ADALAH sebuah kebijaksana yang dituturkan oleh seorang sopir
bis.
Pada suatu malam sopir bis antarkota itu membawa kendaraannya
menyeberangi sebuah sungai. Jembatan rusak dan semua kendaraan
harus mempergunakan jembatan darurat. Sebenarnya lumrah saja.
Tapi beberapa detik di malam yang hujan dan senyap itu sang
sopir ragu kuatkah jembatan ini?
Memang aneh. Entah sudah berapa kali ia melewati jembatan
darurat sepanjang riwayatnya tapi baru kali itu ia mendadak
ragu. Tapi cuma beberapa detik. Ia melihat dua lampu dipasang di
kedua ujung. Tiga orang di antaranya berlalu hansip dengan
mantel murah berdiri di tepi jembatan. Sang sopir segera
menginjak kopling dan memindahkan persenelin ke gigi satu.
Bis mendaki. Di bawah roda jembatan pun bising berkerotak . . .
20 meter kemudian lampau sudah. Tak ada kecelakaan. Seperti
biasa. Dan sopir bis itu kemudian bercerita: Tiap hari di setiap
jalan saya berjudi dengan nasib. Tapi di jembatan itu saya sadar
apa yang selama ini tak saya sadari akhirnya kita harus percaya
ada sejumlah orang yang telah bekerja sebaik-baiknya hingga kita
terhindar dari kecelakaan .
Kita masih bisa percaya kepada orang lain bukan? ia bertanya.
Agaknya memang demikian itulah kebijaksanaan yang ia
sisipkan. Ternyata kita masih bisa percaya kepada orang lain.
Setidaknya kepada para buruh di jembatan itu setidaknya kepada
para hansip yang tetap berjaga di malam basah itu meskipun kita
tak tahu pasti cukupkah mereka makan sendiri senja tadi.
Korupsi dan ketidak-becusan dan kelalaian dan sikap seenaknya
memang berkecamuk, tapi kiranya di suatu tempat di suatu bagian,
kita masih punya harapan kita masih bisa tenang dengan sekitar
kita.
Maka tadi pagi, sebelum ke kamar mandi, kita tidak memutuskan
untuk bercerai dari kenyataan kini. Dunia masih punya kabar
baik. Rasa tidak percaya dan rasa kurang berterima kasih kepada
orang lain memang kini amat gampang terbit. Hari memang mudah
muram. Tapi sopir bis malam tadi menghirup kopinya dan berkata:
"Lihat, saya belum mati."
ADA juga sebuah cerita, yang disampaikan oleh seorang yang
membaca surat.
Ia tinggal di Pandeglang dan suatu hari di koran pagi ia
membaca sepucuk surat dari Sangihe. Ia tak mengenal siapa
penulis surat itu, tapi tiba-tiba ia menyadari sesuatu yang
penting. Surat itu berupa setengah keluhan dan setengah
pertanyaan kepada redaksi koran di Jakarta itu. Kalimat
terakhirnya "Apa sebenarnya yang sedang terjadi di negeri
kita?".
Nadanya, jelas, prihatin. Tapi bukan keprihatinan itu yang
menyebabkan si pembaca di Pandeglang itu terkesima. Apa yang ia
sadari tiba-tiba, yang selama ini tak pernah ia renungkan betul,
adalah kata negeri kita di ujung itu. Orang tak dikenal di
Sangihe yang jauh itu ternyata masih merasa mempunyai negeri
ini!
DAN di Pandeglang itu, pembaca koran itu pun tiba-tiba seperti
ketularan. Ia merasa ke-Indonesia-an yang tetap sulit dirumuskan
itu ternyata bisa dikukuhkan kembali. Negeri ini ternyata masih
berarti, bahkan bagi seorang yang begitu jauh nun di Sangihe.
Dan mengapa negeri ini juga tak bisa berarti baginya, di
Pandeglang? keprihatinan, seperti halnya kebanggaan, juga
kecemasan, seperti hanya optimisme -- semua itu adalah pertanda
rasa ikut memiliki. Atau rasa terpanggil.
Barangkali karena tanah air memang bukan cuma sepotong geografi
dan selintas sejarah. Barangkali karena tanahair adalah juga
sebuah panggilan. Mungkin karena ia adalah sebuah idea yang tiap
kali berseru, keras atau pelan suatu potensi yang minta
diaktualisasikan, suatu impian yang minta dijelmakan dari waktu
ke waktu. Ketika kita bernyanyi bahwa "Indonesia adalah tanah
yang mulya" kita bukannya tak sadar bahwa banyak yang tidak
mulya di sekitar kita. Tapi kita tak bisa menerima itu.
"Bersukurlah," maka kata si pembaca surat di Pandeglang,
tanahair ini belum ramai-ramai ditinggalkan."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini