Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Buku terbaru Rudolf Mrázek mengisahkan revolusi yang dihayati Amir Sjarifoeddin.
Bagi Mrázek, dalam menjalankan revolusi, Amir seperti mambang, “revenant” atau specter.
Berkali-kali ditangkap dan divonis mati, Amir Sjarifoeddin selalu bisa bebas.
SERUAN revolusi tampaknya belum hilang dari kosakata kita. Sejak Reformasi 1998, kata itu hanya sesekali terdengar. Pada awal abad ke-20, kata itu kerap disebut bahkan ikut mendorong kemerdekaan Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam buku terbaru Rudolf Mrázek, Amir Sjarifoeddin: Politics and Truth in Indonesia, 1907-1948 (Cornell Modern Indonesia Project, 2024), sejak 1927, di asrama mahasiswa Sekolah Hukum Jakarta, Jalan Kramat 106, revolusi adalah inti percakapan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Amir dan rekannya bahkan “memainkan” revolusi Prancis. “They, indeed, played history at Kramat 106, and they played revolution,” kata Mrázek. Ia menyebutkan Amir sering mengulang pidato Robespierre, tokoh idamannya: “Jika aku disuruh bertepuk tangan untuk kehancuran negeriku, berilah aku perintah apa pun, dan biarlah aku binasa kalau aku harus kehilangan kebebasan.” Kutipan yang kerap disampaikan Amir bersama Abu Hanifah atau Muhammad Yamin tampaknya telah “bermain” di hidupnya sendiri, yang tak panjang, gegap gempita, dan cepat binasa.
Buku terbaru Mrázek mengisahkan revolusi yang dihayati Amir. Buku ini juga menguak berbagai peristiwa hidup Amir yang tertutup kabut. Dengan data yang detail dan lengkap, Mrázek mengendus catatan intel Belanda atas Amir, seperti yang dilaporkan Gubernur Jawa Barat Schnitzler pada 1927, “Amir itu ekstrem seutuhnya, in hart ennieren.” Amir pemimpin dengan karakter kuat dan dalam waktu cepat pamornya naik.
Bagi Mrázek, dalam menjalankan revolusi, Amir seperti mambang, “revenant” atau specter. Berkali-kali ditangkap dan divonis mati, ia bisa bebas. Ketika meringkuk dalam penjara Jepang, ia oleh Sukarno diangkat sebagai Menteri Penerangan. Bersama Sukarno, ia membangun Partai Indonesia.
Pada Maret 1933, selaku pemimpin redaksi majalah Banteng, ia memuat tulisan berjudul “Massa Actie”. Karena tulisan itu, ia diusulkan dibuang ke Digoel oleh Residen Batavia, Van der Hoek. Amir batal menjadi “Digoelis”, tapi masuk bui Salemba dan Sukamiskin.
Setelah pemenjaraan itu, ia menjadi pemimpin propaganda partai Gerakan Rakjat Indonesia. Lalu, pada 1939, ia jadi ketua partai ini dan mengajukan prinsip nasionalisme inklusif: partainya membuka pintu kepada kaum Eurasia, Cina, dan Arab.
Saat Jepang akan menguasai Hindia Belanda, ia bekerja pada Gubernur Van der Plas. Bergaji 25 ribu gulden, ia membangun jaringan bawah tanah antifasisme. Bagi Amir, seperti ditulisnya dalam majalah Semangat Baru, Desember 1941, “Fasisme Jepang akan membuyarkan jalan demokrasi dalam Indonesia merdeka nantinya. Maka lawanlah!”
Amir bergerak dan membentuk kelompok perlawanan di Batavia, Angkatan Baru, juga di pelabuhan Angkatan Laut Surabaya. Ia bahkan membantu Sjahrir membangun jaringan bawah tanah. Momen inilah yang membuat Amir dipercaya kelompok pemuda revolusioner. Mrázek mencatat, “Energi Amir dan élan jejaring ini, yang bagi anggota-anggotanya sebagai hal nyata… dan sebagai kehadiran mambang yang membangun rasa bertualang dan takut.”
Setelah Indonesia merdeka, dengan cepat Amir mendapat tempat, bahkan dipercaya menjadi Perdana Menteri. Ia bersama Sjahrir mempraktikkan revolusi demokratis dengan menjadikan Komite Nasional Indonesia Pusat bukan sekadar pembantu Presiden Sukarno, melainkan menjadi parlemen. Sebagai Menteri Pertahanan, ia melibatkan para pemuda dan laskar-laskar ke dalam militer Indonesia.
Belanda mengadakan agresi militer pada 21 Juli 1947 dan Amir mewakili Republik menandatangani Perjanjian Renville. Amir berharap, dengan perjanjian itu, Indonesia mendapat dukungan Amerika Serikat. Melalui utusan Amerika, Frank Graham, Amir mendapat garansi pribadi bahwa Belanda tidak akan menyerang Indonesia. Sebelum persidangan di kapal perang Amerika, Amir dan Graham membaca Alkitab bersama. Tapi Amir kecewa: Graham tak menepati janjinya.
Sukarno pun mendesak Amir mengundurkan diri karena dianggap gagal dalam Perjanjian Renville. Bahkan Musso, yang citranya kuat selaku agen komunis Soviet, turut memojokkan Amir karena, pada Januari 1948, ia mundur begitu saja sebagai Perdana Menteri. Tampaknya Amir berada dalam momen enigmatik, seperti kata Foucault saat membahas Robespierre, “The man in revolt is ultimately inexplicable”.
Pada September 1948, Amir berpidato di Radio Madiun, menegaskan perjuangan kelompoknya untuk mengoreksi revolusi atau perkembangan revolusi. Setelah ditangkap, Amir menerima wawancara majalah Katolik, Hidup, pada Desember 1948, beberapa hari sebelum dieksekusi mati. Katanya, “Saya tidak pernah memulai pemberontakan ini… tapi (revolusi) tak bisa lagi dihentikan, seperti batu-batu yang terus bergulir.”
Mrázek, di bagian akhir tulisannya, memahami Amir sebagai “a possible hero”, sesuatu yang ia pahami dari Walter Benjamin sebagai seseorang “dengan daya mesianisme yang lemah, yang tak akan menang”. Mesias yang lemah itu tidak datang di masa depan, tapi dari masa lalu kepada kita hari ini. Mesias itu tak akan berhenti menuntut. ●
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edidi cetak, artikel ini berjudul "Amir Sjarifoeddin".