Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saya mengirim sepucuk e-mail kepada beberapa teman Amerika, setengah meledek, setengah mengingatkan: bila nanti George W. Bush dipilih kembali, rakyat Amerika harus menjelaskan kepada dunia kenapa hal itu bisa terjadi.
E-mail itu saya kirimkan pada 22 Mei 2004, setelah dunia membaca dan melihat potret penyiksaan di Penjara Abu Ghuraib oleh tentara Amerika, dan setelah berita kematian sekitar 40 orang (termasuk anak-anak) kena bom tentara pendudukan di sebuah dusun di perbatasan dengan Suriah. Jika sebabnya bisa diperpanjang: setelah AS tak berhasil membuktikan sahnya alasan menggempur Irak. Semua tahu, tapi Washington membisu, bahwa informasi intelijen tentang senjata pemusnah massal Saddam itu hanya isapan jempol atau cerita para penipu.
Bagi banyak orang, kian lama pemerintah Bush kian angkuh dan kian bodoh. Doktrin "pukul-saja-dulu" dalam menghadapi potensi konflik internasional ternyata tak didukung oleh informasi yang akurat. Dengan Project of New American Century yang pernah disusun oleh Cheney, Rumsfeld, Wolfowitz, dan lain-lainyang ingin memonopoli kekuatan di muka bumiAS kian terasing. Orang Amerika sendiri tahu, belum pernah AS begitu dipandang negatif di mana-mana seperti kini. Maka bagaimana bila nanti rakyat memilih Bush kembali?
Menjawab e-mail saya, pada 23 Mei 2004 Sidney Jones menulis pendek: "Hi, Mas GoenIf Bush gets re-elected, I become an Indonesian citizen!"
Saya kira Sidney Jones setengah bergurau. Tapi kalimat pendek itu menggambarkan pandangan hidupnya. Pertama, tali kesetiaannya yang pokok bukanlah kepada Amerika Serikat, apalagi pemerintah Bush. Baginya ada yang lebih penting: penghormatan atas manusia, apa pun bangsa, agama, dan jenisnya.
Ia melihat bahwa AS kini bukan lagi pembawa semangat seperti itu. Penahanan sejumlah besar orang di Guantanamo yang tak melalui proses hukum yang patut, berkurangnya kebebasan berekspresi dan civil liberties lainnya di dalam negeri Amerika atas nama "keamanan", perlakuan yang kadang sewenang-wenang kepada minoritas muslim, dan akhirnya apa yang terjadi di Penjara Abu Ghuraib, menunjukkan bagaimana merosotnya AS dalam soal hak asasi. Bagaimana Sidney Jones, yang hampir seumur hidupnya bekerja untuk hak-hak itu, akan cocok dengan orang Amerika lain, bila mereka nanti memilih Bush kembali?
Saya ingat, saya ketemu Sidney di New York pada tahun 2002, setahun setelah "11 September" dan "perang melawan terorisme" yang dilancarkan Bush mulai naik suhunya. Saya berkunjung ke kantornya, di Human Rights Watch di Fifth Avenue Nomor 350, di tingkat ke-34.
Saya sering ke sana jika saya sedang berada di New York. Sidney saya kenal sewaktu dia di Indonesia, tak lama setelah dia riset dan hidup di sebuah pesantren di Jawa Timur, dan kemudian ketika pada 1977-1984 ia bekerja di Ford Foundation di Jakarta (saya ingat fotonya ketika kantornya, waktu itu di Kebun Sirih, kena banjir). Selama ia aktif di Amnesty International terkadang kami bertemu dan berbantah dalam seminar, dan kami terus berteman. Dia juga yang mendorong saya agar memperhatikan nasib pekerja Indonesia yang diperlakukan sewenang-wenang di Malaysia. Saya ingat, pada 1996, ia mengetuk pintu hotel saya yang sempit di Riverside, New York, untuk memperkenalkan saya dengan seorang advokat Malaysia yang membantu buruh Indonesia.
Pada pertengahan 2002 saya sudah mendengar desas-desus bahwa ia akan berhenti dari Human Rights Watch. Seorang teman kami bersama mengatakan bahwa Sidney letih setelah sejak 1989 bekerja dalam organisasi itu, ditambah dengan beberapa tahun lamanya aktif dalam Amnesty International di London. Saya bisa mengerti kenapa ia capek. Ia orang yang intens, dan masalah hak asasi manusia, terutama di Indonesia, baginya bukanlah hanya persoalan abstrak. Jika ia prihatin akan satu atau sejumlah orang yang kena aniaya, ia akan menolong sampai mengorbankan bagian dunia pribadinya; di apartemennya di New York, kadang-kadang orang Indonesia yang sedang terdesak diberi tempat menginap.
Itulah agaknya alasan kedua, kenapa ia bergurau hendak "jadi warga negara Indonesia": tak jauh berbeda dari kita, ia "terjerat" oleh ikatan batin dengan negeri ini, betapapun pelik dan pedihnya.
Saya tak bertanya lebih jauh kenapa ia berhenti dari Human Rights Watch. Sambil berjalan dari kantornya ke sebuah restoran di sudut Jalan ke-34, ia setengah tertawa mengatakan sesuatu yang mungkin menjelaskan kegundahannya: "Lama-lama saya hanya akan mengerjakan 'Hypocrisy Watch'."
Waktu itu pemerintah George W. Bush berumur satu tahun lebih. Tapi, setelah Menara Kembar runtuh oleh hantaman dua pesawat teroris pada pagi 11 September 2001, sudah mulai terasa bagaimana slogan dan nyanyian patriotik Amerika bisa memabukkan. AS mulai tampak terkena sindrom "keamanan-nasional-adalah segala-galanya". Media massa mulai diimbau menyensor diri sendiri; tokoh TV Dan Rather bahkan mengatakan, kurang-lebih, "saya siap berdiri di belakang Bapak Presiden". Dan para pejabat pun sudah mulai bicara tentang perlunya peradilan luar biasa, semacam "mahmilub" di Indonesia dulu, terhadap mereka yang dianggap "teroris". Di sebuah ceramah di Asia Society di New York saya pernah mengatakan, "Amerika sudah mulai terasa seperti Orde Baru".
Kami berpisah hari itu. Seperti biasa, tak ada korespondensi. Kemudian saya mendengar kabar baik: Sidney akan kembali ke Indonesia, bekerja sebagai wakil International Crisis Group (ICG).
Benar, ia datang. Beberapa minggu setelah dia di Jakarta kami berjumpa, dan saya tanyakan apakah dia sudah mulai betah. Dia menjawab, dalam bahasa Indonesia: "Seperti di surga". Dia tak bergurau.
Kini dia harus dipisahkan dari Indonesia, oleh sebuah kekuasaan yang menuduh tapi sembunyi tangan. Izin kerja dan visanya tak diperpanjang, setelah Kepala Badan Intelijen Negara memberikan informasi yang ganjil kepada DPR dan aparat pemerintah.
Saya sedih, bukan hanya karena Sidney pergi. Dengan mudah diketahui bahwa yang rugi adalah Indonesia sendiri. ICG bukanlah sebuah lembaga yang sepele. Organisasi bukan-pemerintah yang bersifat multinasional ini berkantor di lima benua, dengan anggota dewan yang terdiri dari empat mantan presiden (antara lain Fidel Ramos dari Filipina), empat mantan perdana menteri, antara lain dari Belanda, India, dan Tanzania, delapan mantan menteri luar negeri (antara lain Gareth Evans dari Australia yang menjadi presiden direkturnya), seorang pemenang Hadiah Nobel, sejumlah duta besar dan pejabat tinggi dan anggota parlemen, baik dari AS, Kuwait, maupun Turki. Didirikan untuk memantau terjadinya konflik dan kekerasan di sebuah wilayahdengan membuat penelitian lapangan dan menulis laporan untuk para pengambil keputusan di dunia, untuk mencegah meluasnya krisis ituhasil kerja ICG disiarkan terbuka.
Tindakan terhadap Sidney adalah sebuah tanda, bagaimana Indonesia kembali gelapjustru ketika perkembangan demokrasinya disambut hangat di mana-mana. The Economist, misalnya, ketika menulis tentang proses demokrasi di Asia sebagai "mukjizat yang lain lagi", mengomentari hasil Pemilu 2004 dengan kata-kata: Indonesia is one bright example. Kini apa yang akan tampak dari contoh yang gemilang ini? Jawabnya: gerak kembali ke ketertutupan dan tindakan yang sewenang-wenang.
Indonesia juga terpukul di persoalan informasi. Di mana ada satu informasi yang dikekang, di sana ada 100 informasi lain yang tak lagi dipercayai. Indonesia kini perlu dunia mempercayai informasi yang disiarkannya ke luar. Tapi tindakan terhadap Sidney Jones adalah ibarat menembak jari tangan sendiri. Kita tak bisa lagi menunjuk, dengan meyakinkan mana yang benar dan mana yang keliru.
Apa boleh buat. Rupanya ada selalu orang-orang yang berkata, "untuk sang Merah Putih", tapi yang mereka lakukan adalah mencoreng muka kita bersama.
Den Haag, 1 Juni 2004
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo