PAYAMAN Simandjuntak, Direktur Jenderal Pembinaan dan Pengawasan (Binawas) Departemen Tenaga Kerja, mengacungkan jempol kepada Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 1 Tahun 1987. ''Ini yang paling hebat sedunia,'' kata Dr. Payaman kepada wartawan TEMPO Taufik Abriansyah dan The Jakarta Post di Bogor, Jawa Barat, dua pekan lalu. Permen itu, dengan alasan ekonomi, membolehkan anak-anak di bawah usia 14 tahun bekerja. Tentu saja dengan syarat bahwa anak-anak itu hanya boleh bekerja empat jam sehari. Mereka dilarang bekerja di tempat yang berisiko tinggi, kecuali diawasi oleh orang tuanya. Permen ini juga mengatur soal sanksi bagi pengusaha yang melanggarnya. Ancamannya: tiga bulan hukuman penjara kalau kepergok. Sebenarnya, permen ini tidak sejalan dengan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1951 yang menyatakan batas usia minimum pekerja adalah 14 tahun. Dengan kata lain, bocah yang berusia di bawah 14 tahun dilarang bekerja. Namun, dengan alasan kemiskinan, terpaksa banyak bocah yang harus mencari nafkah. Maka, Permen Nomor 1 Tahun 1987 itulah yang kemudian dikeluarkan untuk menampung aspirasi ini. Tapi, begitulah: aturan, seperti sering terjadi, berbeda dengan pelaksanaannya. Masih sering terjadi kasus buruh anak- anak di bawah umur yang berbeda dengan permen tadi. Tidak sedikit anak-anak di bawah umur yang dipekerjakan lebih lama dari empat jam sehari, dengan upah yang minim. Choirul, 13 tahun, misalnya, saat ini masih bekerja sebagai buruh honorer di sebuah pabrik cat di Surabaya. Pekerjaannya membungkus kaleng cat, yang merangkap menjadi pesuruh bagi buruh yang ingin jajan. Dari perusahaan itu Choirul mendapat upah Rp 10.200 seminggu, atau Rp 1.700 sehari kerja. Anak lulusan SD di daerah Rungkut, Surabaya, itu diterima bekerja sejak tahun lalu karena, ''Kami kasihan,'' kata seorang manajer perusahaan itu. Sejak dini dia memang sudah putus sekolah karena, ''Untuk makan saja tidak punya duit,'' kata Choirul. Ayahnya tukang tambal ban sepeda. Adiknya ada empat, ada yang sudah masuk SD, ada pula yang masih belum sekolah. Begitu juga Jamilah, 14 tahun, yang sejak dua tahun lalu bekerja di sebuah pabrik cokelat di Tangerang, Jawa Barat. ''Saya harus cari makan. Bapak sudah mati,'' katanya lirih. Di perusahaan itu tampak bekerja anak-anak sebaya Jamilah, berjumlah lebih dari 150 orang. Mereka bekerja sekitar sembilan jam sehari, menuangkan cokelat cair ke dalam mesin, atau membungkus cokelat. Seorang hanya diupah Rp 12.000 per minggu. Itu pun kalau mereka lembur selama dua jam setiap hari. Kalau ada pemeriksaan dari Depnaker, cerita seorang di perusahaan itu, buruh anak-anak itu langsung disembunyikan ke dalam gudang. Apakah orang Depnaker sering inspeksi? ''Oh, sudah setahun ini tidak kelihatan ada yang datang,'' ujarnya. Ada lagi kasus yang mirip-mirip ''perbudakan'' bocah di sebuah pabrik tekstil di kawasan Glugur, Medan. Belasan anak usia 9-14 tahun biasa bekerja dari pukul 7 pagi hingga 11 malam. Gajinya hanya Rp 15 ribu per bulan. Mereka di beri makan dua kali sehari dengan lauk ikan teri. Syukur, mereka masih boleh libur pada hari Minggu. Tapi kisah yang mengenaskan datang dari perairan timur Sumatera Utara. Diduga ada ratusan atau ribuan anak-anak berusia di bawah umur yang dipekerjakan di sekitar 900 jermal penangkapan ikan di lepas pantai. Bulan lalu tiga anak yang berusia di bawah 15 tahun diselamatkan polisi, setelah sebelumnya mereka dipaksa bekerja selama tiga bulan di sebuah jermal penangkapan ikan di lepas pantai Deli Serdang (lihat TEMPO 3 Juli 1993). Ketiga bocah itu sebelumnya diiming-imingi pekerjaan oleh seorang calo dengan imbalan duit yang menggiurkan. Ternyata mereka harus bekerja selama 20 jam sehari, mengangkat katrol gulungan kabel pengikat jaring ikan. Lalu menjemur ikan-ikan kecil di pelataran lantai jermal. Upahnya tak jelas. Dunia mereka hanya sebatas luas jermal 10 x 30 meter. Mau kabur tentu tak mungkin mengingat letak jermal yang jauh di tengah laut, antara empat dan delapan mil laut dari bibir pantai. Kalau toh nekat kabur dan nasib beruntung, mungkin ada nelayan lewat yang menyelamatkan mereka. ''Kami memang sulit mengawasinya,'' kata Kepala Kantor Depnaker Tanjungbalai, Kander Siregar. Maklum, kantornya tak memiliki kapal untuk mengawasi jermal. Bocah-bocah yang bekerja di sektor formal biasanya memang banyak dijumpai di perusahaan makanan dan minuman, sepatu, garmen, pengepakan, atau perkebunan. Buruh anak disukai karena mereka dianggap tak banyak menuntut. Menurut sensus tahun 1990, ada 2,4 juta anak berusia 10-14 tahun yang bekerja. Jumlah ini akan membengkak mengingat mereka yang di bawah usia 10 tahun bekerja tidak sedikit jumlahnya. Belum lagi menghitung anak-anak yang bekerja di sektor informal, seperti penjual koran, penyemir sepatu, penjual rokok, atau yang membantu orang tuanya menjadi nelayan atau petani. Tampaknya, Permen Nomor 1 Tahun 1987, yang diklaim paling hebat itu, tak cukup ampuh untuk melindungi nasib buruh anak- anak. Apalagi, seperti kata Lily Rilantono, Ketua Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia, ''Bagaimanapun, di masa depan kita tetap berharap tak ada lagi anak-anak yang bekerja.'' Soalnya memang bukan pada rumusan Permen Nomor 1 Tahun 1987 semata, tapi pada soal pengawasan pelaksanaannya yang dirasakan kedodoran. Inilah yang menurut Payaman tak bisa dibebankan kepada pemerintah saja. ''Siapa pun bisa melaporkan kalau ada perusahaan yang mempekerjakan anak-anak di luar peraturan,'' kilahnya. Ahmed K. Soeriawidjaja dan Iwan Qodar Himawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini