DI tahun 1813 Thomas Stamford Raffles telah mnenyatakan niatnya
menulis sebuah buku tentang Jawa. Hasilnya kemudian sebuah karya
klasik yang termasyhur, yang mula-mula disusunnya di Cisarua dan
akhirnya rampung di London: The History of Java.
Buku tebal itu bukan sebuah buku sejarah yang obyektif, tentu.
Raffles jelas menunjukkan sikap membela prestasinya sendiri.
Sebagai penguasa Inggris di Jawa di dasawarsa awal abad ke-19 ia
hendak memperlihatkan bagaimana berbedanya sikapnya memerintah
dengan sikap kolonial orang Belanda.
Ia beberapa kali mengecam pemerintahan Belanda yang mengisap
rakyat pribumi. Ia mengisahkan bagaimana orang Belanda selalu
pergi dengan dikawal dan mengunci rumahnya ketakutan. Ia
mengutip laporan dari Jepara di tahun 1812 yang ditulis Residen
Belanda Dornick, untuk menunjukkan betapa buruknya persangkaan
si pejabat kepada rakyat pribumi. Orang Jawa menurut Dornick,
"pengecut, culas, keji dan cenderung merampok serta membunuh,
ketimbang bekerja . . .' . Raffles tak setuju itu.
Namun Jawa yang dibawahkan Raffles memang sebuah wilayah dengan
sejarah yang penuh dengan sikap penguasa yang menghina hamba
sahayanya, rakyat. Bahkan Raffles sendiri, meskipun berusaha
menunjukkan penghargaan kepada orang pribumi, mengakui itu.
Raffles menulis bagaimana despotisme di Pulau Jawa berlaku:
"sang despor adalah si pemilik, selebihnya adalah miliknya."
Ia mengutip laporan Hogendorp, seorang Belanda yang tinggal di
wilayah ini sebelum datangnya orang Inggris.
Bagi Hogendorp, pemerintahan di Jawa yang dijalankan oleh para
bupati yang digaji pemerintah kolonial adalah "salah". Sistem
itu melahirkan banyak "tindakan ketidak adilan", dan ia pasti
akan "menghancurkan negeri ini". Hogendorp melihat, bagaimana
para bupatipada umumnya "orang-orang yang tak tahu apa-apa serta
tak banyak kerja," dan tak peduli benar akan tanah dan rakyat
mereka. Mereka cuma "berusaha memeras dan menyedot
sebanyak-banyaknya dari rakyat, baik untuk kebutuhan dan
kenikmatan mereka sendiri, maupun untuk memuaskan gubernemen dan
alasan mereka yang langsung".
Dalam keadaan macam itu, apa yang dapat menyelamatkan situasi?
Raffles cuma melihat satu hal -- letaknya di kepala.
"Satu-satunya pengekang kehendak pucuk pemerintahan adalah adat
istiadat negeri ini." Dalam adat itu seorang raja harus berbuat
baik -- dan Raffles mengutip cukup panjang bagian-bagian yang
menarik dari kitab kuno Niti Praja.
Dalam kitab ini disebutkan, bahwa seorang raja yang baik harus
"melindungi rakyatnya dari semua tuntutan yang tak adil dan dari
penindasan". Kebaikan sang raja harus "mengalir jernih dan
penuh, bagaikan alir sungai pegunungan, yang dalam berjalan
menuju laut, menyuburkan tanah yang dituruninya".
Seorang raja, demikian petuah Niti Praja, adalah ibarat dalang.
Seperti dalang di depan penontonnya, raja harus memperlihatkan
keadilan, agar hal itu jadi ajaran bagi rakyat. Demikianlah
rakyat "harus tahu bahwa si bersalah dihukum dan yang tak
berdosa tak ditindak, bahwa semua orang yang didakwa secara tak
benar harus dibebaskan."
BAGI seorang liberal seperti Thomas Stamford Raffles, apa yang
tercantum dalam Niti Praja itu tentulah menggugah hatinya. Namun
Niti Praja bagaimanapun hanya sebuah manuskrip. Ia hanya sebuah
ajaran moral. Jika raja dan para bupati tak mematuhinya, seperti
yang ternyata terjadi di dalam sejarah, apa daya?
Mungkin Raffles lupa bahwa Jawa tak sama dengan Inggris. Nun di
sana, raja tak bisa lagi sewenang-wenang bukan karena hukum yang
tak tertulis, tapi karena telah datang kekuatan baru: orang
kota, para saudagar, yang bisa berdiri di atas kaki sendiri
dengan kekuatan ekonomi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini