Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Rasa memiliki

Tidak di semua tempat di indonesia terjadi korupsi, kebodohan, dan kelalaian. tetapi masih ada harapan kebijaksanaan. banyak orang yang belum mempunyai rasa memiliki negeri ini.

11 Maret 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ADALAH sebuah kebijaksana yang dituturkan oleh seorang sopir bis. Pada suatu malam sopir bis antarkota itu membawa kendaraannya menyeberangi sebuah sungai. Jembatan rusak dan semua kendaraan harus mempergunakan jembatan darurat. Sebenarnya lumrah saja. Tapi beberapa detik di malam yang hujan dan senyap itu sang sopir ragu kuatkah jembatan ini? Memang aneh. Entah sudah berapa kali ia melewati jembatan darurat sepanjang riwayatnya tapi baru kali itu ia mendadak ragu. Tapi cuma beberapa detik. Ia melihat dua lampu dipasang di kedua ujung. Tiga orang di antaranya berlalu hansip dengan mantel murah berdiri di tepi jembatan. Sang sopir segera menginjak kopling dan memindahkan persenelin ke gigi satu. Bis mendaki. Di bawah roda jembatan pun bising berkerotak . . . 20 meter kemudian lampau sudah. Tak ada kecelakaan. Seperti biasa. Dan sopir bis itu kemudian bercerita: Tiap hari di setiap jalan saya berjudi dengan nasib. Tapi di jembatan itu saya sadar apa yang selama ini tak saya sadari akhirnya kita harus percaya ada sejumlah orang yang telah bekerja sebaik-baiknya hingga kita terhindar dari kecelakaan . Kita masih bisa percaya kepada orang lain bukan? ia bertanya. Agaknya memang demikian itulah kebijaksanaan yang ia sisipkan. Ternyata kita masih bisa percaya kepada orang lain. Setidaknya kepada para buruh di jembatan itu setidaknya kepada para hansip yang tetap berjaga di malam basah itu meskipun kita tak tahu pasti cukupkah mereka makan sendiri senja tadi. Korupsi dan ketidak-becusan dan kelalaian dan sikap seenaknya memang berkecamuk, tapi kiranya di suatu tempat di suatu bagian, kita masih punya harapan kita masih bisa tenang dengan sekitar kita. Maka tadi pagi, sebelum ke kamar mandi, kita tidak memutuskan untuk bercerai dari kenyataan kini. Dunia masih punya kabar baik. Rasa tidak percaya dan rasa kurang berterima kasih kepada orang lain memang kini amat gampang terbit. Hari memang mudah muram. Tapi sopir bis malam tadi menghirup kopinya dan berkata: "Lihat, saya belum mati." ADA juga sebuah cerita, yang disampaikan oleh seorang yang membaca surat. Ia tinggal di Pandeglang dan suatu hari di koran pagi ia membaca sepucuk surat dari Sangihe. Ia tak mengenal siapa penulis surat itu, tapi tiba-tiba ia menyadari sesuatu yang penting. Surat itu berupa setengah keluhan dan setengah pertanyaan kepada redaksi koran di Jakarta itu. Kalimat terakhirnya "Apa sebenarnya yang sedang terjadi di negeri kita?". Nadanya, jelas, prihatin. Tapi bukan keprihatinan itu yang menyebabkan si pembaca di Pandeglang itu terkesima. Apa yang ia sadari tiba-tiba, yang selama ini tak pernah ia renungkan betul, adalah kata negeri kita di ujung itu. Orang tak dikenal di Sangihe yang jauh itu ternyata masih merasa mempunyai negeri ini! DAN di Pandeglang itu, pembaca koran itu pun tiba-tiba seperti ketularan. Ia merasa ke-Indonesia-an yang tetap sulit dirumuskan itu ternyata bisa dikukuhkan kembali. Negeri ini ternyata masih berarti, bahkan bagi seorang yang begitu jauh nun di Sangihe. Dan mengapa negeri ini juga tak bisa berarti baginya, di Pandeglang? keprihatinan, seperti halnya kebanggaan, juga kecemasan, seperti hanya optimisme -- semua itu adalah pertanda rasa ikut memiliki. Atau rasa terpanggil. Barangkali karena tanah air memang bukan cuma sepotong geografi dan selintas sejarah. Barangkali karena tanahair adalah juga sebuah panggilan. Mungkin karena ia adalah sebuah idea yang tiap kali berseru, keras atau pelan suatu potensi yang minta diaktualisasikan, suatu impian yang minta dijelmakan dari waktu ke waktu. Ketika kita bernyanyi bahwa "Indonesia adalah tanah yang mulya" kita bukannya tak sadar bahwa banyak yang tidak mulya di sekitar kita. Tapi kita tak bisa menerima itu. "Bersukurlah," maka kata si pembaca surat di Pandeglang, tanahair ini belum ramai-ramai ditinggalkan."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus