Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Genjatan senjata di tambakberas?

Kemelut di NU, seputar pengunduran Idham Chalid sebagai ketua umum dan kemudian pencabutannya kembali. sejarah lahirnya NU. Profil Idham Chalid.(nas)

4 September 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

APA yang sebenarnya terjadi di NU? Kian hari pertanyaan ini kian bergema setelah beberapa bulan kemelut dalam NU tak kunjung reda. "Perang" pernyataan -- juga antara ulama, yang mungkin baru kali ini terjadi tampaknya makin tak mendekatkan penyelesaian. Sebagian orang lalu menjadi kecewa pada organisasi yang lahir pada 1926 dan diberi nama Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama) ini. Warga NU sendiri banyak yang "malu" dengan pertikaian ini. "Ulama bertarung dengan ulama, ini bukan kepribadian NU," ujar Karmani, Ketua Pimpinan Wilayah NU Ja-Teng. Kemelut yang "bukan kepribadian NU" ini sekarang berpusar sekitar pengunduran diri Ketua Umum PB NU (Tanfidziah) KH Idharn Chalid. Namun api pertikaian sebenarnya mulai terpercik tahun lalu, tatkala daftar calon anggota DPR untuk Pemilu 1982 disusun. Banyak warga NU, terutama kalangan ulama, yang gusar karena tergesernya beberapa calon NU, antara lain Jusuf Hasjim, Imran Rosyadi, Saifuddin Zuhri, Chalik Ali dan Rachmat Muljomiseno. Idham Chalid, yang juga Presiden PPP, dituduh kurang gigih -- bahkan dianggap tidak berbuat banyak untuk membela mereka. Idham juga dianggap terlalu bersikap mengalah pada MI (Muslimin Indonesia) dalam penyusunan daftar calon tersebut. Maka penampilan Idham sebagai Ketua Umum pun makin disorot. Dafar keluhan tentang dirinya makin menebal. Misalnya: bertahun-tahun Idham tidak pernah muncul di kantor PB NU. Surat-surat harus dibawa ke rumahnya untuk ditandatangani. "Program dasar 5 Tahun pengembangan NU yang diputuskan Muktamar Semarang sama sekali belum dilaksanakan Idham Chalid," kata Sekjen PB NU H.M Moenasir. Sebagai Ketua Umum, Idham Chaiid juga tidak pernah secara rutin menyelenggarakan rapat membahas perkembangan NU. Masalah sehari-hari yang merugikan NU, misalnya pengalihan kekayaan NU berupa madrasah, rumah yatim wakaf, rumah sakit dan lain-lain ke pihak lain dibiarkan saja oleh Idham. Kekecewaan itu rupanya ditampung beberapa tokoh ulama NU. Pada 1 Mei 1982 di rumah H.A. Mudjib Ridwan di Surabaya, diadakan pertemuan yang dihadiri KH Ali Ma'shum, KH As'ad Syamsul Arifin, KH Machrus Ali dan KH Achmad Siddiq. "Dalam pertemuan itu kami semua mengemukakan isi hati masing-masing," cerita Kiai As'ad. Berbagai keluhan pengurus NU terhadap kepemimpinan Idham Chalid dibahas. Dibicarakan juga keadaan fisik Idham serta kekurangperhatiannya sebagai pengemban amanat muktamar. Disimpulkan: Idham dianggap tidak mungkin lagi melaksanakan tugas sebagai Ketua Umum PB NU. Jika hal ini dibiarkan terus akan semakin merugikan jamiyah NU. Singkat cerita, pertemuan itu memutuskan akan meminta dengan hormat dan penuh keikhlasan supaya KH Idham Chalid menyerahkan jabatan Ketua Umum PB NU kepada Rais Aam, yang dengan bantuan para ulama terkemuka lainnya akan menentukan pejabat baru sebagai penggantinya. Disepakati juga untuk membawa hasil pertemuan itu pada Idham Chalid. Esoknya, dalam perjalanan dengan pesawat terbang, di antara para kiai itu terbetik pertanyaan: bagaimana kalau Idham memilih mundur? Kiai As'ad kemudian menyuruh Mudjib Ridwan menyusun konsep, yang setiba di Jakarta lalu diketik di rumah KH Masjkur. Kiai As'ad, Ali Ma'shum, Machrus Ali diantar Masjkur kemudian datang ke rumah Idham Chalid di Jalan Mangunsarkoro, Jakarta Pusat. Atas pertanyaan para ulama, Idham menyatakan tidak dapat menyelesaikan masalah karena sakit. "Lha, kalau tidak dapat menyelesaikan masalah, mengapa tidak diserahkan saja pada orang lain?", Masjkur menirukan ucapan para kiai waktu itu. IDHAM lantas menyatakan: kebetulan para kiai datang ke rumahnya, sebab sebetulnya ia sudah beberapa kali ingin menyerahkan jabatannya "karena, tidak kuat lagi". Ia juga menceritakan tentang penyakitnya dan rencana operasinya. Konsep pengunduran diri itu lalu disodorkan kepada Idham. "Pak Idham tampak senang dan gembira, malah menambah kata-kata dengan tulisan tangan pada teks pernyataan tersebut," cerita Kiai Ali Ma'shum. Menurut Masjkur, dalam pembicaraan itu Idham beberapa kali menyebut ikhlas menyerahkan jabatannya. "Dalam masyarakat Islam, khususnya NU bila seseorang menyatakan ikhlas dianggap benar-benar bersih dari hati, nurani. Sampai waktu itu ada kiai yang menangis mendengar pernyataan keikhlasan Idham itu ," ujarnya. Surat pernyataan itu lalu ditandatangani Idham serta para kiai tersebut. Untuk mencegah. kemungkinan salahpaham, disepakati untuk mengumumkan pernyataan itu sampai 6 Mei, sehabis pemilu. Pengunduran diri Idham ternyata menimbulkan gelombang heboh. Banyak yang kaget, terutama para pendukung Idham. Anggota DPR dan Ketua Umum GP Ansor Chalid Mawardi menganggap pengunduran itu "klimaks usaha untuk mendongkel Idham Chalid dari kedudukannya yang strategis". Anggota DPR Amin Iskandar selain memprotes malahan menuduh para kiai itu melakukan "kudeta" terhadap Idham Chalid. Pro dan kontra tentang sah atau tidaknya pengunduran diri itu pun menjadi-jadi. Belum lagi hal ini reda, guncangan baru menyusul: pada 14 Mei Idham Chalid mengeluarkan pernyataan pencabutan pengunduran dirinya. Alasannya: adanya protes 17 wilayah atas pengunduran dirinya, "ditambah hal-hal lain yang menyangkut kemaslahatan Jamiyah NU". Disinggungnya juga tentang kemungkinan adanya latar belakang lain, disamping alasan kesehatannya, yang mendorong para kiai itu meminta pengunduran dirinya. Apa sebenarnya latar belakang itu tak pernah jelas benar. Beberapa sumber dari kubu Idham menyatakan: ada "unsur luar" yang mendalangi usaha para kiai mendesak Idham mundur. Tujuannya: menghilangkan peluang Idham Chalid sebagai calon Wakil Presiden dalam Sidang Umum MPR yang akan datang. Pernyataan pencabutan pengunduran diri itu yang ditulis tangan oleh Idham sendiri -- dibagikan Amin Iskandar pada, para wartawan di DPR. Menurut Amin, kecuali desakan wilayah, banyak kiai yang marah karena Idham mundur tanpa berkonsultasi dengan mereka lebih dulu. "Selain itu kesehatan Pak Idham sudah pulih kembali, sehingga alasan pengunduran diri itu juga tak berlaku lagi," katanya. Idham juga mengirimkan surat pencabutan itu kepada Rais Aam Kiai Ali Ma'shum. "Saya yang mengantarkan surat itu ke Yogya," kata KH Usman Abidin, 66 tahun, Mustazar (Penasihat) PB Syuriah NU. Surat itu diserahkan 14 Mei itu juga. Usman Abidin berpendapat, surat pengunduran diri itu ditandatangani Idham Chalid "hanya untuk menghormati keempat kiai tersebut". Pengunduran itu dinilainya tidak sah karena jabatan ketua umum bukan milik Idham Chalid, tetapi milik muktamar," hingga Idham tidak berhak menyerahkannya kepada orang lain. "Dan tentang alasan sakit, Brezhnev lebih sakit. Tapi dia tetap bisa memimpin Rusia beserta sekutunya," kata Usman. Kalau toh alasan sakit itu benar, menurut tata-tertib jabatan Idham harus dijalankan oleh Wakil Ketua Umum. Para kiai yang menjadi saksi pengunduran diri Idham kaget, terlebih lagi setelah mendengar tuduhan mereka "didalangi" unsur luar. "Saya anggap tuduhan itu penghianatan terhadap ulama. Semua itu kami lakukan agar jamiyah bisa berjalan," tegas Kiai Ali Ma'shum pada TEMPO dua pekan lalu. Mereka juga bertanya-tanya, apa sebenarnya motif Idham Chalid mencabut pengunduran dirinya. "Barangkali didorong oleh orang-orang disekitarnya yang hidup matinya tergantung pada Pak Idham," kata KH Masjkur. Wakil Ketua DPR ini juga menceritakan, pengunduran diri Idham pernah dibicarakannya dengan Presiden Soeharto ketika ia berpamitan hendak operasi mata di luar negeri. "Ketika itu Pak Harto menyatakan hal itu baik. Malah Pak Harto mengatakan, ulama itu kan bisa dianggap sebagai guru dan orang tua. Jadi harus ditaati," demikian Masjkur. Keheranan para kiai itu agaknya beralasan, karena pada 13 Mei, sehari sebelum pencabutan pengunduran dirinya Idham menyatakan pada KH Saifuddin Zuhri bahwa ia tidak merasa dipaksa oleh KH Ali Ma'shum dkk. untuk mengundurkan diri. Sebab "mereka adalah guru-guru saya dan pendukung saya," kata Idham, seperti dikisahkan Saifuddin pada TEMPO Senin lalu. "Bahkan Idham gembira atas prakarsa para kiai itu hingga ada jalan untuk mengundurkan diri, yang sejak lama diingininya." Saifuddin sempat menanyakan kemungkinan Idham menarik kembali pengunduran dirinya. Menurut bekas Menteri Agama ini, dengan penuh ekspresi Idham menjawab: "Itu tak mungkin saya lakukan. Mau ditaruh di mana muka saya?". Bahwa kemudian Idham mencabut kembali pengundurannya, Saifuddin tidak tahu sebabnya. "Yang bisa menjawab cuma Pak Idham," katanya. Jadi sekali lagi kembali pada pertanyaan: Mengapa? Terhadap pernyataan ini, pada TEMPO pekan lalu Idham Chalid menjawab "Sesungguhnya mengenai masalah itu sampeyan sendiri kan sudah banyak tahu. Misalnya, kan ada desakan dari sejumlah wilayah dan cabang-cabang kepada saya". Pengunduran diri Idham dan pencabutan kembalinya ternyata benar-benar mengakibatkan kemelut yang paling parah dalam sejarah NU. Rapat pleno PB NU untuk menyelesaikan masalah ini tak pernah bisa terselenggara. Rapat harian PB Syuriah yang diselenggarakan di rumah Idham Chalid yang di Cipete, Jakarta Selatan pada 16 Mei juga tak memecahkan perkara ini. Sedang rapat pleno PB Syuriah yang direncanakan setelah Lebaran juga tak pernah terlaksana. Dari luar, NU tampak seperti terbelah dalam dua kubu: kelompok Idham Chalid yang sebagian besar politisi NU dan ulama. Berbagai pernyataan dukungan pun kemudian bermunculan, membuat keadaan makin semrawut. Selama lebih 2 bulan, sejak Mei, situasi menjadi tidak menentu. Kedua kubu tetap bertahan pada pendapat masing-masing. Buat para ulama, pengunduran Idham Chalid dianggap sah, hingga masalahnya sudah selesai. Sedang Idham dkk juga menganggap dengan pencabutan pengunduran diri, masalahnya juga sudah selesai. Tinggal masyarakat yang bingung oleh berbagai tingkah itu. 14 Agustus lalu, muncul suatu seruan PB NU. Yang menarik: adanya tanda tangan Rais Aam KH Ali Ma'shum sebagai Pemangku Jabatan Ketua Umum (TEMPO, 21 Agustus 1982). "Umpan" Kiai Ma'shum ternyata mendapat sambutan. Dari kubu Idham Chalid keluar pernyataan, antara lain dari Amin Iskandar, mengungkapkan rencana mengadakan Muktamar Luar Biasa di sekitar Desember yang akan datang. Amin yakin, Idham Chalid akan terpilih kembali karena lebih separuh wilayah dan cabang mendukungnya (TEMPO, 28 Agustus). Betulkah? Menurut Anggaran Dasar NU, Muktamar Luar Biasa bisa diadakan bila Pengurus Besar memandang perlu, atau atas permintaan dua pertiga cabang dari dua pertiga jumlah wilayah. Saat ini NU memiliki 26 wilayah dan lebih 200 cabang. Dukungan pada Idham terutama datang dari luar Jawa, yang jumlah cabangnya memang jauh lebih banyak dibanding Jawa, sekalipun jumlah anggotanya lebih sedikit. Menurut Sekjen PB NU H.M. Moenasir, prosedur penyelenggaraan muktamar luar biasa mula-mula cabang dan wilayah mengirim usul muktamar itu dengan masalah pokok yang dibicarakan. PB kemudian menyelenggarakan rapat pleno membicarakan materi persoalan, waktu, tempat dan anggaran. "Tapi sampai sekarang kok rasanya sulit untuk menyelenggarakan rapat pleno PB NU," kata Moenasir. Pihak ulama tampaknya memang tidak ingin ada muktamar luar biasa hanya untuk menyelesaikan masalah Idham Chalid. "Kalau sekarang dipaksakan ada muktamar, kemungkinan adanya campur tangan pihak luar sangat besar," ujar Moenasir. Ia menolak menyebut siapa "pihak luar" itu. Para ulama agaknya juga menentang adanya muktamar karena saat ini NU belum sepenuhnya melepaskan diri dari politik dan kembali menjadi organisasi sosial keagamaan. Mereka khawatir, suatu muktamar menjelang SU MPR akan lebih menjerumuskan organisasi ini dalam politik. Misalnya: dimunculkannya calon pimpinan yang bukan "berkepribadian NU". Kelihatannya pihak ulama ingin mempertahankan status-quo -- Ali Ma'shum sebagai Pemangku Jabatan Ketua Umum -- terutama pada saat "gawat" seperti SU MPR, untuk mempertahankan integritas NU. Sebuah sumber TEMPO mengatakan, pihak pemerintah agaknya ingin terus melihat kepemimpinan Idham Chalid -- setidaknya sampai SU MPR nanti -- agar "stabilitas dan pembangunan tidak terganggu". Idham diharapkan juga bisa mencegah munculnya "orang-orang ekstrim" dalam NU. Menilik sikap keras para ulama, tampaknya sulit menyelenggarakan suatu muktamar luar biasa, kecuali bila para ulama ditinggalkan. Menurut Anggaran Dasar, dan juga tradisi NU, kedudukan Syuriah -- yang pada saat ini "dikuasai" penentang Idham -- sangat kuat dan merupakan pimpinan tertinggi. Para ulama rupanya menyadari kekuatan mereka. Itu tercermin pada sikap Kiai Ali Ma'shum: "Biarlah mereka mengadakan muktamar. Apalah artinya muktamar tanpa ulama?" Penyelesaian lewat muktamar tampaknya juga kurang berkenan pada sejumlah wilayah. Ada yang kecewa, bahkan malu, atas terjadinya pertikaian "tingkat atas" ini. "Warga NU di daerah prihatin dan juga gusar. Maslalahnya kan masih bisa diselesaikan dengan jiwa ke-NU-an oleh para tokoh besar NU yang sedang konflik di pusat itu," kata Ketua NU Wilayah Sumatera Selatan Taufiq Abdullah Gathmyr. Taufiq menyesalkan banyaknya tokoh NU, yang demi kepentingan pribadi selalu "main politik-politikan". Jalan keluar dari kemelut ini menurut pendapatnya: para tokoh yang bersengketa hendaknya mengadakan musyawarah untuk mufakat. "Hingga eksistensi NU dapat ditegakkan kembali," katanya. Wilayah Jawa Timur, yang merupakan basis utama NU, mengambil sikap: menyerahkan penyelesaian masalah itu kepada PB NU. "Apa pun yang diputuskan PB NU kami akan tunduk," kata KH Abdullah Siddiq, KetuaWilayah NU Ja-Tim. Ia juga menghimbau pada Idham Chalid dan Ali Ma'shum untuk segera menyelesaikan masalah itu di tingkat PB NU. Melibatkan wilayah dan cabang, misalnya dengan mengadakan muktamar, dianggapnya akan memperuncing masalah dan membuat perpecahan. H. Syaiful Mujab, Ketua Wilayah NU Dl Yogyakarta juga menginginkan penyelesaian kasus ini "secara baik-baik" oleh para pemimpin NU tingkat nasional yakni PB Syuriah dan Tanfi.lziah. "Saya tidak akan mengeluarkan pernyataan dukung-dukungan," katanya. Himbauan serupa juga dinyatakan NU Wilayah Sulawesi Selatan. Dalam pernyataan tertanggal 14 Mei, mereka mengharapkan masalah ini diendapkan sampai muktamar, dan mengharapkan kebesaran pihak-pihak yang bersengketa untuk mendapatkan kata sepakat. Namun mereka juga setuju dipercepatnya muktamar atau konperensi besar untuk menangani masalah-masalah organisasi. Idham Chalid sendiri tampaknya juga mengharapkan penyelesaian lewat musyawarah. Ditanya pendapatnya tentang cara penyelesaian kemelut NU ini, ia mengatakan "Sesungguhnya, sekarang ini saya mengharapkan adanya cooling off period dulu. Kalau ada tenggang waktu yang tenang, dan kemudian masing-masing bisa bertemu dan berbicara, Insya Allah semua itu bisa diselesaikan". Namun kemudian ditambahkannya: penyelesaian lebih baik diserahkan pada umat. "Kita sesungguhnya tidak perlu khawatir untuk segera menyelenggarakan muktamar," tuturnya. Minggu malam lalu, Idham Chalid turut hadir dalam peringatan 10 tahun meninggalnya KH Wahab Chasbullah salah satu pendiri NU yang pernah menjabat Rais Aam NU, di Pesantren Tambakberas, Jombang, Jawa Timur. Timbul spekulasi akan ada penyelesaian kemelut NU lewat musyawarah, karena waktu itu hadir juga KH Ali Ma'shum dan KH Machrus Ali. Dalam acara itu Idham Chalid dan Ali Ma'shum duduk berdampingan, di deretan paling depan. KH Tolhah Mansur, cucu menantu almarhum KH Wahab Chasbullah yang kini memimpin Pesantren Bahrul Ulum Tambakberas, tampil berbicara atas nama keluarga. Tolhah mengajak agar pertemuan itu bisa membawa manfaat dan menghilangkan saling curiga. "Kalau ada persoalan yang menyangkut tubuh kepemimpinan NU supaya diselesaikan dengan cara kepribadian NU, dengan meletakkan ulama pada organ tertinggi," katanya. Idham Chalid yang kemudian berbicara tanpa disebutkan jabatannya, hanya menguraikan kepribadian dan kebaikan almarhum Wahab Chasbullah. Sedang Ali Ma'shum, yang juga tak disebut jabatannya, menyinggung pula masalah kepemimpinan. "Kalau jadi pemimpin harus benar dalam ucapan, tindakan dan kebijaksanaan. Tidak boleh pagi-sore," ujarnya. KH Idham Chalid dan KH Machrus Ali seusai acara terlihat berbicara berdua sekitar 15 menit. Ternyata masalah kemelut NU tak disinggung. Kiai Machrus berbicara pada Idham dalam kedudukannya sebagai Ketua DPA. "Saya berbicara mengenai masalah pemurnian Pancasila yang harus berlandaskan agama," tutur KH Machrus Ali. Rais Aam KH Ali Ma'shum yang kelihatan berbicara dengan Idham Chalid selagi duduk berjejer, dan berpelukan setelah acara selesai, juga tak membicarakan perbedaan pendapat mereka. "Untuk apa dibicarakan? Kalau dibicarakan, tak akan ada habis-habisnya," katanya lewat putranya Attabik Ali di Yogya, Senin lalu. Toh tampaknya titik terang penyelesaian kemelut sudah ada. Bagaimanapun kedua kubu yang berselisih itu tidak ingin NU retak. "Sejak pekan lalu saya lihat adanya usaha dari kalangan atas NU untuk menyelesaikan masalah itu, dengan cara sebaik-baiknya dan sejernih-jernihnya," kata Khatib II PB Syuriah Rodli Shaleh. Ia menolak menjelaskan lebih jauh. Agaknya caranya lewat suatu musyawarah yang juga dihadiri beberapa ulama ahli (ahlul halli wal 'aqdi). Pihak mana yang bakal "menang"? "Istilah menang atau kalah tidak ada dalam kamus ulama. Yang ada ialah mana yang benar dan mana yang salah," ujar Rodli Shaleh. Nampaknya sclama peringatan Khaul di pesantren Tambakberas itulah terjadi semacam "genjatan senjata" antara dua pihak yang bersengketa. Sampai kapan itulah soalnya. Ada yang bilang, sampai bulan Maret tahun depan, menunggu selesainya SU MPR.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus