Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Itu terungkap dari pernya-taan Menteri Perhubungan Azwar Anas saat menghadiri acara serah-terima dua pesawat bermesin jet milik Merpati Air di Bandar Udara Cengkareng. Dalam acara itu, Azwar mengungkapkan bahwa PT Sempati Air Transport mengusulkan untuk mendapatkan rute penerbangan ke luar negeri. Usul ini agaknya akan dikabulkan. “Supaya tak terjadi monopoli dalam penerbangan ke luar negeri.”
Direktur Utama PT Sempati Air Transport, Adolf Latumahina, membenarkan kabar bahwa Sempati sudah mengajukan minatnya untuk penerbangan Jakarta--Singapura. Alasannya? “Paket deregulasi atau debirokratisasi di sektor perhubung-an udara selaras dengan tekad pemerintah untuk meningkatkan penerimaan devisa, penekanan debt service ratio, dan menciptakan lapangan kerja. Sempati ingin berperan, jika diberi kesempatan,” kata Adolf.
Sempati meminta rute Jakarta-Singapura karena hal itu masih dalam batas-batas yang memungkinkan. Seperti diketa-hui, rute-rute penerbangan antarnegara umum-nya berasas timbal-balik. Menurut Adolf, Singapura kini sudah hampir kewalahan menjual paket turisme. Karena itu, jika daerah Indonesia digabung dalam paket turisme Singapura, asas keuntungan bersama bisa diciptakan.
Terbang ke luar negeri memang bukan hal baru bagi Sempati. Menurut Adolf, perusahaannya pernah mengisi jalur penerbangan Jakarta-Denpasar-Tokyo, dua kali seminggu, pada 1975-1979. Rute tersebut waktu itu diisi Sempati, dengan pesawat Boeing 707 milik Pelita Air Service. “Kami mengisi rute itu karena ditinggalkan Garuda selama dua tahun. Rute itu kami kembalikan pada 1979 ketika Garuda sudah lebih mampu,” tutur Adolf.
Sempati didirikan pada 1968, kemudian pada 1974 bergabung dalam kelompok perusahaan yang didirikan beberapa perwira Angkatan Darat yang bernama PT Tri Usaha Bhakti. Setiap tahun, mereka bisa menciptakan untung. “Semua pesawat itu sudah kami bayar lunas tahun 1988,” ujar Adolf. Kendati begitu, diakuinya armada Sempati masih kalah dibanding Merpati, Pelita Air Service, Deraya, Bouraq, dan Mandala.
Sempati baru memiliki enam pesawat Fokker F-27, yang hanya dioperasikan seba-gai pesawat carteran pengangkut barang. Seandainya Departemen Perhubungan memberi lampu hijau, bagaimana? Tentu saja Sempati harus menambah jumlah pesawat. Cara yang paling feasible, menurut Adolf, adalah dengan menyewa beli (leasing) minimum dua pesawat. Tapi ini tentu harus ditunjang sistem keuangan yang kuat.
Menurut seorang flight engineer dari Sempati, perusahaan Humpuss telah menanamkan modal di Sempati. Beberapa penerbang Sempati juga sudah dikirim ke Amerika Serikat untuk dilatih mengemudikan pesawat jet. Adolf membenarkan kabar bahwa Sempati sudah dilirik Humpuss. “Tapi itu urusan para pemegang saham. Saya hanya eksekutif di sini,” kata Direktur Utama Sempati sejak 1973 itu.
Keinginan Sempati terbang ke Singapura tentu akan tumpang-tindih de--ngan Garuda. Ketika hal itu ditanyakan, Azwar Anas menjawab bahwa pemerintah akan meminta perusahaan tersebut berbicara dengan pihak Garuda. Tentang hal ini, Adolf terus terang mengatakan, sampai pekan lalu, belum ada pembicaraan semacam itu. “Sempati mengajukan usul itu supaya dalam paket deregulasi nanti kesempatan diberikan bagi semua perusahaan untuk tumbuh.”
Dewasa ini memang hanya Garuda Indonesia, Merpati, Bouraq, dan Mandala yang mendapatkan rute penerbangan tetap. “Pemerintah memang ingin menderegulasikan sektor angkutan udara,” ujar seorang pejabat dari Departemen Perhubungan. Dan deregulasi itu mungkin berlaku tahun ini juga. “Paket deregulasi ini tentu saja memerlukan izin departemen-departemen lain yang terkait, dan terutama izin Presiden,” katanya.
Menurut sumber tadi, sebelum penerbangan swasta diberi izin terbang ke luar negeri, perlu dibuatkan dulu deregulasi tentang pengadaan pesawat terbang. Hal ini tentu harus memperhatikan juga kepentingan pabrik pesawat terbang, Industri Pesawat Terbang Nusantara. Karena itu, usul Sempati mungkin belum akan segera dikabulkan. “Kemungkinan baru akan diberi izin beroperasi sebagai pengangkut penumpang carteran,” ujarnya.
Artikel lengkap terdapat dalam Tempo edisi 24 Oktober 1992. Dapatkan arsip digitalnya di:
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo