Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Proyek Sejuta

Proyek pusat pengembangan kesenian kalimantan selatan menampilkan pergelaran tari di kandangan. Kalangan seniman menyayangkan materi tarian yang ditampilkan bukan kreasi baru. (sr)

17 Januari 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ADA proyek seni di Kalimantan Selatan yang diniatkan bakal unjuk gigi setiap tahun. Kandangan yang dipilih sebagai pusat kerepotan, sudah memulai langkah pertamanya pada Nopember lalu. Namun batu pertama ini tidak hanya menimbulkan harapan-harapan seniman setempat, tetapi juga bisik-bisik. Terutama karena dua malam pergelaran yang menjadi tanggungjawab Proyek Pusat Pengembangan Kesenian Kalsel itu sudah dinyatakan berharga Rp 1 juta. Tari dan drama yang disaksikan pada malam seni itu dikirim oleh 6 kontingen daerah, yang masing-masing diberi biaya Rp 50.000. Maka tak heranlah kalau ketua DKD Kalsel -- Anang Adenansi -- berkaok: "Kalau cuma pergelaran semacam itu DKD sanggup menyelenggarakannya dengan biaya Rp 50.000 saja". Sesungguhnya bisikan duit tersebut tidaklah menjadi keberatan pokok kalangan seniman. Kemasgulan mereka lebih ditujukan kepada materi peristiwa seni itu. "Dari itu ke itu juga, alias tidak ada hal-hal yang baru", ujar orang-orang Dewan Kcsenian. Mereka menunjuk tari-tari seperti: Tirik, Radap Rahayu, Lalan, Gantor, Balian Bawo, Baksa Lilin -- sebagai misal saja sebagai perbendaharaan yang sudah lama dikenal masyarakat. Anang Ardiansyah memang sudah pernah melakukan riset terhadap beberapa jenis itu maklumlah ketua bengkel tari DKD Kalsel ini suka tetirah ke udik langsung mcnciptakan lagu-lagunya (dia dulunya Benggolan orkes Rindang Banua). "Jadi kalau proyek Pelita yang ditangani pihak P & T yang mempunyai sasaran untuk mengembangkan kesenian", tulis Sjachran R, "seperti yang dinyatakan oleh Lamberi Bustani pimpinan proyek -- agak kurang mengena kalau hanya mempergelarkan yang ada saja tanpa dibarengi dengan penggalian atawa bimbingan kepada grup tari di sana. Apalagi dimaksudkan untuk melangsungkannya setiap tahun". Menyokong hal ini berkatalah Adenansi: "Hendaknya metode pergelaran itu dirubah. Misalnya kepada setiap peserta diwajibkan menampilkan kreasi baru yang merupakan hasil galian mereka sendiri". Bahkan dianjurkannya juga supaya pada kesempatan kumpul itu diadakan pengarahan dan ceramah yang bertalian dengan pekerjaan kaum seniman itu. Belum diketahui bagaimana jawaban yang punya kerja atas tanggapan dari para seniman ini. Lagi pula orang boleh bertanya: mengapa harus selalu "yang baru", yang belum tentu lebih bagus? Tentunya usul-usul boleh saja, terutama untuk membuat semua pihak puas nantinya pada kerepotan yang kedua. Sementara itu pantas diketahui juga, salah satu drama yang muncul dalam kesempatan itu berjudul: "Saputangan Biru". Tidak mempergunakan dialog, kecuali pantull-pantun yang setengahnya berbahasa Banjar. Ceritanya memang sesuai dengan tuntutan pemerintah: Keluarga Berencana.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus