PADA bulan Nopember 1885. Hampir 100 tahun yang lalu. para
petani di desa Patik. di daerah Ponorogo kewedanaan Pulung,
memberontak. alasan pajak terlalu tinggi.
Sekitar 100 petani yang tergolong penduduk berada dari desa
Patik melakukan pemberontakan itu. Mereka mengangkat calik desa
jadi Ratu Adil baru. Lalu mereka menuju ke rumah wedana. Mereka
menganjurkan supaya pejabat itu menggabungkan diri pada gerakan
pada petani. Wedana Pulung diam saja. Tapi rombongan pemberontak
berhasil mengambil beberapa senapan dari rumah wedana gong dan
payung. Dan mereka pun menuju ke rumah kontrolir Belanda di
Puling untuk membunuhnya.
Dengan sengaja para pemberontak tidak berbuat apa-apa terhadap
si wedana. sebab mereka mengatakan sendiri bahwa yang bersalah
menaikkan pajak rakyat adalah Belanda. Itulah sebabnya si
Kontrolir Belanda hendak mereka bunuh. Tapi si Kontrolir
kebetulan sedang bersama dengan keluarganya tidak berada di
Pulung, tetapi di kota kabupaten Ponorogo. Para pemberontak
hanya berhasil membakar rumahnya.
Pemberontakan yang pada mulanya kelihatan demikian ganas (dengan
rencana untuk menduduki kota Ponorogo dan membunuh semua orang
Belanda di sana), pada malam itu sendiri berhasil digagalkan.
Bupati Ponorogo dibantu segolongan penduduk dan lurah dari
berbagai desa dapat menyergap para pemberontak sebelum mereka
sampai di Ponorogo. Mereka ditangkap tanpa banyak perlawanan.
Mereka telah diberi obat tidur dalam minuman yang disajikan
oleh salah seorang kepala desa ketika para pemberontak Patik
melewati desa itu.
Sang Bupati Dicurigai
Dalam karangan ini bukan jalannya pemberontakan itu yang akan
diteliti dibicarakan. Sebab kejadian seperti di atas sering
sekali terjadi. Mungkin malah hampir setiap tahun di Pulau Jawa
pada abad yang lalu pemberontakan seperti itu timbul.
Yang akan dibicarakan adalah sikap para pejabat pemerintahan
Hindia Belanda. Sebab, biarpun pemberontakan para petani desa
Patik itu tidak membawa bencana besar dan mudah dipadamkan bagi
para pejabat Belanda setempat hal itu membawa kerepotan juga.
Sebab mereka harus mempertanggungjawabkannya pada pemerintah
pusat.
Yang pertama-tama heboh sebenarnya bukan para pejabat, tetapi
penduduk Belanda setempat. Mereka agak panik, karena merekalah
yang dikatakan jadi sasaran-para pemberontak. Tanpa informasi
lebih lanjut dan merasa di tengah-tengah hutan orang Jawa yang
tidak mereka mengerti, desas-desus di antara mereka pun hangat.
Dikatakan babwa pemberontakan Patik hanya merupakan tahun
pertama dari suatu komplotan orang Jawa yang lebih besar.
Biarpun Bupati Ponorogo adalah pemimpin yang memadamkan
pemberontakan. kecurigaan terhadap keluarga bupati juga
meningkat. Sebab bupati dilihat sebagai satu-satunya kekuatan
Jawa setempat yang dapat mengadakan komplot anti Belanda yang
lebih luas dan mendalam. Desas-desus di antara para
Partikelir (swasta) Belanda ini menuduh keluarga bupati
Ponorogo sebagai pusat pemberontakan. Diperingat kan oleh mereka
bahwa bupati ini keturunan para kyayi pesantren di Ponorogo dan
karena itu "fanatik Islam."
Dicari: Penunggang Lain
Selain tuduhan orang partikelir itu, para pejabat Belanda
setempat juga melihat kemungkinan bahwa keluarga priyayi
tertinggi setempat itu terlibat dalam pemberontakan. Namun
kali ini bukan persoalan fanatisme terhadap agama Islam yang
katanya jadi dasar bagai kecurigaan. tetapi perpecahan dan
ketidakpuasan di antara kerabat bupati.
Yang menarik di sini adalah bahwa persoalan pajak yang jadi
dasar gerakan para petani diabaikan. Pun pejabat Belanda yang
dikirimkan dari Batavia untuk meninjau keadaan setempat
mengabaikan untuk sementara persoalan pajak. Pejabat dari pusat
itu juga meneliti kecurigaan kepada keluarga bupati. Pada
akhirnya mereka mencari penyelesaian terhadap soal keresahan itu
dengan menawarkan pada anak lelaki bupati yang tidak puas suatu
jabatan tinggi dalam kepamongprajaan di tempat lain.
Tapi akhirnya ternyata tidak ada suatu kesalahan yang bisa
didapatkan dalam keluarga bupati Ponorogo. Maka para pejabat pun
harus melihat pada soal lain. Latar-belakang pemberontakan para
petani desa Patik lalu dilihat sebagai usaha penunggangan dua
bekas pegawai pryayi pamongpraja Hindia Belanda yang tinggal di
desa Patik.
Kedua pryayi itu katanya keturunan keluarga bupati yang tua,
yang memerintah Ponorogo pada sekitar tahun 1840, atau 45 tahun
sesudah peristiwa di atas. Faktor keturunan agung ini katanya
menyebabkan mereka frustrasi, dan karena itu mereka menghasut
dan menunggangi petani. Carik desa Patik misalnya dikatakan
telah dihasut oleh kedua pryayi ini untuk dijadikan Ratu-Adil
yang akan membebaskan orang kecil Jawa dari tekanan pajak dan
beban negara kolonial yang lain.
Singkatnya, frustrasi dua pryayi dan tahyul seorang carik desa
itulah yang dinilai sebagai penyebab pemberontakan. Dengan
demikian pemberontakan petani dijadikan peristiwa yang
seakan-akan bersifat alamiah, suatu peristiwa amok.
Mengapa persoalan pajak yang diajukan oleh para pemberontak
tidak dipersoalkan oleh para pejabat Belanda? Hal ini lalu
terlihat dari laporan terakhit dari Residen Madiun di bawah mana
kabupaten Ponorogo berada.
Residen Madiun menulis pada atasannya di Batavia bahwa memang
penarikan pajak di desa Patik dalam tahun 1885 agak sukar
terkumpul, berhubung dengan penggelapan uang sebesar 200 gulden
oleh lurahnya. Tetapi dilaporkan selanjutnya: "Tidak mungkin
pajak jadi sebab utama dari pemberontakan. Sebab kalau demikian
maka kekuasaan kami (Belanda) akan menyerupai tiang di atas
gurun pasir."
Dengan demikian keluhan kenaikan pajak dari rakyat dianggap
tidak ada. Ada yang menyolok di sini, y.i. pertanggunganjawab
seorang penguasa dicoba untuk ditutupi dengan mengatakan bahwa
beban negara tidak mungkin menjadi sebab pemberontakan. Dengan
singkat tidak mungkin dibenarkan bahwa beban negara, dalam
bentuk pajak, bisa jadi alasan pemberontakan, sebab dalam
ideologi para pejabat, negara adalah "pengayom masyarakat."
Tapi pada akhirnya persoalan pajak di Patik ini terbongkar juga
bagi para sejarawan. Hanya dalam rangka yang lain sama sekali
dari keluhan para petani Patik. Pejabat pusat yang ditugaskan
meninjau keadaan setempat berpendapat, bahwa dalam keadaan
krisis yang disebabkan pemberontakan, para pejabat setempat
tidak bersikap seperti seharusnya. Mereka terlibat dalam
konfrontasi dengan Residen Madiun.
Mengapa Orang Berada?
Dalam rangka ini kemudian pajak untuk desa Patik diselidiki.
Ditemukan bahwa karena keteledoran para pqabat setempat memang
pajak di desa Patik itu selama tiga tahun terakhir meningkat
terus-menerus dan merupakan 16,lo dari penghasilan desa (tidak
6,1% seperti dilaporkan Residen). Pajak untuk desa Patik memang
ditemukan sebagai sesuatu yang terlalu tinggi, namun pada
laporan terakhirnya juga pejabat pusat ini melaporkan, bahwa
pajak tinggi "hanya dipakai oleh para pemberontak untuk mendapat
dukungan rakyat dan bukan persoalan sebenarnya .... "
Menurut pqabat pusat ini pemberontakan dilakukan oleh orang yang
berada dari daerah yang subur dan kaya, sedangkan orang miskin
dari desa Patik dan dari desa sekelilingnya yang miskin tidak
berontak. Bila pajak menyebabkan kemiskinan, begitu dikatakan,
tentu orang miskin ini yang akan berontak, dan bukan para petani
kaya dari Patik.
Logika penguasa ini--meskipun kelihatannya masuk akal --dengan
jelas terbalik. Dilupakan bahwa pembayar pajak itu selalu
golongan yang memiliki tanah dan yang berada. Orang miskin dan
yang tidak punya tanah tidak akan memberontak karena kenaikan
pajak. Yang kayalah yang harus membayar pajak dan karena itu
mereka yang memberontak.
Dari yang terlukis di atas ini tampak betapa pemerintahan yang
otokratis dapat bersikap menutup mata dan telinga terhadap
realita masyarakat, terhadap keluhan atau tuntutan yang
benar-benar. Sikap ini lalu melahirkan mitos mengenai masyarakat
itu sendiri, misalnya bahwa rakyat berontak karena para pryayi
yang penuh frustrasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini