Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Rekonsiliasi, Bukan Transaksi

Pekan ini Mahkamah Konstitusi akan memutus sengketa pemilihan umum dan menutup seluruh rangkaian pemilihan presiden yang sudah berlangsung hampir setahun terakhir. Putusan Mahkamah bersifat final dan mengikat: para kandidat tak lagi punya kesempatan mempersoalkan hasil pemilu. Karena itu, setelah putusan dijatuhkan, Presiden Joko Widodo dan penantangnya, Prabowo Subianto, harus bersalaman dan mengakhiri kompetisi.

22 Juni 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Rekonsiliasi, Bukan Transaksi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Upaya sejumlah politikus untuk “mendamaikan” kedua kubu menjelang putusan final dari Mahkamah sah-sah saja dilakukan. Ikhtiar mereka bisa menurunkan ketegangan politik yang meruncing belakangan ini dan mencegah aksi massa lanjutan pada hari terakhir sidang di Mahkamah Konstitusi.

Rekonsiliasi antara Jokowi dan Prabowo—dan tentu antarkubu partai pendukungnya—juga penting agar polarisasi di kalangan akar rumput bisa mereda. Pertikaian yang banyak timbul akibat kompetisi politik yang sengit selama pemilihan umum sudah seharusnya dihentikan. Tak ada lagi “kami” dan “mereka” yang berhadap-hadapan.

Masalahnya, meski negosiasi memang merupakan bagian tak terpisahkan dari politik, tawar-menawar di ranah ini tak boleh direduksi menjadi arena transaksional belaka. Upaya kedua kubu mencari kompromi harus tetap didasari etika politik.

Sangat disayangkan jika benar ada iming-iming jabatan strategis di kabinet dan berbagai fasilitas lain dengan jumlah fantastis sebagai “harga rekonsiliasi”. Negosiasi semacam itu hanya akan merendahkan nilai-nilai yang selama ini diperjuangkan kedua kubu selama kampanye. Rekonsiliasi politik yang dihasilkan dari tawar-menawar semacam itu jelas salah kaprah.

Sikap serupa seyogianya ditunjukkan partai politik peserta pemilu. Mereka yang kalah seharusnya tidak perlu kasak-kusuk meninggalkan koalisi calon presiden yang semula mereka usung. Sedangkan mereka yang menang juga tak perlu repot-repot menggaet partai lawan untuk bergabung.

Sejauh ini, ada indikasi kuat Partai Amanat Nasional dan Partai Demokrat tengah berancang-ancang meninggalkan koalisi pendukung Prabowo. Elite kedua partai itu sudah aktif berkomunikasi dengan Presiden Jokowi dan jajarannya. Langkah politik semacam ini juga mencerminkan rekonsiliasi yang salah kaprah.

Tradisi lompat perahu ke biduk pemenang setelah pemilu usai memang tidak dimulai kedua partai itu. Pada pemilu sebelumnya, Golkar dan PAN melakukan tindakan serupa dengan meninggalkan koalisi Prabowo setelah jago mereka dipastikan kalah. Kebiasaan semacam ini seharusnya tidak diterima sebagai kewajaran.

Sudah saatnya semua pihak menyadari bahwa keberadaan oposisi yang berkualitas mutlak diperlukan dalam sistem demokrasi. Adanya partai oposisi di parlemen justru menjamin transparansi dan akuntabilitas pemerintah. Jika semua partai politik dirangkul masuk ke koalisi pendukung pemerintah, tak ada lagi perdebatan seputar kebijakan pemerintah dalam sidang-sidang Dewan Perwakilan Rakyat.

Tanpa mitra untuk beradu pendapat dan pandangan, setiap kebijakan pemerintah akan selalu disetujui tanpa banyak pertanyaan. Lama-kelamaan aparat pemerintah akan merasa paling benar. Merasa didukung mayoritas, mereka bisa dengan ringan menolak segala suara yang berbeda. Jika itu yang terjadi, kita selangkah lagi mendekati era otoritarian yang menafikan kebebasan dan keberagaman.

Untuk itu, segala upaya membentuk koalisi partai pendukung pemerintah yang terlampau dominan sejak dini perlu dipersoalkan. Rekonsiliasi politik seusai pemilu tak harus dibarengi dengan pernyataan dukungan kepada presiden yang terpilih. Kubu oposisi dan pendukung pemerintah seharusnya berkomitmen untuk menerima hasil pemilu dan mendukung sistem pemerintahan yang berlandaskan hukum.

Selama ini, memang ada anggapan bahwa beroposisi di luar pemerintah merupakan ujian bagi partai politik. Pasalnya, partai oposisi tak akan punya akses pada jabatan publik dan fasilitas lain yang menyertainya. Kerap kali, menjadi partai pendukung pemerintah juga membuka kesempatan kongkalikong dan meraup fulus dari berbagai praktik penyalahgunaan kekuasaan. Sudah saatnya perilaku korupsi semacam itu diberantas. Para pejabat negara tak boleh lagi dibiarkan memanfaatkan kedudukan untuk membesarkan diri sendiri dan partai politik asal mereka.

Berakhirnya rangkaian pemilihan presiden pekan ini seharusnya menjadi awal budaya politik baru. Rekonsiliasi yang terjadi seusai pemilu tidak identik dengan bagi-bagi kursi dan kekuasaan. Mereka yang menang dan yang kalah sama-sama punya andil membesarkan Indonesia dan memelihara tradisi demokrasi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus