HARGA minyak bumi yang meningkat 400% telah menimbulkan aspek
baru akan kebutuhan energi. Negara-negara industri yang kaya
menjerit dan memaki. Harga-harga barang meningkat, perdagangan
dunia agak kacau. Namun yang paling menderita akibat kenaikan
minyak ialah negara yang sedang berkembang atau negara konsumen
hasil produksi negara industri.
Belakangan ini makin tenar pemikiran untuk mengimbangi atau
mengurangi ketergantungan akan minyak bumi lewat PLTN,
pemanfaatan batubara, air terjun, panas bumi/gunung berapi,
tenaga cahaya matahari dan kemungkinan lainnya. Indonesia ikut
juga latah seperti biasanya. Bahkan mendengungkan akan segera
membangun PLTN sebagai jalan termurah dan termudah ke arah
kemajuan dengan harga satu PLTN dengan kapasitas 600 MW "hanya"
Rp 160 milyar saja.
Sebenarnya sepintas lalu, Indonesia dapat rezeki nomplok dengan
kenaikan harga minyak bumi. Nilai ekspor naik 400%. Suatu
rakhmat. Cuma, karena posisi Indonesia masih tetap merupakan
tukang tadah rongsokan hasil teknologi modern negara industri.
dan konsumen paling setia akan produk pabrik negara industri
yang tanpa minyak, terpaksa membayar mahal. Tambahan nilai
ekspor yang 400% dari minyak ini tidak begitu terasa bagi rakyat
kecil, bahkan sebaliknya, barang kebutuhan pokok ikut naik.
Dari hasil survei sampai kini, Indonesia masih kaya akan minyak
bumi, gas bumi, dan batubara, panas bumi dan bahkan mendapat
cahaya matahari katulistiwa sepanjang hari sepanjang tahun,
sepanjang abad. Tenaga hidro yang digunakan sebagai pembangkit
listrik belum mencapai 10%, dari potensi air terjun dan tenaga
hidro Indonesia.
Memang harus diakui PLTN merupakan lambang kemajuan teknologi
dan ilmu. Namun menjadi pertanyaan ialah apakah PLTN sekarang
ini sudah merupakan jawaban akan keperluan enerji di Indonesia
sampai tahun 2000, baik dilihat dari segi ilmu ekonomi,
ekologo, Industrialisasi dan perkembangan dan pengembangan GNP
dan pendapatan per kepala rakyat Indonesia? Di AS beberapa
proyek PLTN terpaksa distop karena keraguan akan keselamatan.
Demikian juga di Jerman Barat. Kalau Pilipina membangun PLTN,
itu karena mereka tidak memiliki sumber enerji yang lain secara
luas. Tidakkah perlu diperdebatkan apakah omongan Edward Teller
dan Budi Sudarsono (TF.MPO 22 Nopember 75) bukan merupakan
jebakan demi kepentingan negara industri? Bagi negara produsen,
menjual PLTN memang enak benar: sekali pukul ekspor $ 400 juta,
kalau 4 PLTN $ 1.600 juta, belum dihitung suplai uranium,
rehabilitasi dan pemeliharaan, biaya konsultasi, dll. Belum lagi
dihitung bahwa seluruh orientasi nuklir kita akan tergantung
kepada mereka: baik pendidikan, reaktor atom, peralatan
teknologi nuklir dll. Nota bene kita dalam jangka panjang akan
harus membayar langsung dan tidak langsung mungkin 4 x lipat
dari harga I PLTN yang $ 400 juta itu. Suatu eksploitasi yang
sempurna.
Secara jujur penulis tidak anti PLTN. Namun masih banyak langkah
lain yang lebih mungkin menguntungkan pembangunan Indonesia dan
hari depan Indonesia selain PLTN. Karena menurut pengamatan
penulis, bagi Indonesia buat sekarang ini lebih tepat
mengembangkan sumber enerji lainnya daripada membeli PLTN. Kalau
kita mau menjawab akan kebutuhan enerji tahun 2000 di Indonesia,
"belilah pancing tapi jangan beli ikan yang sudah mati". Di
bidang nuklir, untuk jangka panjang mungkin langkah paling
ekonomis dan efisien ialah mendirikan reaktor atom yang besar,
mendidik ahli-ahli nuklir dan menjajaki kemungkinan penambangan
uranium sebagai bahan ekspor. Baru setelah tahun 2000,
mendirikan PLTN apabila memang lebih ekonomis dan menuntungkan
rakyat Indonesia ketimbang sumber enerji lainnya.
Dari segi ekonomis dan penambahan langsung GNP dan pendapatan
penduduk per kepala, maka buat sementara (25 tahun) mungkin
masih lebih menguntungkan memanfaatkan sumber tenaga hidro
seperti Proyek Serbaguna Brantas, Asahan dan Jatiluhur,
Proyek-proyek ini merangsang pertumbuhan ekonomi di daerah dan
tidak hanya di tempat tertentu, dengan pemanfaatan sarjana
teknik Indonesia secara luas. Proyek ini secara mikro dan makro
benar-benar menunjang pembangunan dan peningkatan kemakmuran
rakyat dan tidak hanya kemakmuran bagi pengusaha industri besar.
Demikian juga pemakaian batubara dan gas bumi. Pembukaan tambang
batubara akan menambah lapangan kerja, dan memutar roda ekonomi
daerah secara lebih dinamis yang otomatis akan menambah
pendapatan negara baik langsung dan tidak langsung. Gas bumi
dan panas bumi Indonesia sampai sekarang pemanfaatannya masih
minim. Apabila pemakaian dan pemanfaatannya ditingkatkan, yang
memang sumbernya masih berlimpah, otomatis juga menambah
pendapatan dan lapangan kerja rakyat Indonesia dalam arti luas.
Sedang dengan pembangunan PLTN, yang paling beruntung adalah
produsen dan pengusaha besar. Secara politis ketergantungan
nuklir Indonesia akan sesuatu negara akan membawa efek sampingan
yang luas. Kita harus belajar dari sejarah, karena persiapan
yang belum matang Indonesia harus membesituakan peralatan
modern yang dibeli dari Rusia. Biasanya sejarah sering berulang
kembali, apabila dari dalam tidak ada tenaga yang
mengimbanginya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini