Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
95 tahun yang lalu, mereka membunuh Rosa Luxemburg.
Hari itu Rabu yang dingin, 15 Januari. Beberapa orang anggota Garda Burgergerwehr dari Wilmersdrof, di bagian luar Berlin, menangkap Rosa Luxemburg dan temannya sepergerakan, Karl Liebknecht. Kedua tokoh sosialis kiri itu, yang menyebut kelompoknya "Spartakus", diketahui terlibat dalam pembrontakan terhadap pemerintah. Malam itu mereka di bawa ke arah penjara Moabit. Di tengah jalan mobil berubah arah: ke Tiergarten, taman yang penuh pohon di pusat kota. Di antara semak-semak, Liebknecht ditembak mati.
Rosa diseret ke dalam sebuah mobil lain. Dengan gagang pistol, seorang opsir memukul kepala perempuan berumur 48 tahun itu hingga pingsan. Sebuah revolver membuyarkan otaknya. Mayat Rosa ditenggelamkan di Kanal Lanswher. Baru beberapa bulan kemudian tubuh itu diketemukan -- meskipun tak pernah pasti benarkah itu jenazah Rosa.
Saat-saat yang gelap, tulis Hannah Arendt tentang masa itu. Rosa hidup, berjuang, hilang, di bagian abad ke-20 yang diliputi rusuh, kelaparan, pembunuhan massal, dan rasa benci kepada ketidak-adilan yang membuat orang marah dengan suara serak.
Tapi, mengikuti pengantar Arendt dalam Men in Dark Times, di saat-saat macam itu berharap adalah sah -- berharap akan cahaya. Bukan dari ide, tapi dari "suar-suar yang tak pasti, yang kelap-kelip dan sering lemah" yang datang dari mereka yang hidup, berkarya, dan membawa terang biarpun sebatang lilin.
Rosa seperti itu: lilin yang diterpa angin dan terlambat. Arendt bertanya mengapa perempuan ini, tokoh yang "agak marjinal," yang pengaruhnya tak sebesar pendekar Marxisme lain sezamannya (Plekhanov, Lenin, Trotsky...), kemudian, setelah mati, penting untuk didengarkan?
Jawabnya: karena Rosa Luxemburg tak jadi mati. "Kemerdekaan adalah kemerdekaan bagi mereka yang berpikir beda", itu kalimatnya yang termashur dari tahun 1920, ketika ia mengritik Revolusi Lenin yang membungkam kemerdekaan bersuara dan demokrasi. "Kemerdekaan yang hanya buat pendukung pemerintah, hanya buat anggota satu partai...bukanlah kemerdekaan..." Lebih dari separuh abad kemudian, pada 1988, ribuan pemuda Jerman Timur menghidupkan kembali kata-kata Rosa itu untuk menggugat kekuasaan Partai Sosialis. Dan Tembok Berlin runtuh.
1988 adalah tahun ketika Rosa Luxemburg benar dan Lenin salah dan kekuasaan partai Marxis-Leninis di mana-mana jatuh.
Tapi perlu ditambahkan di sini: sekian dasawarsa yang lalu, tak mudah mengatakan Lenin salah sepenuhnya dalam Revolusi Oktober 1917. Terutama jika orang berada di hari-hari yang mengguncang dunia itu, dengan segala konflik dan ancamannya. Terutama jika diakui sebuah revolusi menghendaki kekuatan yang lebih, dan kekuatan yang lebih mengandung kekerasan yang tak terelakkan. "Revolusi bukan jamuan makan malam", Mao Zhedong di Cina beberapa tahun kemudian.
Akhirnya, dengan segala kritiknya kepada Revolusi Oktober yang hendak menegakkan komunisme, Rosa tak memusuhi Lenin dan apa yang telah dilakukannya. Tak bisa diragukan, tulisnya, Lenin dan Trosky telah mengambl langkah yang menentukan di "jalan yang penuh duri", lewat "kebimbangan yang dahsyat dan pertentangan batin yang keras".
Hubungan antara kedua orang ini memang naik-turun. Lenin mengunjungi Rosa pada 1911, dan mereka cocok. Lenin menyenangkan untuk diajak bicara, kata Rosa, "ia pintar dan terpelajar" -- dan menyukai Mimi, kucing kesayangannya.
Tapi ada saat-saat hubungan mereka buruk. Karya besar Rosa Luxemburg, Die Akkumulation des Kapitals terbit pada 1913. Di sini Luxemburg sebenarnya ingin tunjukkan kesalahan kaum "Marxis-jalan-tengah" yang tak lagi yakin bahwa kapitalisme akan membusuk dan akan terjadi revolusi. Bagi Rosa, kapitalisme niscaya buntu. Kapital selalu ekspansionistis, akan butuh lebih luas wilayah yang belum dirambah mekanisme modal, sampai seluruhnya tertelan -- dan krisis akan terjadi.
Tapi buku itu juga mengandung kritik terbuka kepada Marx. Marx, menurut Luxemburg, tak melihat ada batas akumulasi modal.
Lenin membaca buku itu dan marah. Rosa telah "menyelewengkan Marx," katanya. Dan ketika dalam buku itu digambarkan dampak destruktif kapitalisme yang berekspansi ke Amerika Latin, Lenin menuliskan kata-kata pedas di pinggir halaman: "Deskripsinya tentang penyiksaan orang negro di Amerika Selatan berisik, warna-warni dan tak ada artinya. Dan terutama, ini semua 'non-Marxis'".
Tak berarti Lenin kemudian tak menghargai Rosa. Baginya, perempuan ini "elang" yang bisa terbang "lebih rendah ketimbang induk ayam, tapi tak akan tertandingi bila terbang tinggi."
Tapi Lenin wafat dan Stalin berkuasa, dan posisi Rosa Luxemburg berubah. Stalin menyingkirkan buah pikiran perempuan yang tajam kritiknya tapi lembut perasaannya itu -- seorang revolusioner yang bisa berapi-api di podium tapi bisa dengan mudah terpesona kepada bentuk awan yang sederhana.
Tapi di situlah agaknya tersimpan yang berharga dalam pemikiran perempuan Yahudi dari Polandia ini: empati kepada hidup yang kongkrit, bukan cuma keyakinan kepada satu konsep tentang "proletariat". Mungkin itu sebabnya ia bisa menyentuh. Tokoh Gerard Manuhutu dan Bhisma dalam novel Amba Laksmi Pamuntjak tentu saja fiktif, tapi bisa dibayangkan bila mereka, seperti kita, tergerak oleh kata-kata Rosa Luxemburg ini: "Aku merasa dekat dengan korban yang sengsara di perkebunan-perkebunan di Putamayo dan orang-orang negro Afrika yang tubuhnya dijadikan bola mainan orang-orang Eropa...Aku tak punya tempat yang istimewa bagi kaumku, kaum Yahudi. Aku merasa rumahku di seluruh bumi di mana ada awan dan burung-burung dan air mata manusia".
Dengan kata lain, solidaritas antar sesama bukan lahir karena takdir. Sejarah yang membuatnya: manusia, dari pengalaman-pengalaman yang partikular, membangun dan dibangunkan oleh sesuatu yang universal. Dari dunia yang berbeda-beda, tumbuh saat-saat yang sama.
Maka bagi Luxemburg, demokrasi tak bisa ditunda; demokrasi bagian sah sosialisme. Lewat demokrasi kita bergulat terus menerus menata konflik dan perbedaan, karena perbedaan akan selalu ada, meskipun manusia butuh "rumah" universal yang mencakup yang bermacam-ragam: awan, burung, air mata.
Tanpa itu: kediktaturan. Dan kediktaturan itulah yang akhirnya terbukti bisa menyelewengkan harapan terbaik Revolusi.
Tujuh puluh tahun setelah 15 Januari 1919, di seantero Eropa Timur, Rosa hidup kembali. Good bye Lenin. Lilin itu berkerlip.
Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo