ADA kanvas kecil, blok-blok cat hitam, oker dan putih,
membentuk petak-petak kecil. Di sana-sini ada hijau dan merah
muda. Namun suasana keseluruhan terbentuk dari hitam, oker dan
putih itu. Lukisan ini berteksur nyata: permukaan kanvas kasar
oleh cat. Dan itulah karya Bagong Kussudiardjo tahun 1963 yang
ikut dipamerkan di TIM akhir Desember yang baru lewat. Kemudian
ada sebuah lukisan lagi. Yang ini pada kanvas kecil, dengan
latar belakang hitam, lalu muncul figur-figur remang-remang
seperti sederet penari. lni lukisan Bagong tahun 1962.
Kedua lukisan tersebut, jelas, sebagian besar terbentuk dari
warna-warna berat. Hanya saja di tangan Bagong Kussudiardjo
warna-warna itu menjadi encer. Tentu bukannya tabu menggunakan
hitam untuk menghadirkan yang enteng-enteng. Tapi soalnya, yang
disebut kepekatan tak mungkin ketegangan keseluruhan kanvas
terasa membuyar. Bak puisi yang begitu verbal: berbira tentang
hitam, dengan kata hitam, tanpa menghadirkan kehitaman.
50 lukisan Bagong, sebagian besar dari tahun '74 dan '75, tak
begitu jauh dari dua lukisan lamanya yang dicontohkan tersebut.
Hanya warna-warna gelap sekarang tergeser oleh yang lebih cerah:
biru, hijau, kuning. Bahkan sebuah lukisan terbentuk dari putih
dan biru saja. Juga tekstur nyata yang kasar tergeser oleh
sapuan-sapuan kwas yang encer. Tekstur menjadi semu, sementara
beberapa bagian kanvas diisi dengan geliatan garis-garis
berirama lengkung yang dibuat langsung dari tube cat. Sebagian
besar karya-karyanya abstrak atau non-representatif. Beberapa
masih menyuguhkan figur, seperti dalam Wanita Dingin dan Putu
Wijaya (ini memang nama lukisan).
Orang akan cepat terkesan oleh kelancaran Bagong (48 tahun)
dalam menyapukan warna dan menggoreskan garis. Kecanggungan
seorang yang baru mulai melukis, atau seorang yang belum begitu
yakin apa yang harus dilakukannya di hadapan kanvas, tak terasa
lagi pada karya-karyanya yang mutakhir. Masalah teknis tak lagi
jadi hambatan. Ia enak saja menyapukan coklat, mengguyurkan
dengan merah, menambah hijau dan kuning di sana-sini, lalu
menggoreskan tube putih, kuning, di beberapa bagian.
Kelancarannya, kesegarannya menunjukkan bahwa apa yang disebut
emosi memang menjadi salah satu pijakan.
Tapi begitulah: perpaduan sapuan dan goresan itu kiranya
merupakan dorongan emosi sesaat yang dicoba Bagong
mewujudkannya. Kemudian, seperti yang bisa dilihat dalam ruang
pameran, apa yang tercetak pada kanvasnya adalah satu denyaran
emosi yang sekali pandang habis. Karya-karya Bagong bagi saya
tak mengundang orang untuk lagi dan lagi datang melihatnya:
begitu lancar, sekaligus encer (lihat kedua contoh di muka)
tanpa meninggalkan bekas barang sedikit. Dan seorang juri final
Festival Teater Remaja tahun 1975 yang kebetulan sedang
berlangsung, anggota DKJ, nyeletuk: bahwa ia tak bisa mengenali
lukisan Bagong andai tergantung di antara beragam karya orang
lain.
Juri itu benar. Di sinilah barangkali kelowongan Bagong. Emosi
memang dibutuhkan dalam melahirkan karya seni. Namun melulu
emosi biasanya hanya melahirkan karya-karya dangkal. Diperlukan
dasar-dasar: mungkin kontemplasi, mungkin seleksi, mungkin juga
keunikan ide-ide. Hal-hal yang disebut terakhir itulah yang
absen dari karya-karya Bagong.
Lihat Paul Klee
Dengan kata lain, Bagong belum menemukan dirinya. Pengaturan
elemen-elemen kesenilukisannya belum membuat orang terkesan: ini
Bagong! Meski dalam menggores garis misalnya ia mempunyai bentuk
yang sengaja atau tidak selalu bisa dijumpai dalam tiap
karyanya. Bentuk itu adalah semacam segi tiga yang bersudut
lengkung. Mungkin ini hasil dari banyaknya ia membuat lukisan
wayang kulit, dan ornamen wayang memang banyak mempunyai bentuk
begitu. Tapi sekedar bentuk yang sama belum menjamin hadirnya
subyek dalam karya. Kepribadian dalam karya tidak ditentukan
oleh bentuk, tapi organisasi dari semua unsur yang membentuk
karya itu (lihat misalnya Paul Klee).
Kalau toh diharuskan untuk memilih, maka sebuah lukisan berjudul
Angin Ribut (38) adalah yang bisa ditampilkan di antara karya
Bagong yang dipamerkan kali ini. Lukisan satu ini justru berbeda
dari yang lain-lain. Atas dasar putih, Bagong membuat sapuan
mirip angka delapan berwarna abu-abu sedikit ungu. Kemudian
becak-becak merah, seperti gambar bakteri yang dibesarkan sekian
kali, muncul dalam sapuan itu. Lukisan ini terasa mantap, utuh
kelancaran yang tidak encer. Dan sungguh sulit untuk mengatakan,
apakah ini Bagong itu. Soalnya, yang begitu itu hanya sebuah.
Bambang Bujono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini