Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Catatan Emosi-Emosi

50 lukisan bagong kussudiardjo dipamerkan di tim. terdapat juga 2 karya tahun 1962 & 1963. Sebagian besar lukisannya belum menampilkan identitas dirinya, kecuali lukisan "angin ribut". (sr)

17 Januari 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ADA kanvas kecil, blok-blok cat hitam, oker dan putih, membentuk petak-petak kecil. Di sana-sini ada hijau dan merah muda. Namun suasana keseluruhan terbentuk dari hitam, oker dan putih itu. Lukisan ini berteksur nyata: permukaan kanvas kasar oleh cat. Dan itulah karya Bagong Kussudiardjo tahun 1963 yang ikut dipamerkan di TIM akhir Desember yang baru lewat. Kemudian ada sebuah lukisan lagi. Yang ini pada kanvas kecil, dengan latar belakang hitam, lalu muncul figur-figur remang-remang seperti sederet penari. lni lukisan Bagong tahun 1962. Kedua lukisan tersebut, jelas, sebagian besar terbentuk dari warna-warna berat. Hanya saja di tangan Bagong Kussudiardjo warna-warna itu menjadi encer. Tentu bukannya tabu menggunakan hitam untuk menghadirkan yang enteng-enteng. Tapi soalnya, yang disebut kepekatan tak mungkin ketegangan keseluruhan kanvas terasa membuyar. Bak puisi yang begitu verbal: berbira tentang hitam, dengan kata hitam, tanpa menghadirkan kehitaman. 50 lukisan Bagong, sebagian besar dari tahun '74 dan '75, tak begitu jauh dari dua lukisan lamanya yang dicontohkan tersebut. Hanya warna-warna gelap sekarang tergeser oleh yang lebih cerah: biru, hijau, kuning. Bahkan sebuah lukisan terbentuk dari putih dan biru saja. Juga tekstur nyata yang kasar tergeser oleh sapuan-sapuan kwas yang encer. Tekstur menjadi semu, sementara beberapa bagian kanvas diisi dengan geliatan garis-garis berirama lengkung yang dibuat langsung dari tube cat. Sebagian besar karya-karyanya abstrak atau non-representatif. Beberapa masih menyuguhkan figur, seperti dalam Wanita Dingin dan Putu Wijaya (ini memang nama lukisan). Orang akan cepat terkesan oleh kelancaran Bagong (48 tahun) dalam menyapukan warna dan menggoreskan garis. Kecanggungan seorang yang baru mulai melukis, atau seorang yang belum begitu yakin apa yang harus dilakukannya di hadapan kanvas, tak terasa lagi pada karya-karyanya yang mutakhir. Masalah teknis tak lagi jadi hambatan. Ia enak saja menyapukan coklat, mengguyurkan dengan merah, menambah hijau dan kuning di sana-sini, lalu menggoreskan tube putih, kuning, di beberapa bagian. Kelancarannya, kesegarannya menunjukkan bahwa apa yang disebut emosi memang menjadi salah satu pijakan. Tapi begitulah: perpaduan sapuan dan goresan itu kiranya merupakan dorongan emosi sesaat yang dicoba Bagong mewujudkannya. Kemudian, seperti yang bisa dilihat dalam ruang pameran, apa yang tercetak pada kanvasnya adalah satu denyaran emosi yang sekali pandang habis. Karya-karya Bagong bagi saya tak mengundang orang untuk lagi dan lagi datang melihatnya: begitu lancar, sekaligus encer (lihat kedua contoh di muka) tanpa meninggalkan bekas barang sedikit. Dan seorang juri final Festival Teater Remaja tahun 1975 yang kebetulan sedang berlangsung, anggota DKJ, nyeletuk: bahwa ia tak bisa mengenali lukisan Bagong andai tergantung di antara beragam karya orang lain. Juri itu benar. Di sinilah barangkali kelowongan Bagong. Emosi memang dibutuhkan dalam melahirkan karya seni. Namun melulu emosi biasanya hanya melahirkan karya-karya dangkal. Diperlukan dasar-dasar: mungkin kontemplasi, mungkin seleksi, mungkin juga keunikan ide-ide. Hal-hal yang disebut terakhir itulah yang absen dari karya-karya Bagong. Lihat Paul Klee Dengan kata lain, Bagong belum menemukan dirinya. Pengaturan elemen-elemen kesenilukisannya belum membuat orang terkesan: ini Bagong! Meski dalam menggores garis misalnya ia mempunyai bentuk yang sengaja atau tidak selalu bisa dijumpai dalam tiap karyanya. Bentuk itu adalah semacam segi tiga yang bersudut lengkung. Mungkin ini hasil dari banyaknya ia membuat lukisan wayang kulit, dan ornamen wayang memang banyak mempunyai bentuk begitu. Tapi sekedar bentuk yang sama belum menjamin hadirnya subyek dalam karya. Kepribadian dalam karya tidak ditentukan oleh bentuk, tapi organisasi dari semua unsur yang membentuk karya itu (lihat misalnya Paul Klee). Kalau toh diharuskan untuk memilih, maka sebuah lukisan berjudul Angin Ribut (38) adalah yang bisa ditampilkan di antara karya Bagong yang dipamerkan kali ini. Lukisan satu ini justru berbeda dari yang lain-lain. Atas dasar putih, Bagong membuat sapuan mirip angka delapan berwarna abu-abu sedikit ungu. Kemudian becak-becak merah, seperti gambar bakteri yang dibesarkan sekian kali, muncul dalam sapuan itu. Lukisan ini terasa mantap, utuh kelancaran yang tidak encer. Dan sungguh sulit untuk mengatakan, apakah ini Bagong itu. Soalnya, yang begitu itu hanya sebuah. Bambang Bujono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus