APA yang sebenarnya terjadi di NU? Kian hari pertanyaan ini kian
bergema setelah beberapa bulan kemelut dalam NU tak kunjung
reda. "Perang" pernyataan -- juga antara ulama, yang mungkin
baru kali ini terjadi tampaknya makin tak mendekatkan
penyelesaian.
Sebagian orang lalu menjadi kecewa pada organisasi yang lahir
pada 1926 dan diberi nama Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama)
ini. Warga NU sendiri banyak yang "malu" dengan pertikaian ini.
"Ulama bertarung dengan ulama, ini bukan kepribadian NU," ujar
Karmani, Ketua Pimpinan Wilayah NU Ja-Teng.
Kemelut yang "bukan kepribadian NU" ini sekarang berpusar
sekitar pengunduran diri Ketua Umum PB NU (Tanfidziah) KH Idharn
Chalid. Namun api pertikaian sebenarnya mulai terpercik tahun
lalu, tatkala daftar calon anggota DPR untuk Pemilu 1982
disusun.
Banyak warga NU, terutama kalangan ulama, yang gusar karena
tergesernya beberapa calon NU, antara lain Jusuf Hasjim, Imran
Rosyadi, Saifuddin Zuhri, Chalik Ali dan Rachmat Muljomiseno.
Idham Chalid, yang juga Presiden PPP, dituduh kurang gigih --
bahkan dianggap tidak berbuat banyak untuk membela mereka. Idham
juga dianggap terlalu bersikap mengalah pada MI (Muslimin
Indonesia) dalam penyusunan daftar calon tersebut.
Maka penampilan Idham sebagai Ketua Umum pun makin disorot.
Dafar keluhan tentang dirinya makin menebal. Misalnya:
bertahun-tahun Idham tidak pernah muncul di kantor PB NU.
Surat-surat harus dibawa ke rumahnya untuk ditandatangani.
"Program dasar 5 Tahun pengembangan NU yang diputuskan Muktamar
Semarang sama sekali belum dilaksanakan Idham Chalid," kata
Sekjen PB NU H.M Moenasir.
Sebagai Ketua Umum, Idham Chaiid juga tidak pernah secara rutin
menyelenggarakan rapat membahas perkembangan NU. Masalah
sehari-hari yang merugikan NU, misalnya pengalihan kekayaan NU
berupa madrasah, rumah yatim wakaf, rumah sakit dan lain-lain ke
pihak lain dibiarkan saja oleh Idham.
Kekecewaan itu rupanya ditampung beberapa tokoh ulama NU. Pada 1
Mei 1982 di rumah H.A. Mudjib Ridwan di Surabaya, diadakan
pertemuan yang dihadiri KH Ali Ma'shum, KH As'ad Syamsul Arifin,
KH Machrus Ali dan KH Achmad Siddiq. "Dalam pertemuan itu kami
semua mengemukakan isi hati masing-masing," cerita Kiai As'ad.
Berbagai keluhan pengurus NU terhadap kepemimpinan Idham Chalid
dibahas. Dibicarakan juga keadaan fisik Idham serta
kekurangperhatiannya sebagai pengemban amanat muktamar.
Disimpulkan: Idham dianggap tidak mungkin lagi melaksanakan
tugas sebagai Ketua Umum PB NU. Jika hal ini dibiarkan terus
akan semakin merugikan jamiyah NU.
Singkat cerita, pertemuan itu memutuskan akan meminta dengan
hormat dan penuh keikhlasan supaya KH Idham Chalid menyerahkan
jabatan Ketua Umum PB NU kepada Rais Aam, yang dengan bantuan
para ulama terkemuka lainnya akan menentukan pejabat baru
sebagai penggantinya. Disepakati juga untuk membawa hasil
pertemuan itu pada Idham Chalid.
Esoknya, dalam perjalanan dengan pesawat terbang, di antara para
kiai itu terbetik pertanyaan: bagaimana kalau Idham memilih
mundur? Kiai As'ad kemudian menyuruh Mudjib Ridwan menyusun
konsep, yang setiba di Jakarta lalu diketik di rumah KH Masjkur.
Kiai As'ad, Ali Ma'shum, Machrus Ali diantar Masjkur kemudian
datang ke rumah Idham Chalid di Jalan Mangunsarkoro, Jakarta
Pusat. Atas pertanyaan para ulama, Idham menyatakan tidak dapat
menyelesaikan masalah karena sakit. "Lha, kalau tidak dapat
menyelesaikan masalah, mengapa tidak diserahkan saja pada orang
lain?", Masjkur menirukan ucapan para kiai waktu itu.
IDHAM lantas menyatakan: kebetulan para kiai datang ke rumahnya,
sebab sebetulnya ia sudah beberapa kali ingin menyerahkan
jabatannya "karena, tidak kuat lagi". Ia juga menceritakan
tentang penyakitnya dan rencana operasinya. Konsep pengunduran
diri itu lalu disodorkan kepada Idham. "Pak Idham tampak senang
dan gembira, malah menambah kata-kata dengan tulisan tangan pada
teks pernyataan tersebut," cerita Kiai Ali Ma'shum.
Menurut Masjkur, dalam pembicaraan itu Idham beberapa kali
menyebut ikhlas menyerahkan jabatannya. "Dalam masyarakat Islam,
khususnya NU bila seseorang menyatakan ikhlas dianggap
benar-benar bersih dari hati, nurani. Sampai waktu itu ada kiai
yang menangis mendengar pernyataan keikhlasan Idham itu ,"
ujarnya.
Surat pernyataan itu lalu ditandatangani Idham serta para kiai
tersebut. Untuk mencegah. kemungkinan salahpaham, disepakati
untuk mengumumkan pernyataan itu sampai 6 Mei, sehabis pemilu.
Pengunduran diri Idham ternyata menimbulkan gelombang heboh.
Banyak yang kaget, terutama para pendukung Idham. Anggota DPR
dan Ketua Umum GP Ansor Chalid Mawardi menganggap pengunduran
itu "klimaks usaha untuk mendongkel Idham Chalid dari
kedudukannya yang strategis". Anggota DPR Amin Iskandar selain
memprotes malahan menuduh para kiai itu melakukan "kudeta"
terhadap Idham Chalid.
Pro dan kontra tentang sah atau tidaknya pengunduran diri itu
pun menjadi-jadi. Belum lagi hal ini reda, guncangan baru
menyusul: pada 14 Mei Idham Chalid mengeluarkan pernyataan
pencabutan pengunduran dirinya. Alasannya: adanya protes 17
wilayah atas pengunduran dirinya, "ditambah hal-hal lain yang
menyangkut kemaslahatan Jamiyah NU". Disinggungnya juga tentang
kemungkinan adanya latar belakang lain, disamping alasan
kesehatannya, yang mendorong para kiai itu meminta pengunduran
dirinya.
Apa sebenarnya latar belakang itu tak pernah jelas benar.
Beberapa sumber dari kubu Idham menyatakan: ada "unsur luar"
yang mendalangi usaha para kiai mendesak Idham mundur.
Tujuannya: menghilangkan peluang Idham Chalid sebagai calon
Wakil Presiden dalam Sidang Umum MPR yang akan datang.
Pernyataan pencabutan pengunduran diri itu yang ditulis tangan
oleh Idham sendiri -- dibagikan Amin Iskandar pada, para
wartawan di DPR. Menurut Amin, kecuali desakan wilayah, banyak
kiai yang marah karena Idham mundur tanpa berkonsultasi dengan
mereka lebih dulu. "Selain itu kesehatan Pak Idham sudah pulih
kembali, sehingga alasan pengunduran diri itu juga tak berlaku
lagi," katanya.
Idham juga mengirimkan surat pencabutan itu kepada Rais Aam Kiai
Ali Ma'shum. "Saya yang mengantarkan surat itu ke Yogya," kata
KH Usman Abidin, 66 tahun, Mustazar (Penasihat) PB Syuriah NU.
Surat itu diserahkan 14 Mei itu juga.
Usman Abidin berpendapat, surat pengunduran diri itu
ditandatangani Idham Chalid "hanya untuk menghormati keempat
kiai tersebut". Pengunduran itu dinilainya tidak sah karena
jabatan ketua umum bukan milik Idham Chalid, tetapi milik
muktamar," hingga Idham tidak berhak menyerahkannya kepada orang
lain. "Dan tentang alasan sakit, Brezhnev lebih sakit. Tapi dia
tetap bisa memimpin Rusia beserta sekutunya," kata Usman. Kalau
toh alasan sakit itu benar, menurut tata-tertib jabatan Idham
harus dijalankan oleh Wakil Ketua Umum.
Para kiai yang menjadi saksi pengunduran diri Idham kaget,
terlebih lagi setelah mendengar tuduhan mereka "didalangi" unsur
luar. "Saya anggap tuduhan itu penghianatan terhadap ulama.
Semua itu kami lakukan agar jamiyah bisa berjalan," tegas Kiai
Ali Ma'shum pada TEMPO dua pekan lalu.
Mereka juga bertanya-tanya, apa sebenarnya motif Idham Chalid
mencabut pengunduran dirinya. "Barangkali didorong oleh
orang-orang disekitarnya yang hidup matinya tergantung pada Pak
Idham," kata KH Masjkur. Wakil Ketua DPR ini juga menceritakan,
pengunduran diri Idham pernah dibicarakannya dengan Presiden
Soeharto ketika ia berpamitan hendak operasi mata di luar
negeri. "Ketika itu Pak Harto menyatakan hal itu baik. Malah Pak
Harto mengatakan, ulama itu kan bisa dianggap sebagai guru dan
orang tua. Jadi harus ditaati," demikian Masjkur.
Keheranan para kiai itu agaknya beralasan, karena pada 13 Mei,
sehari sebelum pencabutan pengunduran dirinya Idham menyatakan
pada KH Saifuddin Zuhri bahwa ia tidak merasa dipaksa oleh KH
Ali Ma'shum dkk. untuk mengundurkan diri. Sebab "mereka adalah
guru-guru saya dan pendukung saya," kata Idham, seperti
dikisahkan Saifuddin pada TEMPO Senin lalu. "Bahkan Idham
gembira atas prakarsa para kiai itu hingga ada jalan untuk
mengundurkan diri, yang sejak lama diingininya."
Saifuddin sempat menanyakan kemungkinan Idham menarik kembali
pengunduran dirinya. Menurut bekas Menteri Agama ini, dengan
penuh ekspresi Idham menjawab: "Itu tak mungkin saya lakukan.
Mau ditaruh di mana muka saya?". Bahwa kemudian Idham mencabut
kembali pengundurannya, Saifuddin tidak tahu sebabnya. "Yang
bisa menjawab cuma Pak Idham," katanya.
Jadi sekali lagi kembali pada pertanyaan: Mengapa? Terhadap
pernyataan ini, pada TEMPO pekan lalu Idham Chalid menjawab
"Sesungguhnya mengenai masalah itu sampeyan sendiri kan sudah
banyak tahu. Misalnya, kan ada desakan dari sejumlah wilayah dan
cabang-cabang kepada saya".
Pengunduran diri Idham dan pencabutan kembalinya ternyata
benar-benar mengakibatkan kemelut yang paling parah dalam
sejarah NU. Rapat pleno PB NU untuk menyelesaikan masalah ini
tak pernah bisa terselenggara. Rapat harian PB Syuriah yang
diselenggarakan di rumah Idham Chalid yang di Cipete, Jakarta
Selatan pada 16 Mei juga tak memecahkan perkara ini. Sedang
rapat pleno PB Syuriah yang direncanakan setelah Lebaran juga
tak pernah terlaksana.
Dari luar, NU tampak seperti terbelah dalam dua kubu: kelompok
Idham Chalid yang sebagian besar politisi NU dan ulama. Berbagai
pernyataan dukungan pun kemudian bermunculan, membuat keadaan
makin semrawut. Selama lebih 2 bulan, sejak Mei, situasi menjadi
tidak menentu. Kedua kubu tetap bertahan pada pendapat
masing-masing. Buat para ulama, pengunduran Idham Chalid
dianggap sah, hingga masalahnya sudah selesai. Sedang Idham dkk
juga menganggap dengan pencabutan pengunduran diri, masalahnya
juga sudah selesai. Tinggal masyarakat yang bingung oleh
berbagai tingkah itu.
14 Agustus lalu, muncul suatu seruan PB NU. Yang menarik: adanya
tanda tangan Rais Aam KH Ali Ma'shum sebagai Pemangku Jabatan
Ketua Umum (TEMPO, 21 Agustus 1982).
"Umpan" Kiai Ma'shum ternyata mendapat sambutan. Dari kubu Idham
Chalid keluar pernyataan, antara lain dari Amin Iskandar,
mengungkapkan rencana mengadakan Muktamar Luar Biasa di sekitar
Desember yang akan datang. Amin yakin, Idham Chalid akan
terpilih kembali karena lebih separuh wilayah dan cabang
mendukungnya (TEMPO, 28 Agustus).
Betulkah? Menurut Anggaran Dasar NU, Muktamar Luar Biasa bisa
diadakan bila Pengurus Besar memandang perlu, atau atas
permintaan dua pertiga cabang dari dua pertiga jumlah wilayah.
Saat ini NU memiliki 26 wilayah dan lebih 200 cabang. Dukungan
pada Idham terutama datang dari luar Jawa, yang jumlah
cabangnya memang jauh lebih banyak dibanding Jawa, sekalipun
jumlah anggotanya lebih sedikit.
Menurut Sekjen PB NU H.M. Moenasir, prosedur penyelenggaraan
muktamar luar biasa mula-mula cabang dan wilayah mengirim usul
muktamar itu dengan masalah pokok yang dibicarakan. PB kemudian
menyelenggarakan rapat pleno membicarakan materi persoalan,
waktu, tempat dan anggaran. "Tapi sampai sekarang kok rasanya
sulit untuk menyelenggarakan rapat pleno PB NU," kata Moenasir.
Pihak ulama tampaknya memang tidak ingin ada muktamar luar biasa
hanya untuk menyelesaikan masalah Idham Chalid. "Kalau sekarang
dipaksakan ada muktamar, kemungkinan adanya campur tangan pihak
luar sangat besar," ujar Moenasir. Ia menolak menyebut siapa
"pihak luar" itu.
Para ulama agaknya juga menentang adanya muktamar karena saat
ini NU belum sepenuhnya melepaskan diri dari politik dan kembali
menjadi organisasi sosial keagamaan. Mereka khawatir, suatu
muktamar menjelang SU MPR akan lebih menjerumuskan organisasi
ini dalam politik. Misalnya: dimunculkannya calon pimpinan yang
bukan "berkepribadian NU". Kelihatannya pihak ulama ingin
mempertahankan status-quo -- Ali Ma'shum sebagai Pemangku
Jabatan Ketua Umum -- terutama pada saat "gawat" seperti SU MPR,
untuk mempertahankan integritas NU.
Sebuah sumber TEMPO mengatakan, pihak pemerintah agaknya ingin
terus melihat kepemimpinan Idham Chalid -- setidaknya sampai SU
MPR nanti -- agar "stabilitas dan pembangunan tidak terganggu".
Idham diharapkan juga bisa mencegah munculnya "orang-orang
ekstrim" dalam NU.
Menilik sikap keras para ulama, tampaknya sulit menyelenggarakan
suatu muktamar luar biasa, kecuali bila para ulama ditinggalkan.
Menurut Anggaran Dasar, dan juga tradisi NU, kedudukan Syuriah
-- yang pada saat ini "dikuasai" penentang Idham -- sangat kuat
dan merupakan pimpinan tertinggi. Para ulama rupanya menyadari
kekuatan mereka. Itu tercermin pada sikap Kiai Ali Ma'shum:
"Biarlah mereka mengadakan muktamar. Apalah artinya muktamar
tanpa ulama?"
Penyelesaian lewat muktamar tampaknya juga kurang berkenan pada
sejumlah wilayah. Ada yang kecewa, bahkan malu, atas terjadinya
pertikaian "tingkat atas" ini. "Warga NU di daerah prihatin dan
juga gusar. Maslalahnya kan masih bisa diselesaikan dengan jiwa
ke-NU-an oleh para tokoh besar NU yang sedang konflik di pusat
itu," kata Ketua NU Wilayah Sumatera Selatan Taufiq Abdullah
Gathmyr.
Taufiq menyesalkan banyaknya tokoh NU, yang demi kepentingan
pribadi selalu "main politik-politikan". Jalan keluar dari
kemelut ini menurut pendapatnya: para tokoh yang bersengketa
hendaknya mengadakan musyawarah untuk mufakat. "Hingga
eksistensi NU dapat ditegakkan kembali," katanya.
Wilayah Jawa Timur, yang merupakan basis utama NU, mengambil
sikap: menyerahkan penyelesaian masalah itu kepada PB NU. "Apa
pun yang diputuskan PB NU kami akan tunduk," kata KH Abdullah
Siddiq, KetuaWilayah NU Ja-Tim. Ia juga menghimbau pada Idham
Chalid dan Ali Ma'shum untuk segera menyelesaikan masalah itu di
tingkat PB NU. Melibatkan wilayah dan cabang, misalnya dengan
mengadakan muktamar, dianggapnya akan memperuncing masalah dan
membuat perpecahan.
H. Syaiful Mujab, Ketua Wilayah NU Dl Yogyakarta juga
menginginkan penyelesaian kasus ini "secara baik-baik" oleh para
pemimpin NU tingkat nasional yakni PB Syuriah dan Tanfi.lziah.
"Saya tidak akan mengeluarkan pernyataan dukung-dukungan,"
katanya.
Himbauan serupa juga dinyatakan NU Wilayah Sulawesi Selatan.
Dalam pernyataan tertanggal 14 Mei, mereka mengharapkan masalah
ini diendapkan sampai muktamar, dan mengharapkan kebesaran
pihak-pihak yang bersengketa untuk mendapatkan kata sepakat.
Namun mereka juga setuju dipercepatnya muktamar atau konperensi
besar untuk menangani masalah-masalah organisasi.
Idham Chalid sendiri tampaknya juga mengharapkan penyelesaian
lewat musyawarah. Ditanya pendapatnya tentang cara penyelesaian
kemelut NU ini, ia mengatakan "Sesungguhnya, sekarang ini saya
mengharapkan adanya cooling off period dulu. Kalau ada tenggang
waktu yang tenang, dan kemudian masing-masing bisa bertemu dan
berbicara, Insya Allah semua itu bisa diselesaikan". Namun
kemudian ditambahkannya: penyelesaian lebih baik diserahkan pada
umat. "Kita sesungguhnya tidak perlu khawatir untuk segera
menyelenggarakan muktamar," tuturnya.
Minggu malam lalu, Idham Chalid turut hadir dalam peringatan 10
tahun meninggalnya KH Wahab Chasbullah salah satu pendiri NU
yang pernah menjabat Rais Aam NU, di Pesantren Tambakberas,
Jombang, Jawa Timur. Timbul spekulasi akan ada penyelesaian
kemelut NU lewat musyawarah, karena waktu itu hadir juga KH Ali
Ma'shum dan KH Machrus Ali. Dalam acara itu Idham Chalid dan
Ali Ma'shum duduk berdampingan, di deretan paling depan.
KH Tolhah Mansur, cucu menantu almarhum KH Wahab Chasbullah yang
kini memimpin Pesantren Bahrul Ulum Tambakberas, tampil
berbicara atas nama keluarga. Tolhah mengajak agar pertemuan itu
bisa membawa manfaat dan menghilangkan saling curiga. "Kalau ada
persoalan yang menyangkut tubuh kepemimpinan NU supaya
diselesaikan dengan cara kepribadian NU, dengan meletakkan ulama
pada organ tertinggi," katanya.
Idham Chalid yang kemudian berbicara tanpa disebutkan
jabatannya, hanya menguraikan kepribadian dan kebaikan almarhum
Wahab Chasbullah. Sedang Ali Ma'shum, yang juga tak disebut
jabatannya, menyinggung pula masalah kepemimpinan. "Kalau jadi
pemimpin harus benar dalam ucapan, tindakan dan kebijaksanaan.
Tidak boleh pagi-sore," ujarnya.
KH Idham Chalid dan KH Machrus Ali seusai acara terlihat
berbicara berdua sekitar 15 menit. Ternyata masalah kemelut NU
tak disinggung. Kiai Machrus berbicara pada Idham dalam
kedudukannya sebagai Ketua DPA. "Saya berbicara mengenai masalah
pemurnian Pancasila yang harus berlandaskan agama," tutur KH
Machrus Ali.
Rais Aam KH Ali Ma'shum yang kelihatan berbicara dengan Idham
Chalid selagi duduk berjejer, dan berpelukan setelah acara
selesai, juga tak membicarakan perbedaan pendapat mereka. "Untuk
apa dibicarakan? Kalau dibicarakan, tak akan ada
habis-habisnya," katanya lewat putranya Attabik Ali di Yogya,
Senin lalu.
Toh tampaknya titik terang penyelesaian kemelut sudah ada.
Bagaimanapun kedua kubu yang berselisih itu tidak ingin NU
retak. "Sejak pekan lalu saya lihat adanya usaha dari kalangan
atas NU untuk menyelesaikan masalah itu, dengan cara
sebaik-baiknya dan sejernih-jernihnya," kata Khatib II PB
Syuriah Rodli Shaleh. Ia menolak menjelaskan lebih jauh.
Agaknya caranya lewat suatu musyawarah yang juga dihadiri
beberapa ulama ahli (ahlul halli wal 'aqdi). Pihak mana yang
bakal "menang"? "Istilah menang atau kalah tidak ada dalam kamus
ulama. Yang ada ialah mana yang benar dan mana yang salah," ujar
Rodli Shaleh.
Nampaknya sclama peringatan Khaul di pesantren Tambakberas
itulah terjadi semacam "genjatan senjata" antara dua pihak yang
bersengketa. Sampai kapan itulah soalnya. Ada yang bilang,
sampai bulan Maret tahun depan, menunggu selesainya SU MPR.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini