan. Kostum campur aduk dan sesuai pula dengan nama-nama tokohnya. Ada Sengkuni, ada Rambo, ada Brutus. Punakawannya sendiri adalah Bilung dan Togog nama yang sudah muncul sejak Konglomerat Burisrawa. "Ini betul-betul tonil bangsawan masa kini," kata Nano. Banyak banyolan gaya Srimulat yang diambil, misalnya pelesetan kata-kata atau ulah-tingkah pemain. Namun, Nano enggan kalau teaternya disamakan dengan Srimulat. "Pelesetan bukan semata-mata milik Srimulat. Ketoprak dan lenong juga begitu," ujarnya. Bahwa kelompoknya bertutur dengan cara teater rakyat, yang berjelas-jelas Nano setuju. "Acuan saya memang ke sana. Tapi tetap saya campur dengan idiomidiom teater Barat dan tetap ada desain." Artinya, ada naskah pengaturan bloking, tata lampu, arti~tik dan sebagainya. Jadi, memang sulit membandingkan lakon-lakon Teater Koma belakangan ini dengan ~~laokon-lakonnya ~~~terdahulu, katakanlah di zaman Opera Ikan~ Asin atau Bom Waktu, misalnya. Karya Nano belakangan begitu encer dan cair tak ada "kekayaan rohani" yang diperoleh setelah menin~ggalkan ~gedun~g ~pertunjukan. Tapi apa jawab Nano? "Masyarakat adalah sumber ilham buat saya. Apa yang terjadi di masyarakat saya serap dan saya berikan kepada masyarakat lagi. Jadi, siapa sebenarnya yang cair. Saya atau masyarakat?" Tapi inilah teater -- ingat, kelompok ini namanya Teater Koma yang paling sukses dalam bisnis pertunjukan. Untuk menonton Suksesi tersedia karcis berharga Rp 10.000 sampai Rp 25.000 -- ukuran yang mahal untuk TIM dan "teater". Dan karcis itu sudah terjual 75~% sebelum hari pertama. "Biaya produksinya mahal jadi karcisnya juga mahal" kata Nano. Lakon ini diperkirakan menelan Rp 150 juta sampai Rp 200 juta. Biaya itu selain diharap dari karcis masuk juga ditutupi oleh sponsor. Pokoknya bisnis teater ini menguntungkan. Kalau tidak, kata Nano sendiri, Teater Koma tak akan berproduksi lagi. Tapi, berapa untungnya? "Yang jelas kawan-kawan menerima honorarium lumayan. Paling kecil Rp 400 ribu dan tertinggi Rp 2 juta," Nano menjelaskan . Pr~iyono B. Sumbogo dan Putu Setia
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini