Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Di atas laut dan batukarang

Suku bajo di kalumbatan (sulawesi tengah) telah lebih 100 tahun hidup di atas laut. sekolah dan mesjid yang terletak di darat, menyediakan tempat untuk menambatkan sampan mereka. (ds)

17 Januari 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DESA ini berdiri di atas laut. Namanya Kalumbatan. Terletak menjorok jauh dari tepi pntai di atas areal laut seluas 6 ha di pulau Peling kecamatan Totikum kabupaten Banggai bagian utara Sulawesi Tengah. Penghuninya 2521 jiwa atau 408 kepala keluarga mendiami 367 buah rumah bertiang tinggi dari papan dan atap rumbia di alas kedalaman air 2-4 meter. Dan karena letak desa ini di atas laut maka penduduknya yang terdiri dari suku Bajo yang memang turun-temurun terkenal suka hidup di laut dengan profesi nelayan, jika perlu saling bertandang antara tetangga mereka harus naik perahu sampan. Setiap rumah mernang memiliki beberapa buah. Tak heran lagi mengapa semua penduduk di sana termasuk wanita dan anak-anak terbilang jagoan mendayung perahu ataupun berenang, sekalipun di laut lepas seorang diri. Yang unik dan sudah jadi tradisi pesta kawin pun sebelum mempelai duduk pelaminan lebih dahulu harus diarak dengan sampan berkeliling desa dengan tabuhan gendang rebana. Tak luput juga urusan dukacita. Karena tak ada jalan lain mengantar mayat ke pekuburan juga harus dengan antaran sampan beramai-ramai untuk sampai ke liang lahat di kaki gunung yang letaknya cukup jauh dari kawasan desa. Nah, jika kebetulan hari Jumat dan sembahyang sedang berlangsung, di muka mesjid Kalumbatan berjejer ratusan sampan bak kuda yang lagi diikat di muka bar cowboy dalam film. Ruwetnya lagi buat orang tua di sana setiap anak sekolah dasar selain harus dilengkapi alat tulis-menulis juga masing-masing harus punya sampan untuk bolak-balik ke rumah dan sekolah. Dua sekolah dasar di sana yang dibangun atas swadaya masayrakat sendiri telah diberi halaman dengan timbunan batu karang laut. Maksud halaman yang dipoleskan pasir itu untuk memberi kesempatan pada anak-anak yang hanya biasa berkejar-kejaran di laut dengan sampan untuk berkenalan juga dengan main kasti atau sepakbola. 100 Tahun Desa Kalumbatan sudah berumur lebih 100 tahun. Konon didirikan oleh leluhur Bajo yang lebih kerasan hidup dengan deburan ombak ketimbang tinggal di daratan. Menurut cerita, dulunya sebuah pulau pasir -- yang kemudian kira-kira 50 tahun lewat hancur dan menjadi laut kembali karena pukulan ombak. Walaupun setiap musim utara desa ini selalu terancam pukulan ombak dan tiupan topan namun penduduk tidak ada satupun yang berniat suka pindah ke darat. "Kami sudah turun temurun dengan laut. Mungkin jika di darat kami ini semua bisa mabuk darat" tutur seorang penduduk. Mata pencaharian penduduk yang cinta laut ini hanya menangkap ikan dengan pancing pukat dan sero. Di samping itu mereka juga suka menguber ikan "gorango" (sejenis hiu) untuk dikeringkan bagian ekornya dan dikirim ke Ujungpandang untuk konsumsi restoran-restoran besar melalui pedagang hasil laut di kota Luwuk ibukota kabupaten. Di samping itu juga mereka suka menyelam siput mutiara untuk dijual kulitnya. "Tiap penduduk di sini bisa punya penghasilan Rp 50.000 tiap bulan dari penjualan hasil laut" tutur M. Amma Mumah kepala desa Kalumbatan. Dan dari pendapatan yang memadai itu desa ini terbilang makmur dan tidak pernah mengalami kesulitan bahan makanan. Makanan pokok mereka sagu dan ubi-ubian yang dibeli atau dibarter dengan hasil laut dengan penduduk yang berdiam di daratan sekitarnya. Juga dalam soal membayar kewajiban pajak plus ipeda (dipungut dengan menaksir halaman laut rumah penduduk) tidak pernah tertunggak. "Berapa saja kami sodorkan mereka bayar tanpa banyak cerewet" ujar kepala desa itu yang bangga akan ketaatan penduduknya. Dan memang penduduk yang mempunyai prototype tinggi besar ditambah warna kulit merah serta warna rambut setengah pirang akibat sengatan matahari termasuk suku yang paling taat pada aturan-aturan dan ketentuan pemerintah. Zaman pemilu lewat mereka 100% menusuk tanda-gambar Golkar. "Sebab penduduk di sini tidak pernah kenal atau masuk partai" ujar M. Amma Mumah yang tetap yakin desanya dalam pemilu datang akan 100% bernaung di bawah panji beringin lagi. Hanya dalam satu hal penduduk di sini kelihatannya menyisihkan ketaatannya pada anjuran pemerintah. Tak ada satu pun yang ikut KB. Rata-rata tiap kepala keluarga mempunyai 9 orang anak. "Bagaimana tidak begini jadinya jika seharian di laut dan malamnya tinggal di rumah saja" tutur seorang penduduk. Melimpahnya anak-anak di desa kecil ini membuat kewalahan juga bagi kalangan pendidik. Anak yang tidak bersekolah dari umur 7 sampai 14 tahun ada 300 orang. Dua sekolah dasar dengan masing-masing tiga ruangan baru bisa menampung 256 murid saja. Suku Bajo di Kalumbatan ini mempunyai banyak persamaan terutama bahasa dengan suku Bajo yang banyak bertebaran di Maluku Utara, Sulawesi Tenggara dan Selatan serta di pantai barat Sulawesi Tengah. Bagaimana ihwal suku yang suka hidup di laut ini bisa bertebaran begitu tidak ada petunjuk masa lampau yang bisa jadi pegangan. "Mungkin saja kami ini berasal dari Johor lantas terdampar di pesisir pantai sini" kelakar seorang guru SD di sana kepada TEMPO. Alasannya cukup gampang: "Bajo itu mungkin singkatan dari bangsa Johor.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus