SAYA ingin mengucapkan selamat berpisah kepada gerakan yang kocak ini,"katanya. Dengan kemeja merah, yang sebagian tertutup jubah berwarna keemasan,Muammar Qadhafi berdiri di mimbar. Wajahnya gilang-gemilang. Di hadapannya duduk para pemimpin dari pelbagai negeri yang tergabung dalam gerakan "nonblok". Mungkin sebagian mereka setengah mengantuk, jemu, atau kesal. Sebagian mungkin tersenyum kecil, geli, atau kagum. Atau cuma sibuk memikirkan apa yang akan mereka sendiri pidatokan nanti, setelah Qadhafi. "Selamat tinggal pada kepalsuan yang begitu parah!" kata Qadhafi lagi. Lalu ia berdiam diri sejenak, memberi kesempatan kepada empat wanita Libya yang duduk di pinggir ruangan sidang untuk meneriakkan, "Jamahirya!" dan "Ganyang Amerika!". Itu terjadi di bulan September 1986 di Harare, Zimbabwe. Itu tak akan terjadi di bulan September 1992 di Jakarta, Indonesia. Qadhafi yang memakai bajumerah, aktor pentas politik yang terhebat dewasa ini, tak akan datang. Sayatak tahu sudahkah konferensi para pemimpin negeri berubah sifatnya, dari sebuah teater menjadi sesuatu yang lain. Begitu Qadhafi selesai pidato dan turun mimbar, kepala pemerintahan Zimbabwe, Robert Mugabe, yang memimpin sidang, berkata: "After we had our fun, let's goback to business." Bisakah kini juga kita mengatakan bahwa yang merupakan fun w atraksi yang lucu, adegan yang menarik, pribadi-pribadi yang warna-warni wtelah habis, dan kini tinggal soal business, yang berarti urusan yang rinci dan kering, bukan cuma sebuah pentas? Mungkin tak bisa sepenuhnya. Dan tak harus demikian. Business sebuah konferensi puncak meniscayakan unsur panggung. Di abad ke-15 Eropa, pertemuan antara dua raja biasanya dilangsungkan di atas sebuah jembatan. Keduanyaberdialog lewat sebuah penyekat kayu jati yang tebal. Konon karena orang khawatir: jangan-jangan para baginda itu tiba-tiba memutuskan untuk saling menculik. Tapi ini juga sebuah tanda tentang mustahilnya sikap salingmempercayai antara dua kekuasaan. Sebab pada tingkat itu, percakapan selalu bisa mengandung siasat, yang satu untuk mengecoh yang lain. Maka yang perlu bukanlah ketulusan hati. Yang perlu ialah kehadiran, penampilan, dengan sederet kata-kata. Orang Indonesia menyebutnya "sandiwara", tetapi kata "teater" lebih tepat. Tidak sebagaimana"sandiwara", kata "teater" kurang mengandung konotasi mencemooh. Dan teater itu perlu. Dan teater memerlukan perlengkapan panggung: jembatan dan penyekat kayu itu, bendera, karpet merah, mobil mentereng, gedung megah. Di tahun 1985, Presiden Reagan bertemu dengan Presiden Gorbachev di sebuah kamar tertutup, di depan api pendiangan, di Chateau Fleur d'Eau, milik keluarga Aga Khan di Jenewa. Tak ada menteri, tak ada pejabat lain, tak ada wartawan. Tetapi keberduaan itu juga sebuah teater, dan api pendiangan itu juga sebagian dari dekor: untuk mengesankan suasana intim, saling berbagi rasahangat di hari yang dingin. Seorang juru potret diperbolehkan menyiarkan kejadian "menyendiri" itu ke seluruh dunia. Foto, televisi, radio, pers, poster. Semua perlu. Apalagi ini memang zaman kemenangan "imagologi", seperti yang dikatakan Milan Kundera: zaman ketika ideologi telah kalah oleh realitas dan realitas kalah oleh citra. Apa yang disorotkan ke khalayak ramai w oleh para juru kamera, petugas humas, ahli iklan, para pendesain busana dan tata rias, orang media massa w menjadi bukanmain penting dalam masyarakat ramai, di dalam batas nasional ataupun di luarnya. Qadhafi (pada saat ia kesal) mengecam gerakan nonblok sebagai gerakan yang "kocak" dan penuh "kepalsuan". Tapi dengan cara tampilnya ia toh membuktikan bahwa ia sendiri tahu apa perlunya anasir "kocak" dan "palsu"di sana-sini. Ada seorang duta besar negara Asia yang menyaksikan adegan Qadhafi di sidang di Harare itu dan membisikkan kepada saya bahwa ia lihat bahwa sang orator dari Libya memakai lipstik. Kita tidak usah tertawa. Apalagi "imagologi" tak hanya berperan di konferensi puncak. Di PBB, di Dewan Keamanan, para utusan Amerika Serikat, Inggris, Prancis, Rusia, dan Cina juga "mengecat" diri mereka dengan carayang lain. Mereka mencoba mejeng sebagai kekuatan utama yang sah dari dunia hari ini, sementara mereka adalah makhluk tua dari masa setelah Perang Dunia II. Amerika dan Rusia masih menampilkan diri sebagai superkuat, sementara kita tahu apa yang terjadi. Rusia rudin. Dan Amerika? Ekonominya tumbuh dengan 0,6% per tahun sementara penduduknya naik satu persen, dan tenaganya melemah dengan jelas, dan Prof David P. Calleo menulis dalam Beyond American Hegemony: "Kegagalan dan kemerosotan di dalam negeri akan harus diselubungi dengan pernyataan yangmakin lama makin menggebu tentang kekuatan militer dan ekonomi di luar negeri."Teater, sekali lagi teater. Goenawan Mohamad.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini