ADA proyek seni di Kalimantan Selatan yang diniatkan bakal
unjuk gigi setiap tahun. Kandangan yang dipilih sebagai pusat
kerepotan, sudah memulai langkah pertamanya pada Nopember lalu.
Namun batu pertama ini tidak hanya menimbulkan harapan-harapan
seniman setempat, tetapi juga bisik-bisik. Terutama karena dua
malam pergelaran yang menjadi tanggungjawab Proyek Pusat
Pengembangan Kesenian Kalsel itu sudah dinyatakan berharga Rp 1
juta. Tari dan drama yang disaksikan pada malam seni itu dikirim
oleh 6 kontingen daerah, yang masing-masing diberi biaya Rp
50.000. Maka tak heranlah kalau ketua DKD Kalsel -- Anang
Adenansi -- berkaok: "Kalau cuma pergelaran semacam itu DKD
sanggup menyelenggarakannya dengan biaya Rp 50.000 saja".
Sesungguhnya bisikan duit tersebut tidaklah menjadi keberatan
pokok kalangan seniman. Kemasgulan mereka lebih ditujukan kepada
materi peristiwa seni itu. "Dari itu ke itu juga, alias tidak
ada hal-hal yang baru", ujar orang-orang Dewan Kcsenian. Mereka
menunjuk tari-tari seperti: Tirik, Radap Rahayu, Lalan, Gantor,
Balian Bawo, Baksa Lilin -- sebagai misal saja sebagai
perbendaharaan yang sudah lama dikenal masyarakat. Anang
Ardiansyah memang sudah pernah melakukan riset terhadap beberapa
jenis itu maklumlah ketua bengkel tari DKD Kalsel ini suka
tetirah ke udik langsung mcnciptakan lagu-lagunya (dia dulunya
Benggolan orkes Rindang Banua). "Jadi kalau proyek Pelita yang
ditangani pihak P & T yang mempunyai sasaran untuk
mengembangkan kesenian", tulis Sjachran R, "seperti yang
dinyatakan oleh Lamberi Bustani pimpinan proyek -- agak kurang
mengena kalau hanya mempergelarkan yang ada saja tanpa dibarengi
dengan penggalian atawa bimbingan kepada grup tari di sana.
Apalagi dimaksudkan untuk melangsungkannya setiap tahun".
Menyokong hal ini berkatalah Adenansi: "Hendaknya metode
pergelaran itu dirubah. Misalnya kepada setiap peserta
diwajibkan menampilkan kreasi baru yang merupakan hasil galian
mereka sendiri". Bahkan dianjurkannya juga supaya pada
kesempatan kumpul itu diadakan pengarahan dan ceramah yang
bertalian dengan pekerjaan kaum seniman itu.
Belum diketahui bagaimana jawaban yang punya kerja atas
tanggapan dari para seniman ini. Lagi pula orang boleh bertanya:
mengapa harus selalu "yang baru", yang belum tentu lebih bagus?
Tentunya usul-usul boleh saja, terutama untuk membuat semua
pihak puas nantinya pada kerepotan yang kedua. Sementara itu
pantas diketahui juga, salah satu drama yang muncul dalam
kesempatan itu berjudul: "Saputangan Biru". Tidak mempergunakan
dialog, kecuali pantull-pantun yang setengahnya berbahasa
Banjar. Ceritanya memang sesuai dengan tuntutan pemerintah:
Keluarga Berencana.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini