Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Gus Dur di Depan Kitab-Kitab Lama

7 Juni 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Syu'bah Asa Wartawan dan pengajar di Yayasan Wakaf Paramadina, Jakarta

Tindakan Komisi Pemilihan Umum (KPU), yang tidak meloloskan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menjadi calon Presiden RI berdasarkan alasan kesehatan, sebenarnya sesuai dengan ketentuan hukum Islam (klasik) yang dipelajari di masyarakat muslim kita. Itu lepas dari kontroversi yang bisa timbul mengenai pemakaian kitab-kitab hukum yang lama.

Ada dua kitab yang biasanya dijadikan rujukan dalam masalah ini. Pertama adalah Al-Ahkamus Sulthaniyah, atau lengkapnya Kitabul Ahkamis Sulthaniyah wal Wilaayaatid Diniyah (Kitab Hukum-Hukum Pemerintahan dan Pengaturan-Pengaturan Keagamaan) dari Abul Hasan Ali ibn Muhammad al-Mawardi, ulama Bagdad yang menjadi hakim agung mazhab Syafii di masa dinasti Abbasiah. Buku kedua juga berjudul Al-Ahkamus Sulthaniyah. Pengarangnya Abu Ya'la Muhammad ibn al-Husain al-Farra', juga hakim agung, tetapi dari mazhab Hanbali.

Kedua cendekiawan hidup persis sezaman, dan, khususnya Al-Farra', diketahui dekat dengan Istana. Mereka juga meninggal pada masa berdekatan: Mawardi pada 1058 M (450 H) dan Farra' delapan tahun kemudian. Bahwa kedua kitab itu aktual, bisa dilihat dari Deklarasi Nahdlatul Ulama Situbondo 1984 (yang menyatakan negara Pancasila sebagai "bentuk final cita-cita kenegaraan umat Islam Indonesia"), yang menyertakan karya Mawardi di atas sebagai rujukan, yakni untuk bab "wilayah/negeri yang (sejak dulu) sudah dikuasai umat Islam".

Kitab Al-Mawardi itu ringkas saja. Sebagai buku pegangan, dalam bentuk modern (Kairo-Beirut, 1966), ia hanya terdiri atas 262 halaman. Dituliskan pengarangnya sendiri dalam pengantar singkat, karyanya memuat 20 bab, dan dibuka dengan bab penetapan kepemimpinan ('aqdul imamah), untuk seorang imam/khalifah/kepala negara.

Di situlah faktor kesehatan dan kondisi fisik diletakkan sebagai syarat ketiga dan keempat?setelah faktor pertama dan kedua, yakni "hidup lurus, yang melingkupi seluruh syaratnya", dan "ilmu pengetahuan yang memungkinkan yang bersangkutan berijtihad (mencari penyelesaian) dalam menghadapi keadaan gawat maupun hukum-hukum". Syarat ketiga ialah "utuhnya indra pendengaran, penglihatan, dan lidah (kemampuan bicara)." Sedangkan syarat keempat: "terhindarnya anggota-anggota badan dari kekurangan yang menghalangi terlaksananya semua gerakan dan kemampuan bangkit dengan cepat".

Putus zakar dan impotensi
Buku Al-Farra' (Beirut, 1986, 333 halaman), terdiri dari 32 pasal, sebaliknya menyatukan keempat syarat Al-Mawardi di atas menjadi "sifat seseorang yang fit untuk menjadi seorang hakim". Tapi disyaratkannya pula, mestinya sang calon "lebih utama dibanding orang-orang lain dalam hal ilmu dan keberagamaan".

Pertanyaan: bagaimana bila syarat tersebut didapatkan pada diri seorang calon, tapi kemudian hilang setelah ia bertakhta? Jawabnya: bila itu menyangkut syarat hidup lurus (dalam istilah kita: "iman dan takwa"), menurut Al-Farra', keabsahan jabatan tidak hilang. Sebaliknya bagi Mawardi: kefasikan itu menghalangi penetapan menjadi penguasa, juga membatalkannya?bila pengertiannya menyangkut "perbuatan, dengan anggota badan, yang melanggar larangan dan mengutamakan hal-hal mungkar demi memanjakan syahwat dan menuruti hawa nafsu".

Sebaliknya dalam soal kegilaan, mereka berdua sepaham: junun alias penyakit majenun menghalangi keabsahan kepemimpinan, baik di awal penetapan maupun di tengah jabatan. Begitu juga kebutaan. Tidak termasuk rabun senja, kata mereka. Adapun penglihatan yang tak jelas bisa dibedakan: kalau yang bersangkutan masih mengenal orang yang dilihatnya, that's okay; tapi kalau ia melihat sosok dan tidak mengenalinya, ia terhalang untuk meneruskan kekuasaan.

Berbeda dengan tuli dan bisu. Itu menghalangi seorang calon menjadi penguasa, menurut Farra', tapi tak mengharuskannya mundur bila sudah telanjur memerintah. Alasannya: bisu-tuli, kalau terpaksa, bisa ditolong dengan pemakaian isyarat. Adapun Mawardi memilih pendapat yang ketat: bisu dan tuli menghalangi pengangkatan maupun pelanjutan pemerintahan.

Hilangnya kedua tangan, atau kedua kaki, menutup kesempatan menjadi kepala negara dan, seperti kebutaan, juga mengharuskannya mundur dari jabatan. Tapi bila hanya satu tangan atau satu kaki, menurut Al-Farra', hukumnya seperti pada cacat tuli dan bisu: hanya menjadi penghalang di permulaan. Alasan: yang disyaratkan di waktu penetapan adalah "keutuhan sempurna", tapi penyebab pemunduran diri haruslah "kekurangan sempurna". Toh "keutuhan sempurna" itu tidak menyangkut anggota badan yang tidak berhubungan dengan kemampuan memerintah. Misalnya, hilangnya daun telinga, atau?dituliskan oleh keduanya?putusnya zakar (penis), maupun tiadanya buah pelir (untsayain, scrotum), yang bisa dikiaskan dengan impotensi. Itu tak apa.

Pemerintahan seumur hidup
Itu sekadar contoh. Sekarang, masalahnya, apakah isi kedua kitab tersebut, yang biasa disandarkan pada mazhab masing-masing, dianggap sebagai ajaran yang harus diamalkan. NU, dalam contoh di atas, memang menjadikannya rujukan. Tapi NU adalah lingkungan besar kiai yang banyak sumber, dan punya kebiasaan mengambil kitab-kitab klasik yang cocok untuk mendukung pendirian yang sudah dipilih dengan hati-hati.

Pertama haruslah disadari, isi kedua kitab adalah pikiran-pikiran yang dirumuskan dari tuntutan zamannya, dan bukan dari ayat Quran dan hadis?yang hanya sedikit, mengingat bahwa kenyataan berkembang, sementara ayat dan hadis tidak. Perkembangan itu mestinya menentukan pemahaman ayat dan hadis. Dan itulah, dalam kasus NU, yang menyebabkan aturan Nabi yang lain, yang dianggap melarang pengangkatan kepala negara perempuan, tidak mereka pahami secara tekstual, melainkan, agaknya, kasuistis (berhubungan dengan kasus kepala negara Persia, waktu itu). Sehingga, berbeda dengan PPP, yang pada tahun 1999 menolak Megawati sebagai calon presiden dengan alasan ajaran?tapi kemudian menerima penunjukan MPR kepada Hamzah Haz untuk menjadi wakil Mega?kalangan NU tidak pernah bicara tentang pelarangan. Dan sekarang, lihatlah apa yang mereka perbuat dalam soal Hasyim Muzadi: bahkan sang ketua umum dengan girang menjadi wakil dari presiden perempuan.

Tentang persyaratan yang menyangkut gender, kedua kitab tidak bicara sepatah kata. Tapi itu karena soalnya sudah jelas: tak seorang akan terlintas di pikirannya adanya penguasa puncak perempuan, sepanjang pembicaraan berjalan dalam koridor agama. Dunianya memang jauh berbeda dengan kini. Kedua kitab, misalnya, bicara dalam latar bukan sebuah negara, tapi sebuah imperium yang mendunia. Tentang seorang khalifah yang bukan berkuasa 4-6 tahun, tapi seumur hidup, tanpa parlemen, tanpa oposisi, apalagi demo dan pers.

Juga tentang harapan-harapan moral agamis bagi munculnya "putra terbaik". Ini sebenarnya hanya teoretis karena dinasti selalu berlangsung turun-temurun, dan di sana-sini dengan kekerasan berdarah. Karena itu kedua kitab menulis bab khusus tentang pemerintahan dengan perebutan kekuasaan (imaratul istila'), termasuk pemberontakan vazal-vazal yang memaksakan kehendak kepada khalifah yang lemah. Dan tentang sistem dari seribu tahun lalu yang tetap meyakini keharusan seorang khalifah berdarah Quraisy (suku besar Nabi di Mekah), berdasarkan hadis yang dulu dinyatakan dalam penyelesaian persaingan antara muslimin Mekah dan muslimin Madinah. Al-Mawardi meletakkan "keturunan Quraisy" itu sebagai syarat ketujuh, sementara bagi Farra' ia syarat pertama.

Dunianya memang jauh berbeda. Orang sekarang bisa saja membuat sendiri daftar persyaratan baru, bagi calon presiden dan wakil presiden. Bisa disertai syarat kesehatan dan kondisi fisik dan mental, bisa pula tidak. Baik sesuai dengan kehendak Gus Dur maupun tidak.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus