Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Pltn: kemajuan atau ketergantungan?

17 Januari 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HARGA minyak bumi yang meningkat 400% telah menimbulkan aspek baru akan kebutuhan energi. Negara-negara industri yang kaya menjerit dan memaki. Harga-harga barang meningkat, perdagangan dunia agak kacau. Namun yang paling menderita akibat kenaikan minyak ialah negara yang sedang berkembang atau negara konsumen hasil produksi negara industri. Belakangan ini makin tenar pemikiran untuk mengimbangi atau mengurangi ketergantungan akan minyak bumi lewat PLTN, pemanfaatan batubara, air terjun, panas bumi/gunung berapi, tenaga cahaya matahari dan kemungkinan lainnya. Indonesia ikut juga latah seperti biasanya. Bahkan mendengungkan akan segera membangun PLTN sebagai jalan termurah dan termudah ke arah kemajuan dengan harga satu PLTN dengan kapasitas 600 MW "hanya" Rp 160 milyar saja. Sebenarnya sepintas lalu, Indonesia dapat rezeki nomplok dengan kenaikan harga minyak bumi. Nilai ekspor naik 400%. Suatu rakhmat. Cuma, karena posisi Indonesia masih tetap merupakan tukang tadah rongsokan hasil teknologi modern negara industri. dan konsumen paling setia akan produk pabrik negara industri yang tanpa minyak, terpaksa membayar mahal. Tambahan nilai ekspor yang 400% dari minyak ini tidak begitu terasa bagi rakyat kecil, bahkan sebaliknya, barang kebutuhan pokok ikut naik. Dari hasil survei sampai kini, Indonesia masih kaya akan minyak bumi, gas bumi, dan batubara, panas bumi dan bahkan mendapat cahaya matahari katulistiwa sepanjang hari sepanjang tahun, sepanjang abad. Tenaga hidro yang digunakan sebagai pembangkit listrik belum mencapai 10%, dari potensi air terjun dan tenaga hidro Indonesia. Memang harus diakui PLTN merupakan lambang kemajuan teknologi dan ilmu. Namun menjadi pertanyaan ialah apakah PLTN sekarang ini sudah merupakan jawaban akan keperluan enerji di Indonesia sampai tahun 2000, baik dilihat dari segi ilmu ekonomi, ekologo, Industrialisasi dan perkembangan dan pengembangan GNP dan pendapatan per kepala rakyat Indonesia? Di AS beberapa proyek PLTN terpaksa distop karena keraguan akan keselamatan. Demikian juga di Jerman Barat. Kalau Pilipina membangun PLTN, itu karena mereka tidak memiliki sumber enerji yang lain secara luas. Tidakkah perlu diperdebatkan apakah omongan Edward Teller dan Budi Sudarsono (TF.MPO 22 Nopember 75) bukan merupakan jebakan demi kepentingan negara industri? Bagi negara produsen, menjual PLTN memang enak benar: sekali pukul ekspor $ 400 juta, kalau 4 PLTN $ 1.600 juta, belum dihitung suplai uranium, rehabilitasi dan pemeliharaan, biaya konsultasi, dll. Belum lagi dihitung bahwa seluruh orientasi nuklir kita akan tergantung kepada mereka: baik pendidikan, reaktor atom, peralatan teknologi nuklir dll. Nota bene kita dalam jangka panjang akan harus membayar langsung dan tidak langsung mungkin 4 x lipat dari harga I PLTN yang $ 400 juta itu. Suatu eksploitasi yang sempurna. Secara jujur penulis tidak anti PLTN. Namun masih banyak langkah lain yang lebih mungkin menguntungkan pembangunan Indonesia dan hari depan Indonesia selain PLTN. Karena menurut pengamatan penulis, bagi Indonesia buat sekarang ini lebih tepat mengembangkan sumber enerji lainnya daripada membeli PLTN. Kalau kita mau menjawab akan kebutuhan enerji tahun 2000 di Indonesia, "belilah pancing tapi jangan beli ikan yang sudah mati". Di bidang nuklir, untuk jangka panjang mungkin langkah paling ekonomis dan efisien ialah mendirikan reaktor atom yang besar, mendidik ahli-ahli nuklir dan menjajaki kemungkinan penambangan uranium sebagai bahan ekspor. Baru setelah tahun 2000, mendirikan PLTN apabila memang lebih ekonomis dan menuntungkan rakyat Indonesia ketimbang sumber enerji lainnya. Dari segi ekonomis dan penambahan langsung GNP dan pendapatan penduduk per kepala, maka buat sementara (25 tahun) mungkin masih lebih menguntungkan memanfaatkan sumber tenaga hidro seperti Proyek Serbaguna Brantas, Asahan dan Jatiluhur, Proyek-proyek ini merangsang pertumbuhan ekonomi di daerah dan tidak hanya di tempat tertentu, dengan pemanfaatan sarjana teknik Indonesia secara luas. Proyek ini secara mikro dan makro benar-benar menunjang pembangunan dan peningkatan kemakmuran rakyat dan tidak hanya kemakmuran bagi pengusaha industri besar. Demikian juga pemakaian batubara dan gas bumi. Pembukaan tambang batubara akan menambah lapangan kerja, dan memutar roda ekonomi daerah secara lebih dinamis yang otomatis akan menambah pendapatan negara baik langsung dan tidak langsung. Gas bumi dan panas bumi Indonesia sampai sekarang pemanfaatannya masih minim. Apabila pemakaian dan pemanfaatannya ditingkatkan, yang memang sumbernya masih berlimpah, otomatis juga menambah pendapatan dan lapangan kerja rakyat Indonesia dalam arti luas. Sedang dengan pembangunan PLTN, yang paling beruntung adalah produsen dan pengusaha besar. Secara politis ketergantungan nuklir Indonesia akan sesuatu negara akan membawa efek sampingan yang luas. Kita harus belajar dari sejarah, karena persiapan yang belum matang Indonesia harus membesituakan peralatan modern yang dibeli dari Rusia. Biasanya sejarah sering berulang kembali, apabila dari dalam tidak ada tenaga yang mengimbanginya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus