Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Setelah Para Petani Berontak ...

Para petani desa patik, bulan nop 1885 memberontak kewedanaan pulung karena pajak terlalu tinggi. pemberontak terdiri dari petani-petani kaya yang harus membayar pajak, maka pajak tidak menyebabkan miskin.

11 Maret 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PADA bulan Nopember 1885. Hampir 100 tahun yang lalu. para petani di desa Patik. di daerah Ponorogo kewedanaan Pulung, memberontak. alasan pajak terlalu tinggi. Sekitar 100 petani yang tergolong penduduk berada dari desa Patik melakukan pemberontakan itu. Mereka mengangkat calik desa jadi Ratu Adil baru. Lalu mereka menuju ke rumah wedana. Mereka menganjurkan supaya pejabat itu menggabungkan diri pada gerakan pada petani. Wedana Pulung diam saja. Tapi rombongan pemberontak berhasil mengambil beberapa senapan dari rumah wedana gong dan payung. Dan mereka pun menuju ke rumah kontrolir Belanda di Puling untuk membunuhnya. Dengan sengaja para pemberontak tidak berbuat apa-apa terhadap si wedana. sebab mereka mengatakan sendiri bahwa yang bersalah menaikkan pajak rakyat adalah Belanda. Itulah sebabnya si Kontrolir Belanda hendak mereka bunuh. Tapi si Kontrolir kebetulan sedang bersama dengan keluarganya tidak berada di Pulung, tetapi di kota kabupaten Ponorogo. Para pemberontak hanya berhasil membakar rumahnya. Pemberontakan yang pada mulanya kelihatan demikian ganas (dengan rencana untuk menduduki kota Ponorogo dan membunuh semua orang Belanda di sana), pada malam itu sendiri berhasil digagalkan. Bupati Ponorogo dibantu segolongan penduduk dan lurah dari berbagai desa dapat menyergap para pemberontak sebelum mereka sampai di Ponorogo. Mereka ditangkap tanpa banyak perlawanan. Mereka telah diberi obat tidur dalam minuman yang disajikan oleh salah seorang kepala desa ketika para pemberontak Patik melewati desa itu. Sang Bupati Dicurigai Dalam karangan ini bukan jalannya pemberontakan itu yang akan diteliti dibicarakan. Sebab kejadian seperti di atas sering sekali terjadi. Mungkin malah hampir setiap tahun di Pulau Jawa pada abad yang lalu pemberontakan seperti itu timbul. Yang akan dibicarakan adalah sikap para pejabat pemerintahan Hindia Belanda. Sebab, biarpun pemberontakan para petani desa Patik itu tidak membawa bencana besar dan mudah dipadamkan bagi para pejabat Belanda setempat hal itu membawa kerepotan juga. Sebab mereka harus mempertanggungjawabkannya pada pemerintah pusat. Yang pertama-tama heboh sebenarnya bukan para pejabat, tetapi penduduk Belanda setempat. Mereka agak panik, karena merekalah yang dikatakan jadi sasaran-para pemberontak. Tanpa informasi lebih lanjut dan merasa di tengah-tengah hutan orang Jawa yang tidak mereka mengerti, desas-desus di antara mereka pun hangat. Dikatakan babwa pemberontakan Patik hanya merupakan tahun pertama dari suatu komplotan orang Jawa yang lebih besar. Biarpun Bupati Ponorogo adalah pemimpin yang memadamkan pemberontakan. kecurigaan terhadap keluarga bupati juga meningkat. Sebab bupati dilihat sebagai satu-satunya kekuatan Jawa setempat yang dapat mengadakan komplot anti Belanda yang lebih luas dan mendalam. Desas-desus di antara para Partikelir (swasta) Belanda ini menuduh keluarga bupati Ponorogo sebagai pusat pemberontakan. Diperingat kan oleh mereka bahwa bupati ini keturunan para kyayi pesantren di Ponorogo dan karena itu "fanatik Islam." Dicari: Penunggang Lain Selain tuduhan orang partikelir itu, para pejabat Belanda setempat juga melihat kemungkinan bahwa keluarga priyayi tertinggi setempat itu terlibat dalam pemberontakan. Namun kali ini bukan persoalan fanatisme terhadap agama Islam yang katanya jadi dasar bagai kecurigaan. tetapi perpecahan dan ketidakpuasan di antara kerabat bupati. Yang menarik di sini adalah bahwa persoalan pajak yang jadi dasar gerakan para petani diabaikan. Pun pejabat Belanda yang dikirimkan dari Batavia untuk meninjau keadaan setempat mengabaikan untuk sementara persoalan pajak. Pejabat dari pusat itu juga meneliti kecurigaan kepada keluarga bupati. Pada akhirnya mereka mencari penyelesaian terhadap soal keresahan itu dengan menawarkan pada anak lelaki bupati yang tidak puas suatu jabatan tinggi dalam kepamongprajaan di tempat lain. Tapi akhirnya ternyata tidak ada suatu kesalahan yang bisa didapatkan dalam keluarga bupati Ponorogo. Maka para pejabat pun harus melihat pada soal lain. Latar-belakang pemberontakan para petani desa Patik lalu dilihat sebagai usaha penunggangan dua bekas pegawai pryayi pamongpraja Hindia Belanda yang tinggal di desa Patik. Kedua pryayi itu katanya keturunan keluarga bupati yang tua, yang memerintah Ponorogo pada sekitar tahun 1840, atau 45 tahun sesudah peristiwa di atas. Faktor keturunan agung ini katanya menyebabkan mereka frustrasi, dan karena itu mereka menghasut dan menunggangi petani. Carik desa Patik misalnya dikatakan telah dihasut oleh kedua pryayi ini untuk dijadikan Ratu-Adil yang akan membebaskan orang kecil Jawa dari tekanan pajak dan beban negara kolonial yang lain. Singkatnya, frustrasi dua pryayi dan tahyul seorang carik desa itulah yang dinilai sebagai penyebab pemberontakan. Dengan demikian pemberontakan petani dijadikan peristiwa yang seakan-akan bersifat alamiah, suatu peristiwa amok. Mengapa persoalan pajak yang diajukan oleh para pemberontak tidak dipersoalkan oleh para pejabat Belanda? Hal ini lalu terlihat dari laporan terakhit dari Residen Madiun di bawah mana kabupaten Ponorogo berada. Residen Madiun menulis pada atasannya di Batavia bahwa memang penarikan pajak di desa Patik dalam tahun 1885 agak sukar terkumpul, berhubung dengan penggelapan uang sebesar 200 gulden oleh lurahnya. Tetapi dilaporkan selanjutnya: "Tidak mungkin pajak jadi sebab utama dari pemberontakan. Sebab kalau demikian maka kekuasaan kami (Belanda) akan menyerupai tiang di atas gurun pasir." Dengan demikian keluhan kenaikan pajak dari rakyat dianggap tidak ada. Ada yang menyolok di sini, y.i. pertanggunganjawab seorang penguasa dicoba untuk ditutupi dengan mengatakan bahwa beban negara tidak mungkin menjadi sebab pemberontakan. Dengan singkat tidak mungkin dibenarkan bahwa beban negara, dalam bentuk pajak, bisa jadi alasan pemberontakan, sebab dalam ideologi para pejabat, negara adalah "pengayom masyarakat." Tapi pada akhirnya persoalan pajak di Patik ini terbongkar juga bagi para sejarawan. Hanya dalam rangka yang lain sama sekali dari keluhan para petani Patik. Pejabat pusat yang ditugaskan meninjau keadaan setempat berpendapat, bahwa dalam keadaan krisis yang disebabkan pemberontakan, para pejabat setempat tidak bersikap seperti seharusnya. Mereka terlibat dalam konfrontasi dengan Residen Madiun. Mengapa Orang Berada? Dalam rangka ini kemudian pajak untuk desa Patik diselidiki. Ditemukan bahwa karena keteledoran para pqabat setempat memang pajak di desa Patik itu selama tiga tahun terakhir meningkat terus-menerus dan merupakan 16,lo dari penghasilan desa (tidak 6,1% seperti dilaporkan Residen). Pajak untuk desa Patik memang ditemukan sebagai sesuatu yang terlalu tinggi, namun pada laporan terakhirnya juga pejabat pusat ini melaporkan, bahwa pajak tinggi "hanya dipakai oleh para pemberontak untuk mendapat dukungan rakyat dan bukan persoalan sebenarnya .... " Menurut pqabat pusat ini pemberontakan dilakukan oleh orang yang berada dari daerah yang subur dan kaya, sedangkan orang miskin dari desa Patik dan dari desa sekelilingnya yang miskin tidak berontak. Bila pajak menyebabkan kemiskinan, begitu dikatakan, tentu orang miskin ini yang akan berontak, dan bukan para petani kaya dari Patik. Logika penguasa ini--meskipun kelihatannya masuk akal --dengan jelas terbalik. Dilupakan bahwa pembayar pajak itu selalu golongan yang memiliki tanah dan yang berada. Orang miskin dan yang tidak punya tanah tidak akan memberontak karena kenaikan pajak. Yang kayalah yang harus membayar pajak dan karena itu mereka yang memberontak. Dari yang terlukis di atas ini tampak betapa pemerintahan yang otokratis dapat bersikap menutup mata dan telinga terhadap realita masyarakat, terhadap keluhan atau tuntutan yang benar-benar. Sikap ini lalu melahirkan mitos mengenai masyarakat itu sendiri, misalnya bahwa rakyat berontak karena para pryayi yang penuh frustrasi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus